Sambut Hari Santri Nasional, Ini Perubahan Orientasi Keilmuan Pesantren pada Abad 19 - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

22 Oktober 2019

Sambut Hari Santri Nasional, Ini Perubahan Orientasi Keilmuan Pesantren pada Abad 19

Penulis: Ahmad Umam Aufi
Selasa 22 Oktober 2019 1:30
muslim obsesion

Atorcator.Com - Islam sebagai agama mayoritas telah ikut membangun dan mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Meskipun secara geografis Indonesia merupakan wilayah yang jauh dari Jazirah Arab. Oleh karena itu, metode penyebarannya merupakan hal yang unik, yang belum ditemukan sebelumnya.

Sejak abad ke-15, Islam telah menggeser dominasi agama Hindu di Jawa. Kemudian pada abad ke-16, dengan keberadaan kerajaan Demak di Jawa, Islam menyebar ke tanah Jawa (Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, 1994; 20). Penyebaran Islam sekaligus mempengaruhi kelahiran konsep pendidikan Islam di Indonesia.

Dengan demikian,  sejarah pendidikan Islam di Indonesia sama tuanya dengan sejarah Islam di Indonesia. Sikap adaptif dan terbuka terhadap budaya luar, membuat masyarakat Indonesia mengadopsi lembaga keagamaan yang sudah ada. Di Jawa, lembaga keagamaan Hindu-Budha diadopsi menjadi lembaga pendidikan pesantren. Di minangkabau, surau diadopsi menjadi lembaga pendidikan Islam.

Salah satu lembaga pendidikan Islam di Jawa, yakni pesantren, merupakan basis bagi penyebaran Islam. Para sejarawan tidak dapat memutuskan secara pasti kapan kali pertama lembaga ini ada. Namun, beberapa penelitian menyebut benih-benih ini sudah ada sejak era wali songo (Nasarudin Umar, Rethinking Pesantren, 2014; 8).

Sedangkan para penyebar Islam –melalui pesantren-pesantren-  adalah para sufi. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam yang diajarkan kepada masyarakat Indonesia bercorak sufistik (Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, 2009; 60). Kalau dilihat dari sejarah masuknya Islam di Indonesia, corak tasawuf begitu dominan.

Pada abad ke-19, dibukanya perkebunan-perkebunan tebu, kopi, tembakau di beberapa daerah, selain pabrik dengan kebun tebunya, kelompok santri memiliki akumulasi kekayaan yang cukup untuk mengrimkan anaknya belajar ke Timur Tengah. Apalagi dengan dibukanya Terusan Suez lebih memudahkan pengiriman anak-anak muda Nusantara belajar ke Timur Tengah. Sehingga muncul ulama-ulama baru yang mempunyai orientasi keilmuan di pesantren yang mendalam terhadap ilmu fikih (Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, 2010; 215).

Meskipun menurut Abdurrahman Mas’ud dalam Intelektual Pesantren, sejak abad ke-17, jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara sudah terbangun. Tapi dengan adanya perubahan sosial dan ekonomi dunia, Timur Tengah menjadi lebih dekat bagi para santri yang ingin pergi belajar kesana.

Secara bertahap Islam di Indonesia lebih berorientasi kepada syariat. Ada dua faktor yang menandai perubahan ini. Pertama, gerakan pembaharuan pada abad 17 yang terjadi di Indonesia oleh kelompok semacam gerakan Padri (yang memiliki semangat Wahabi). Kedua, pada akhir abad ke-19 kemunculan tarekat Naqsyabandiyah yang cenderung berorientasi syariah dari pada tarekat-tarekat sebelumnya (Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, 2015:119).

Namun hemat penulis, perubahan ini lebih cenderung disebabkan karena faktor yang kedua. Hal ini bisa kita lihat apa yang terjadi dalam proses pendidikan di pesantren merupakan dampak dari adanya gelombang perubahan ini. Secara umum, di pesantren, kitab-kitab fikih mendominasi materi pembelajaran. Kitab-kitab tasawuf (akhlaki) semcam Ihyā’ Ulumuddīn, bidāyatul Hidāyah, Minhāj al-Āʻbidīn, Al-Hikam, Syuʻab al-Īman, Hidāyatul Azkiyāʻ ila Thariq al-Awliyā diajarkan setelah penguasaan atas materi fikih dasar telah selesai.

Selain itu, runtuhnya dominasi ajaran tasawuf falsafi juga semakin memperkokoh transmisi ajaran tasawuf akhlaqi. Pemahaman terhadap tasawuf yang dianggap tidak bertentangan dengan syariat menjadi wacana yang berkembang dan diterima di pesantren. Kiai Sholeh Darat misalnya, sebagai salah seorang ulama berpengaruh di akhir abad 19, berkali-kali menjelaskan dalam berbagai karyanya untuk tidak mempertengkarkan ilmu syariat dan hakikat (tasawuf).

Kitab-kitab yang digunakan di pesantren pada abad 19 adalah kitab yang ditulis di zaman pertengahan Islam. Kitab-kitab yang diajarkan pada abad ini bercofak fikih dan tata bahasa Arab. Tasawuf menempati bagian kecil dalam kitab yang diajarkan di pesantren (Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, 1984:158). Abad 19 menjadi penanda perubahan sosio-religius pada masyarakat Islam di Jawa.

Kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren dikategorikan menjadi 8 kelompok: 1) Nahwu dan Sharaf, 2) fikih, 3) Ushul Fikih, 4) Tafsir, 5) Hadis, 6) Tauhid, 7) Tasawuf, 8) cabang ilmu lain seperti Balaghoh dan Sejarah (Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 1985:50).
Dengan demikian, kitab-kitab yang diajarkan di pesantren cenderung pada fikih oriented. Sedangkan ilmu alat menempati kedudukan kedua dalam urutan kitab yang diajarkan di pesantren. Kemudian selanjutnya ushuludin, tasawuf dan tafsir.

Dilihat dari kitab-kitab yang diajarkan, kebutuhan masyarakat Jawa pada akhir abad ke-19 ialah pemahaman terhadap masalah-masalah fikih dan penguasaan ilmu alat (nahwu dan sharaf). Baru kemudian mereka masuk ke wilayah thoriqoh. Selain itu, materi-materi yang bernuansa sufistik tidak hanya dipelajari secara tekstual melainkan juga dipraktekan dalam bentuk keistiqomahan beribadah, melakukan riyādhoh-riyādhoh, dan pengabdian kepada para kiai.

Tasawuf dalam pengajaran pesantren, tidak terlalu fokus pada hal-hal yang teoritik dan abstrak. Tasawuf (akhlaki) menjadi nilai yang hidup dalam keseharian di pesantren. Kitab-kitab tasawuf pun berisikan tentang akhlak, cara membersihkan hati dan riyādhoh-riyādhoh untuk meningkatkan kualitas ruhani.

Kitab-kitab tentang tasawuf dipelajari dalam pesantren dan tarekat setelah pemahaman terhadap syariat selesai. Nurcholis Majid dalam Pesantren dan Pembaharuan, (1974:106) menyebutnya dengan ungkapan “hanya orang yang dapat berjalan di tanah datar untuk mendaki di gunung yang tinggi, maka hanya orang yang cukup syariatnya yang akan memasuki dunia thoriqoh”.

*Tulisan ini sebelumnya dimuat di BincangSyariah