Mengenai Penusukan Wiranto, Ini Penjelasan Kiai Sholeh Darat tentang Dahi Hitam - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

11 Oktober 2019

Mengenai Penusukan Wiranto, Ini Penjelasan Kiai Sholeh Darat tentang Dahi Hitam

Penulis: Ahmad Umam Aufi
Jumat 11 Oktober 2019
Detik

Atorcator.Com - Baru-baru ini terjadi aksi penusukan terhadap Menko Polhukam Wiranto, sebagaimana dikabarkan Detik.Com. Kebetulan pelaku yang melakukan penusukan tersebut berjidat hitam. Namun tidak semua orang yang berjidat hitam berperilaku anarkis seperti pelaku penusukan Wiranto tersebut.

Terlepas dari itu, seringkali banyak asumsi tentang bekas hitam di kening kepala seseorang itu dampak sering sujud. Sebagian lain menganggap itu sebagai bekas sujud yang dibuat-buat agar nampak terlihat sebagai ahli sujud. Di tengah kehidupan masyarakat yang sedang gandrung pada label yang serba islami, syariatisasi dan menonjolkan tampilan luar, pemahaman terhadap apa yang dimaksud atsar as-sujud harus dijelaskan sesuai dengan konteksnya.

Dalam kitab Al-Futuhat al-Ilahiyah bi Taudhihil Jalalain lil Daqaiq al-Khafiyah makna atsar as-sujud dalam ayat 29 Surat Al-Fath bukan bekas sujud itu akan menjadi tanda kelak di akhirat. Ia akan bersinar dari kepala-kepala orang yang beriman saat di hari kiamat. Bukan saat hidup di dunia. Sehingga pada dasarnya, bekas hitam di atas jidat seseorang tidaklah bisa dijadikan ukuran bahwa seseorang termasuk ahli sujud atau tidak.

Bahkan kiai Sholeh Darat dalam Minhaj Al-Atqiya’ menyebut mereka yang memiliki titik hitam di jidatnya sebagai bagian dari kelompok Khawarij. Tentu bukan tanpa alasan Kiai Sholeh Darat melempar tuduhan semacam itu. Maksud kiai Sholeh Darat bukanlah setiap mereka yang memiliki tanda hitam di kepalanya, akan tetapi mereka yang melakukan talbis (memamerkan ibadah mereka) akan sama perilakunya dengan kelompok Khawarij. Mereka ialah kelompok yang telah keluar dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Kiai Sholeh Darat menyitir sebuah riwayat dari Ibnu Abbas di mana Nabi Muhammad tidak menyukai lelaki yang memiliki bekas hitam di antara dua matanya. Mengapa? Ini karena kebanyakan dari mereka saat berkumpul di tengah-tengah masyarakat selalu bersikap sombong, pamer dan membanggakan diri. Mereka ini yang kemudian dimaksudkan Kiai Sholeh Darat sebagai orang-orang yang hanya memamerkan ibadahnya dengan tanda-tanda lahiriah. Sedangkan bekas sujud yang sejati akan nampak di akhirat kelak.

Pada dasarnya, yang dilarang dan dikritik dengan keras oleh Kiai Sholeh Darat adalah sifat riya’ dan takabbur-nya. Sifat ini yang kemudian melahirkan rasa bangga dan sombong atas ibadah yang telah ia lakukan. Apalagi sampai dengan sengaja membuat-buat bekas hitam di kepalanya agar terlihat sebagai ahli sujud dan rajin dalam melaksanakan salat wajib maupun sunah. Ini yang tidak dianjurkan oleh para ulama kita.

Kiai Sholeh Darat mengidentikkan mereka dengan kelompok Khawarij. Mereka sering dengan mudahnya menyesatkan dan mengafirkan yang lain. Kelompok Khawarij ini di dalam sejarah Islam termasuk yang mencampurkan persoalan agama dengan urusan politik praktis. Bagi mereka, orang-orang semacam Ali bin Abi Talib dan para pengikutnya adalah manusia yang halal darahnya karena telah menghukumi sesuatu tanpa dengan hukum Allah. Sehingga Ali dan pengikutnya sebenarnya telah murtad dari Islam.

Dalam konteks kehidupan kita sekarang, kita juga tidak jarang menemui orang-orang seperti itu. Mereka tampil dengan tampilan yang serba islami tapi seringkali perilaku mereka merasa paling islami dan menyalahkan orang lain yang berbeda dengannya. Sedangkan yang berhak menentukan keislaman seseorang hanyalah Tuhan. Maka itu mengapa atsar as-sujud hanya akan terlihat di akhirat, bukan di dunia. Sehingga manusia tidak dapat menjustifikasi kualitas keimanan dan keislaman seseorang.

Islam dengan demikian tidak mengidentifikasi dirinya dengan dan dari simbol-simbol. Islam selalu menekankan aspek nilai-nilai serta etika yang bersifat universal. Simbol akan terbatas oleh ruang dan waktu, sedangkan substansi dari ajaran Islam tidak terbatas dan ia diperuntukkan bagi semua makhluk alam semesta. Oleh karena itu, sudah sangat tepat jika Muhammad diutus Tuhan untuk menyempurnakan akhlak manusia, bukan? [Source: BincangSyariah]