Penulis: KH. Husein Muhammad
Jumat 18 Oktober 2019
Peristiwa itu menunjukkan bahwa pendapat Abu Hanifah dibenarkan mereka. Bukankah pemimpin mereka adalah suara mereka juga?. Jadi bukankah sudah cukup, bila dia saja yang bicara dan tidak perlu para pengikutnya ikut bicara?.
Jumat 18 Oktober 2019
NU-Online |
Atorcator.Com - Imam Abu Hanifah, adalah ahli fiqh
paling terkemuka di masanya. Imam Syafi’i mengatakan : “Semua orang dalam fiqh
adalah keluarga Abu Hanifah”.
Pandangan-pandangannya dikenal rasional. Ia dikenal sebagai
"Imam Ahl Ra'yi", pemimpin mazhab fiqh rasional. Ada banyak
pendapatnya yang berbeda dari mazhab lainnya. Misalnya perempuan dewasa bisa
menikahkan dirinya sendiri, tanpa wali.
Sekarang saya ingin menyebut contoh lain yang mungkin lucu
tapi masuk akal. Ia berpendapat bahwa makmum shalat tidak perlu membaca surah
al-Fatihah. Cukup Imamnya saja. Menurutnya Imam adalah pemimpin. Suara
Imam/pemimpin adalah sudah mewakili suara pengikutnya. "Qiroah al-Imam Qiroah
al-Ma'mum". Bacaan Imam adalah bacaan makmum. Apakah Imam Abu Hanifah
hanya mengandalkan argumen akal?. Ternyata tidak. Abu Hanifah juga mengemukakan
dasar hukumnya dari hadits Nabi yang dipercayainya. “Innama Ju’ila al-Imam Li
Yu’tamma bihi”, Seseorang dijadikan Imam, agar diikuti makmumya. Ini hadits
Sahih Bukhari. Lagi pula al-Qur’an menyatakan : “Jika al-Qur’an dibacakan
kepada kalian, maka dengarkan dan diam”.
Pendapat ini menimbulkan masalah dan kontroversial di
tengah-tengah masyarakat yang umumnya penganut sebagaimana mazhab al-Syafi’i
yang mewajibkan setiap orang yang shalat membaca surah al-Fatihah. Mereka
marah, dan menuduh yang tidak-tidak, lalu berkumpul untuk melakukan unjuk rasa
sambil berteriak-teriak emosional. Mereka menuduh Imam Abu Hanifah telah sesat
dan menyesatkan. Mereka kemudian berdemo dengan mendatangi rumah Abu Hanifah
menuntutnya mencabut pendapatnya itu.
Abu Hanifah keluar menemui mereka sambil meminta bersikap
tenang dan tidak membuat gaduh. Abu Hanifah lalu meminta mereka tidak saling
berebut bicara. Setelah mereka tenang ia mengusulkan agar ada seorang di antara
mereka yang terpandai, untuk menjadi wakil mereka guna mendiskusikan tuntutan
mereka. Sesudah mereka menunjuk seseorang yang dianggap paling mengerti agama,
Abu Hanifah menanyakan kepada mereka: “apakah kalian setuju dengan orang ini?.
Mereka menjawab serentak: “Setujuu!”. Abu Hanifah bertanya lagi : “Apakah
kalian akan mengikuti pendapatnya?. Mereka menjawab lagi dengan suara yang sama
: “Ya, kami akan mengikuti apapun yang akan disampaikan dan dilakukannya. Kami
"Sam'an wa Tho'atan". Abu Hanifah mengatakan : “Nah, kalau demikian,
masalahnya telah selesai. Sekarang kalian silakan kembali ke rumah
masing-masing”. Mendengar itu, mereka, termasuk sang juru bicara, seperti orang
bingung. “Kok selesai?. Apanya yang selesai?”.
Peristiwa itu menunjukkan bahwa pendapat Abu Hanifah dibenarkan mereka. Bukankah pemimpin mereka adalah suara mereka juga?. Jadi bukankah sudah cukup, bila dia saja yang bicara dan tidak perlu para pengikutnya ikut bicara?.
Cerita singkat di atas tidak dimaksudkan sebagai persetujuan
saya terhadap pendapat Imam Abu Hanifah untuk kasus ini. Melainkan hanya ingin
memperlihatkan bahwa hukum agama (fiqh) tidaklah tunggal, dan bukan tanpa
argument dari teks agama. Imam Abu Hanifah hanya berargumen dengan akal
sederhana, karena ia mengerti siapa yang dihadapinya. Ia sebenarnya juga punya
argument naql (hadits), tetapi itu harus dijelaskan, mungkin akan panjang dan
belum tentu dapat dimengerti. Jadi meskipun di tempat kita ada pandangan bagi
keharusan setiap orang yang salat membaca al-Fatihah yang diikuti secara
mainstream, tetapi pandangan yang minoritaspun perlu dihargai, karena iapun
memiliki dasar, meski kadang tidak diketahui public. Oleh karena itu tidak sepatutnya
ia disesatkan.
18.10.18
HM