Pesantren, Kiyai dan Eksistensi Negara Bangsa - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

22 Oktober 2019

Pesantren, Kiyai dan Eksistensi Negara Bangsa


Penulis: KH. Husein Muhammad
Selasa 22 Oktober 2019 00:00
Jamaninfo

Atorcator.Com - Dengan pandangan hidup kiyai dan nilai-nilai yang dianut pesantren, maka dalam momen-moment sejarah berbangsa dan bernegara, pesantren selalu tampil untuk ikut memberi sumbangannya bagi eksistensi Negara dan bangsa. Pada periode pra colonial (kerajaan), pesantren menjadi pusat dakwah penyebaran Islam tanpa kekerasan dan pemaksaan. Ini adalah era paling mengesankan dalam proses Islamisasi di Indonesia.

Di era penjajahan kolonial, pesantren menjadi salah satu pusat heroisme pergerakan perlawanan rakyat. Para Kiyai dan Pesantren dalam banyak peristiwa tersebut memimpin perjuangan untuk kemerdekaan bangsa dari tirani penjajahan. Tanggal 22 Oktober 1945, para Kiyai Pesantren, dibawah Pemimpin Pesantren Tebuireng Jombang, sekaligus Rois Akbar NU, Hadrat al-Syeikh Kiyai Hasyim Asy’ari, di dampingi Ketua Besar NU, K.H. Abd al-Wahab Hasbullah, mengeluarkan fatwa yang dikenal sebagai “Resolusi Jihad”, guna mengusir Penjajah Inggris dan mempertahankan tanah air dan bangsa Indonesia.

Di era kemerdekaan, pesantren di bawah kepemimpinan Kiyai, juga terlibat dalam perdebatan-perdebatan yang panjang dan melelahkan, bersama tokoh-tokoh yang lain, dalam perumusan bentuk dan ideologi Negara Bangsa (Nasionalisme). Kiyai pesantren yang terlibat dalam persetujuan atas Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi dan konstitusi Negara Indonesia adalah K.H. A. Wahid Hasyim. Kiyai Wahid Hasyim juga menyetujui penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta: “dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Ini demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Jauh sebelum kemerdekaan Negara ini, para Kiyai Pesantren telah memandang bahwa Negara bangsa adalah sah dan eksistensinya wajib dipertahankan atas dasar agama. Dalam muktamar yang dihadiri ribuan Ulama/Kiyai pesantren itu diajukan sebuah pertanyaan :”wajibkah kaum muslimin mempertahankan kawasan Kerajaan Hindia-Belanda, yang dipimpin oleh orang non muslim?. Jawaban mereka adalah bahwa mempertahankan Negara adalah wajib berdasarkan aturan agama. Ini didasarkan argument bahwa Kerajaan Hindia-Belanda memberikan jaminan kebebasan bagi kaum muslimin untuk menjalankan ajaran Islam dan bahwa kawasan ini (Nusantara) pernah berdiri Kerajaan-kerajaan Islam. Para Kiyai merujuk pandangan ini pada kitab “Bughayah al-Mustarsyidin”.

Pada era Orde Baru, dalam muktamar NU ke 27 di Situbondo, tahun 1984, para Kiyai pesantren, mengukuhkan keputusan Alim Ulama tahun 1983 yang memjutuskan untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dan menetapkan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk Negara final dalam Islam.

K.H. Ahmad Siddiq, konseptor utama keputusan Muktamar 1984 ini, dalam makalahnya yang disampaikan pada Muktamar di atas mengatakan bahwa “Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan pandangan Islam tentang ke-Esa-an Allah, yang dikenal pula dengan sebutan Tauhid” dan bahwa “pencantuman anak kalimat “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa” pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, menunjukkan kuatnya wawasan keagamaan dalam kehidupan bernegara kita sebagai bangsa”. K.H. Ahmad Siddiq pada akhirnya menyimpulkan: “Dengan demikian, Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh nasion teristimewa kaum Muslimin untuk mendirikan negara di wilayah Nusantara. Para Kiyai/ulama dalam NU meyakini bahwa penerimaan Pancasila ini dimaksudkan sebagai perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial. (Muktamar Situbondo, 1984).

Demikianlah. Dari uraian singkat di atas, tampak jelas, bahwa Pesantren sepanjang sejarahnya, terlepas kekurangan dan kelemahanannya, telah memberikan sumbangan yang sangat penting dan berharga bagi masyarakat bangsa, bukan hanya dalam kerangka pembentukan karakter positif bagi individu-individu anak bangsa, melainkan juga bagi utuhnya sistem Negara Bangsa dengan seluruh pilar-pilarnya. Agaknya model pendidikan pesantren seperti ini, menarik sekaligus relevan untuk dijadikan bahan pemikiran dan inspirasi untuk kondisi Indonesia yang tengah dilanda krisis moral yang akut ini.

*Tulisan ini ditulis di Cirebon, 19 Oktober 2015