Penulis: Abdullah Alawi
Jumat 11 Oktober 2019
NU-Online |
Atorcator.Com - Ahmad Khatib Sambas dilahirkan di daerah Kampung Asam, Sambas,
Kalimantan Barat. Tanggal lahirnya tidak diketahui, tapi sebagian sumber
menyebutkan pada bulan shafar 1217 H bertepatan dengan tahun 1803 M. Ayahnya
Abdul Ghaffar bin Abdullah bin Muhammad bin Jalaluddin.
Masa kecil, Ahmad khatib Sambas
diasuh pamannya yang terkenal sangat alim dan wara’ di wilayah tersebut. Ahmad
Khatib Sambas menghabiskan masa remajanya untuk mempelajari ilmu-ilmu agama, ia
berguru dari satu guru-ke guru lainnya di wilayah kesultanan Sambas. Salah satu
gurunya yang terkenal di wilayah tersebut adalah, H. Nuruddin Musthafa, Imam
Masjid Jami’ Kesultanan Sambas.
Kemudian ia meneruskan pendidikannya
ke Timur Tengah, khususnya ke Makkah. Kemudian memutuskan untuk menetap di
Makkah sampai wafat pada tahun 1875 M. Di sana ia berguru di antaranya kepada
Syekh Daud bin Abdullah Al-Fathani yang dikenal sebagai guru besar
Tarekat Syatariyah.
Kemudian ia berguru juga kepada
Syekh Syamsuddin, guru besar Tarekat Qadiriyah. Sedangkan kepada Syekh Sulaiman
Effendi, guru besar Tarekat Naqsyabandiyah yang berpusat di Jabal Abu
Qubais.
Selain yang disebutkan di atas,
terdapat juga sejumlah nama yang juga menjadi guru-guru Khatib Sambas, seperti
Syaikh Muhammad Salih Rays, seorang mufti bermadzhab Syafi’i, Syeikh Umar bin
Abd al-Rasul al-Attar, juga mufti bermadzhab Syafi’I (w. 1249 H/833/4 M), dan
Syeikh ‘Abd al-Hafiz ‘Ajami (w. 1235 H/1819/20 M).
Ia juga menghadiri pelajaran yang
diberikan oleh Syeikh Bisri al-Jabarti, Sayyid Ahmad Marzuki, seorang mufti
bermadzhab Maliki, Abd Allah (Ibnu Muhammad) al-Mirghani (w 1273 H/1856/7 M),
seorang mufti bermadzhab Hanafi serta Usman ibn Hasan al-Dimyati (w 1849
M).
Pendiri Tarekat Qodiriyah wa
Naqsyabandiyah (TQN)
Dalam bidang tarekat, ia
menggabungkan kedua tarekat yang didapat dari gurunya yang mengajarkan
Qodiriyah dan Naqsyabandiyah. Kemudian dikenal dengan Tarekat Qodiriyah wa
Naqsyabandiyah (TQN).
Semasa hidupnya, Syekh Ahmad Khatib
Sambas mengangkat banyak khalifah (wakil), namun posisi pewaris utamanya
setelah beliau meninggal dipegang oleh Syekh Abdul Karim Banten. Dua
wakil penting lainnya adalah Syekh Thalhah Kalisapu Cirebon dan Syekh Ahmad
Hasbullah Ibn Muhammad Madura.
Pada awalnya semuanya mengakui
otoritas Syekh Abdul Karim, namun setelah Syekh Abdul Karim meninggal, tidak
ada lagi kepemimpinan pusat, dan karenanya TQN menjadi terbagi dengan otoritas
sendiri-sendiri.
Syekh Thalhah mengembangkan
kemursyidan sendiri di Jawa Barat. Penerusnya yang paling penting adalah Syekh
Abdullah Mubarrok Ibn Nur Muhammad atau “Abah Sepuh” dari Suryalaya
(Tasikmalaya) yang dilanjutkan putranya yaitu Syekh Ahmad Shohibul Wafa’ Taj
Al-Arifin yang dikenal Abah Anom. Khalifah lain di Jawa Barat adalah KH Tubagus
Abdullah Falak atau yang dikenal Abah Falak di daerah Pagentongan, Bogor.
Di Jawa Tengah adalah KH Muslih
Abdurrahman (Mbah Muslih), yang menerima ijazah TQN dari KH Ibrahim
al-Brumbungi, seorang khalifah dari Syekh Abdul Karim, melalui Mbah Abd Rahman
Menur.
Sedangkan di Jawa Timur TQN
berkembang pesat di Rejoso Jombang, melalui jalur Syekh Ahmad Hasbullah Madura,
terutama di pesantren yang didirikan KH Romli Tamim, dan kemudian diteruskan KH
Musta’in Romly yang sempat menjadi Ketua Jam’iyyah Ahli Thoriqoh al-Mu’tabaroh
al-Nahdliyyah (JATMAN).
Ia juga dikenal sebagai cendekiawan
ulung terutama di bidang ilmu agama, seperti Qur’an, hadits, fiqih, kalam, dan,
tentu saja, tasawuf. Ia tidak meninggalkan banyak karya tulis. Cuma satu kitab
yang disandarkan kepadanya Fathul Arifin. Kitab tersebut didiktekan dan ditulis
oleh salah seorang muridnya, Muhammad Ismail bin Abdurrahim Al-Bali. Kitab yang
yang selesai ditulis 1872 tersebut berisi ajaran dalam TQN. (Abdullah
Alawi) [Source: NU online]