Penulis: Novi Basuki
Kamis 17 Oktober 2019/16:16
historia |
Atorcator.Com - Saya sudah tiba di Masjid Rindu Rasul (Huai Sheng si),
Jumat pekan lalu, (11 September 2019) ketika seorang kawan lama dari
Indonesia yang bertandang ke Guangzhou menelepon kalau dia akan Jumatan di
Masjid Sa’ad bin Abi Waqqas. Saya bergegas menghampirinya. Jarak kedua
masjid tersebut memang tidak berjauhan: sama-sama berada di distrik Yuexiu.
Kita tahu, sejak Raja Ying Zheng pada 221 SM
mempersatukan enam negara yang baku hantam selama kurang lebih dua
setengah abad Periode Negara Berperang (zhan guo shidai), ke dalam
satu entitas politik bernama Dinasti Qin (221–206 SM) sampai negeri
bentukannya yang sekarang kita kenal dengan sebutan China dikuasai partai
komunis, distrik Yuexiu terus menjadi pusat politik dan ekonomi
Guangzhou.
Sementara Guangzhou, wabil khusus semenjak Dinasti
Tang (618–907) memblokade jalur darat lewat Asia Tengah menuju Chang’an
(kini kota Xi’an) lantaran bergejolaknya China bagian barat laut akibat
Pemberontakan An Shi (An Shi zhi luan) selama hampir sewindu, menjelma menjadi
trayek utama orang-orang China untuk berhubungan dengan banyak negara luar
dan vice versa. Saudagar-saudagar atau duta-duta asing yang akan ke
Chang’an, umpamanya, mesti berlayar ke Guangzhou yang terletak di China bagian
selatan dulu sebelum ke ibu kota Dinasti Tang dimaksud.
Tentu, selain mengemban misi perdagangan atau diplomatik,
lalu lalang orang-orang asing yang didominasi oleh orang-orang dari Arab
dan Persia itu, juga membawa serta keyakinan atau agama yang dianutnya. Dan, di
antara agama-agama yang diboyong mereka ialah Islam –yang kesuksesan
persebarannya di Jazirah Arab berbarengan dengan puncak kejayaan Dinasti Tang
sepanjang tahun 627–649 di bawah kepemimpinan Kaisar Taizong alias Li Shimin.
Adapun Islam di Guangzhou, kalau merujuk jilid 7 Min
Shu (Kitab Hokkien) yang ditulis He Qiaoyuan, disebarkan oleh salah satu
dari empat sahabat (mentu) Nabi Muhammad Saw. yang bertandang ke
China pada masa pemerintahan Kaisar Gaozu (618–626) Dinasti Tang. Sayang,
sejarawan partikelir era Dinasti Ming (1368–1644) itu tidak menyebut
siapa nama sahabat Rasulullah yang ia maksud.
Walakin, jika mengacu pada literatur historis yang
lebih awal semacam inskripsi yang pada 1350 digurat Wu Jian untuk Masjid
Qingjing (Qingjing si bei ji) di Quanzhou, kota pelabuhan masyhur di Provinsi
Hokkien yang oleh Ibnu Batutah dalam catatan perjalanan Riḥlah-nya disebut
sebagai “Zaitūn”, Islam dibawa ke Guangzhou oleh seseorang bernama “Sahaba
Sa’ade Wogesi” pada tahun ketujuh pemerintahan Kaisar Wen Dinasti Sui. Yakni,
pada kisaran tahun 587.
Angka itu jelas tak masuk akal. Pasalnya, Islam baru mungkin
tersiar setelah Muhammad yang melakukan uzlah di Gua Hira, diangkat menjadi
rasul selepas Malaikat Jibril –kata Safiur Rahman Mubarakpuri dalam
mahakaryanya, Ar-Raḥīq al-Makhtūm– menyampaikan lima ayat wahyu pertama
pada malam ke-21 Ramadan yang bertepatan dengan hari Senin tanggal 10 Agustus
610.
Baiklah. Anggap itu sebatas anakronisme dan mari iyakan saja
bahwa Islam benar-benar dibawa ke Guangzhou oleh “Sahaba Sa’ade Wogesi” yang,
terang Wu Jian, “mengarungi samudra dari Arab, lalu membangun masjid yang
diberi nama Rindu Rasul di Guangzhou” (zi Dashi hai zhi Guang fang, jian
libaisi yu Guangzhou, ci hao Huai Sheng). Ya, itulah masjid yang saya kunjungi.
Di depannya masih menjulang menara kuno berjuluk “guang ta” (benara cahaya)
yang pada masanya berfungsi sebagai mercusuar buat membantu navigasi
kapal-kapal yang akan berlabuh di pelabuhan Guangzhou.
Lantas, siapakah “Sahaba Sa’ade Wogesi”? Dalam jilid
7 Tianfang Zheng Xue (Ajaran Islam yang Benar) susunan Lan Xu,
cendekiawan muslim era Dinasti Qing (1644–1912) itu menegaskan bahwa “Sahaba
Sa’ade Wogesi” merupakan “paman Rasulullah dari pihak ibu” (zhi Sheng zhi mu
jiu) –atau yang dalam bahasa Arab sebut sebagai “khāl”.
Banyak sejarawan China yang karenanya memercayai, dan
pemerintah China pun mengamini, “Sahaba Sa’ade Wogesi” adalah transkripsi
bahasa China untuk Sa’ad bin Abi Waqqas, sahabat sekaligus khāl Rasulullah
yang mengomandani Perang al-Qādisiyyah (636) dan Perang Nahāvand (642) melawan
pasukan Kekaisaran Sassaniyah (artesh-e Sāsānīyān) Persia. Belakangan, Sa’ad
yang dalam hadis nomor 4112 Jāmi’ at-Tirmiżī disebut-sebut akan
menjadi salah seorang dari “sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga” (al-‘asyarah
al-mubasysyarūn bi-l-jannah) oleh Rasulullah, diangkat sebagai gubernur Kufa
dan Najd pada masa Khalifah ‘Umar.
Namun, berbeda dengan literatur-literatur Arab yang menyebut
Sa’ad wafat dan dimakamkan di Madinah pada kisaran tahun 673-675,
literatur-literatur China –utamanya yang berdasar tradisi lisan– justru
menyebut Sa’ad mangkat dan dikebumikan di Guangzhou. Di sebelah barat daya
pusaranya yang oleh muslim China terdahulu disebut sebagai “xiang fen”
(makam bergema) itu, Pemerintah Kota Guangzhou membangun masjid dua lantai yang
diberi nama Masjid Sa’ad bin Abi Waqqas. Disebut “makam bergema” karena makam
Sa’ad terletak di dalam bangunan yang ketika kita mengaji atau berbicara di
dalamnya, suara kita akan memantul kembali.
Hingga kini, makam Sa’ad yang di sekelilingnya terdapat
banyak makam muslim bersejarah itu, ramai diziarahi orang-orang dari pelbagai
penjuru. Bakda salat Jumat, terutama. Maklum, laiknya muslim Indonesia, muslim
China memang mempunyai tradisi ngalap berkah (tabaruk) ke makam-makam
yang dikeramatkan. Mereka juga biasa membakar dupa/kemenyan di sana.
Akan tetapi, tanpa bermaksud mendiskreditkan, Donald Daniel
Leslie dalam terjemahan bahasa China makalahnya yang dimuat jurnal Ningxia
Shehui Kexue (Ilmu Sosial Ningxia) nomor 4 tahun 1999, “Sahaba Saiyide
Yiben Abi Wangesi zai Zhongguo Kao” (Menyigi Sahabat Sa’ad ibnu Abi Waqqas di
China), tidak sepakat kalau yang dimakamkan itu Sa’ad bin Abi
Waqqas, sahabat cum paman Rasulullah.
Ahli sejarah Islam China asal Australia itu menengarai bahwa
orang yang disebut “Wogesi” dalam literatur-literatur China klasik, kemungkinan
adalah pelafalan China untuk apa yang dalam literatur berbahasa Arab sebut
sebagai “Wahab”. Ia menyandarkan pendapatnya pada syarah Abū Zaid Hasan
al-Sīrāfī terhadap kitab Akhbār al-Ṣīn wa al-Hind karya Sulaimān
al-Tājir. Katanya, di situ diceritakan, pada 916 ada seorang dari bani Quraisy
bernama Ibnu Wahab berkunjung ke Chang’an untuk menemui kaisar Dinasti Tang
setelah menempuh perjalanan dua bulan dari Guangzhou. Saat bertemu kaisar
Dinasti Tang, Ibnu Wahab memperkenalkan Nabi Muhammad sebagai putra pamannya.
Seakan hendak bersepakat dengan Donald, Ketua Umum Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) K.H. Said Aqil Siradj juga menyangsikan kebenaran
dimakamkannya Sa’ad bin Abi Waqqas di China. Dalam satu acara ihwal Islam
China di gedung PBNU yang saya hadiri pada 17 Juli 2019, alumnus
Universitas Umm Al-Qura, Makkah, yang sering berkunjung ke China itu menyatakan
perlunya studi mendalam untuk mengungkap benar-tidaknya Sa’ad bin Abi
Waqqas, paman Rasulullah, dimakamkan di China. “Cuma saya yakin itu
bukan Sa’ad paman nabi yang dijanjikan masuk surga dan dimakamkan di Madinah
itu. Mungkin itu Sa’ad yang lain. Said Aqil, misalnya, kan banyak yang punya
nama Said Aqil seperti saya.” Begitu pendapatnya yang saya catat.
Mana yang benar? Pepatah China bilang, “xin ze you, bu xin
ze wu”. Artinya: kalau kau percaya, maka ada; kalau kau tak percaya, maka tak
ada.
Penulis adalah kontributor Historia di Tiongkok, sedang
studi doktoral di Sun Yat-sen University.
*Tulisan sebelumnya dimuat di Historia