Ketika Imam Ahmad bin Hanbal Ditanya Siapa yang Berhak Berijtihad - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

17 November 2019

Ketika Imam Ahmad bin Hanbal Ditanya Siapa yang Berhak Berijtihad

Penulis: Muhammad Masrur
Ahad 17 Nopember 2019


Atorcator.Com - Para pakar ushul al-fiqh, sebuah disiplin keilmuan tentang prinsip-prinsip penentuan hukum dalam Islam, banyak mendefinisikan bahwa berijtihad adalah,

بذل الجهد في إدراك الأحكام الشرعية

mengeluarkan daya upaya sekuatnya untuk mengetahui hukum-hukum syariat.
Sebagian menambahkan redaksi-redaksi lain misalkan sifat ijtihad harus sampai pada tingkat “tidak bisa lagi ditambah setelah berusaha sekuat-kuatnya”. Intinya, para ulama menggambarkan bahwa ijtihad adalah sebuah laku yang harus dilakukan dengan sangat kuat agar memahami hukum-hukum syariat.

Salah seorang ulama besar, masih murid Imam As-Syafi’i di kota Baghdad, Irak, Ahmad bin Hanbal, juga pernah berbicara dan menjelaskan siapa yang berhak berijtihad. Seperti dikutip oleh Syaikh ‘Ali Jum’ah dalam bukunya Aaliyatu al-Ijtihaad (h. 18-19) Beliau mengatakan, seperti bersumber dari riwayat putranya Shalih,

ينبغي للرجل إذا حمل نفسه على الفتيا أن يكون عالمًا بوجوه القرآن، عالمًا بالأسانيد الصحيحة، عالمًا بالسّنن. وإنّمَا جاء خلاف من خالف لقلة معرفتهم بما جاء عن النبيّ صلى الله عليه وسلّم وقلّة معرفتهم بصحيحها من سقيمها

Seyogyanya ketika seseorang memposisikan dirinya untuk berfatwa, maka ia harus ‘alim soal makna-makna Al-Qur’an, hadis-hadis dengan sanad-sanad yang shahih, hingga aneka ragam sunnah. Sesungguhnya ketika ada suatu perbedaan pendapat dari seseorang itu karena kurangnya pengetahuan mereka tentang apa yang bersumber dari Nabi Saw., dan ketidaktahuannya soal mana yang shahih maupun dha’if.

Imam Ahmad juga pernah mengatakan, seperti diriwayatkan dari putranya yang lain, Abdullah, bahwa meskipun seseorang memiliki buku-buku berisi hadis-hadis Nabi dan keanekaragaman pandangan sahabat dan tabi’in (pengikut Sahabat), ia tidak boleh bebas memilih mengamalkan hadis yang mana saja sampai ia bertanya kepada pakar (ahlu al-‘ilm) dan dijelaskan bagaimana cara mengamalkan yang benar.

Imam Ahmad juga pernah ditanya seseorang soal jumlah hadis seseorang yang sangat banyak apakah ia otomatis menjadi seorang faqih. Berikut ini dialognya,

قال الرجل: إذا حفظ الرجل مائة ألف حديث يكون فقيها ؟

قال (الإمام أحمد بن حنبل): لا

قال الرجل: فمائتي ألف ؟

قال: لا

قال: فثلاثمائة ألف ؟

قال: لا

قال: فأربعمائة ألف ؟

قال بيده: هكذا، وحرّك يده

Seseorang bertanya: “ketika seseorang hafal seratus ribu hadis, apakah ia menjadi seorang yang faqih dalam memahami agama?”

Imam Ahmad mengatakan: “Tidak.”

Ia bertanya : “kalau dua ratus ribu?”

Imam Ahmad mengatakan : ”Tidak.”

Ia bertanya: “Kalau tiga ratus ribu?”

Imam Ahmad mengatakan: “Tidak.”

Ia bertanya: “Kalau empat ratus ribu?”

Imam Ahmad mengatakan sambil mengisyaratkan dengan tangannya: “segini, ia kemudian menggerak-gerakan tangannya”

Dialog diatas memberikan gambaran bahwa perkara untuk mengatakan berijtihad, sebenarnya bukan perkara yang sederhana. Al-Qadhi Abu Ya’la mengatakan kalau ucapan-ucapan Imam Ahmad itu, termasuk jumlah hadis yang harus dihafal, ditafsirkan sebagai bentuk hati-hati dan sikap keras beliau untuk tidak sembarangan berfatwa. Jadi, kesan penulis setelah membaca ungkapan-ungkapan Imam Ahmad itu (bisa jadi pembaca punya pandangan lain), kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis tidak semudah kelihatannya bukan? Wallahu A’lam.


*Tulisan ini sebelumnya dimuat di BincangSyariah