Penulis: Efron Bayern
Jumat 25 Oktober 2019
Jumat 25 Oktober 2019
![]() |
the conversion |
Saya bukan satu-satunya yang kaget sekaligus risau atas penunjukan Nadiem Makarim menjadi mendikbud. Namun kerisauan saya tak berlangsung lama. Ketika Nadiem menyampaikan komentarnya kepada para wartawan setelah pelantikan, ia mengatakan dalam 100 hari pertama ia akan belajar dan mendengarkan dari para dirjen bagaimana kementerian beroperasi atau bekerja. Setelah itu ia baru bisa menggerakkan kementerian dalam rangka mewujudkan visi dan misi presiden yaitu menyiapkan manusia Indonesia untuk mengantisipasi masa depan.
Karakter Nadiem yang mau mendengar ini mengingatkan saya pada raksasa teologi Jerman Friedrich Schleiermacher. Schleiermacher yang tidak mau menulis gelarnya. Ia terbiasa menulis “gelar” stud. theol. di belakang namanya. “Gelar” itu singkatan dari studiosus theologiae, murid teologi. Sampai kapan pun ia adalah murid dan tidak pernah bisa menggeser gurunya yaitu Kristus, kata Schleiermacher.
Persoalan pendidikan (baca: pengajaran) di Indonesia dari tahun ke tahun sangat pelik. Tidak akan selesai dibincangkan dalam satu malam. Di sini saya hanya mengangkat persoalan pengajaran tingkat menengah atas dan sekolah khusus untuk atlet.
SMA dan SMK
Kurikulum pengajaran SMA sudah bagus. Bahkan amat sangat bagus. Pada 1984 Mendikbud Brigadir Jenderal Nugroho Notosusanto menetapkan kurikulum 1984 dan memunculkan istilah Nilai Ebtanas Murni (NEM). Sejak saat itu semua SMA adalah sekolah unggulan. Sekolah unggulan ini dipertajam oleh Mendikbud Wardiman Djojonegoro lewat kurikulum 1994 dengan basis link and match. Kurikulum ini mengadopsi silabus tiga kelas terakhir sekolah di Belanda dan Jerman.
Dengan kurikulum di atas murid-murid SMA disiapkan untuk menyongsong jenjang lebih tinggi di perguruan tinggi (PT). Sialnya pembuat kebijakan pengajaran nasional itu mengandaikan semua anak Indonesia berkemampuan di atas normal. Pada kenyataannya di seluruh dunia hanya 25% berkemampuan di atas normal yang dapat mengikuti kurikulum PT. Di Jerman sekolah menengah yang menampung sekitar 25% jumlah total anak itu disebut gymnasium, di Belanda disebut voorbereidend wetenschappelijk onderwijs (VWO). Dengan demikian tidak sampai sepertiga anak-anak di negara-negara maju di atas normal yang siap berkuliah di universitas atau PT.
Dalam pada itu sekitar 75% yang merupakan anak-anak normal bersekolah kejuruan sesuai minat mereka. Di Jerman sekolah yang menampung anak-anak normal ini disebut realschule, di Belanda disebut hoger alhemeen vormend onderwijs (HAVO). Lulusan sekolah ini tidak melanjutkan ke universitas, melainkan ke sekolah tinggi, politeknik, akademi, dsb., atau langsung pergi bekerja. Atlet profesional, sekalipun berintelektual tinggi, sulit untuk mengikuti sekolah menengah model gymnasium atau VWO. Pemain-pemain asli FC Bayern München, misalnya, bersekolah di sekolah kejuruan yang kebanyakan sekolah bahasa. Dalam perjalanannya apakah lulusan sekolah kejuruan boleh ke universitas? Pada kenyataannya legenda Bayern Oliver Kahn dan Philipp Lahm, sebagai misal, berderajat atau bergelar master bisnis.
Indonesia memiliki sekolah menengah untuk anak-anak berkemampuan di atas normal seperti gymnasium atau VWO. Sekolah itu bernama SMA. Hebat ‘kan? Perbedaannya SMA di Indonesia dibuat untuk menampung sebanyak-banyaknya anak-anak usia sekolah menengah. Akibatnya 75% anak-anak normal menjadi hancur lebur. Sering terdengar SMA 1 Yogyakarta dan SMA Taruna Nusantara berhasil mengantarkan bagian terbesar murid ke universitas pilihan. Apakah sekolah mengajar dengan sangat baik? Apakah sekolah menggunakan metode mutakhir? Omong kosong alias mbèlgèdhès! Sekolah itu berhasil, karena menerima murid-murid lulusan SMP dengan rerata NEM di atas sembilan.
Inilah persoalan mendasar pada pengajaran di Indonesia sejak lama. Pemerintah lewat depdikbud/kemendikbud melalaikan 75% anak-anak normal. Anak-anak ini sangat membutuhkan sekolah yang sesuai, bukan dihancurkan lewat “sekolah unggulan”.
Mendikbud Nadiem Makarim mulailah berpikir untuk mengubah nisbah (ratio) SMA dan SMK menjadi 1:3. Data 2018 jumlah SMA di seluruh Indonesia sebanyak 13.495, sedang SMK sebanyak 13.710. Dengan nisbah 1:3 maka jumlah dikurangi menjadi 6.801, sedang SMK ditambah menjadi 20.503.
Dalam suatu seminar "Pengembangan SDM Indonesia Menuju Ekonomi Digital" Nadiem mengatakan Indonesia tetap membutuhkan sekolah yang memersiapkan calon-calon ahli seperti enjinir, ahli hukum, dan keahlian yang lain. Dalam pada itu Nadiem juga berpendapat anak-anak Indonesia harus dipersiapkan dalam menghadapi revolusi dunia digital. Muatan yang wajib diajarkan, kata Nadiem, adalah bahasa coding. Di sinilah kesempatan Nadiem untuk mewujudkan pemikirannya dalam membekali anak-anak SMK. Mereka bisa bekerja untuk belajar (bukan belajar untuk bekerja). Jangan lagi ada SMK yang bermuatan SMA Plus, yaitu SMA dengan tambahan keterampilan khusus. Sudah SMA ditambah beban berat muatan keterampilan. Matilah anak-anak SMK.
Tentu saja Mendikbud Nadiem harus piawai menyampaikan penyuluhan kepada masyarakat bahwa perubahan radikal ini bukan untuk “pilih kasih”, tetapi karena pemerintah memahami bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran yang layak.
Sekolah untuk Atlet
Untuk mencetak atlet kelas medali emas olimpiade dan atlet profesional bukanlah sekali jadi. Atlet sudah disiapkan sejak anak-anak. Di negara-negara maju para orangtua sudah "mewakafkan" anak-anak mereka untuk menjadi atlet. Di Indonesia hal itu nyaris mustahil dilakukan oleh para orangtua. Mengapa? Beban sekolah yang berat membuat mereka memilih anak-anak mereka untuk tetap berpumpun di sekolah ketimbang berpumpun menjadi atlet. Pemerintah Indonesia tidak menyediakan sekolah untuk atlet.
Barangkali anda menyanggah pendapat saya bahwa Indonesia memiliki SMA Ragunan. Itu bukan sekolah untuk atlet, melainkan sekolah atlet. Para atlet bersekolah di sana dengan muatan kurikulum yang sama dengan SMA pada umumnya. Para atlet tetap dibebani muatan kurikulum yang sama sekali tidak berpautan dengan hidupnya.
Yang saya maksud dengan sekolah untuk atlet ialah tempat pengajaran sejak tingkat SD sampai tingkat menengah atas dengan muatan kurikulum yang membekali, bukan membebani, anak-anak yang hendak menjadi atlet. Muatan kurikulum ini tentu bukan asal-asalan. Misal, sekolah bahasa. Muatan kurikulum dibuat berkesinambungan. Seandainya calon-calon atlet itu memilih melanjutkan ke PT, dengan kecakapan bahasa mereka siap menerima ilmu di PT.
Dengan begitu para orangtua tidak risau mewakafkan anak-anak mereka menjadi atlet. Anak-anak bisa berpumpun berlatih di klub-klub cabang olahraga sesuai bakat mereka. Kalau pun anak-anak itu gagal menjadi atlet, mereka tetap bisa melanjutkan bersekolah ke PT.
Dalam lima sepuluh tahun ke depan bukan hal yang mustahil Indonesia mendulang banyak medali emas olimpiade. Juga kita bisa melihat anak-anak Indonesia berlaga di klub-klub sepakbola di Eropa. Saya percaya Mendikbud Nadiem berani merevolusi sistem pengajaran ini demi Indonesia Maju. [Source : Facebook Efron Bayern]