Prinsip "Santri Wani Mlarat" Menurut KH. Abdul Aziz Mansur - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Rabu, November 13, 2019

Prinsip "Santri Wani Mlarat" Menurut KH. Abdul Aziz Mansur

Penulis : Vanzaka Musyafa
Rabu 13 Nopember 2019
Ilustrasi : NU Online

Atorcator.Com - KH. Abdul Aziz Mansur adalah pengasuh pondok pesantren Tarbiyatunnasyi’in, Paculgowang, Jombang, Jawa Timur. Beliau juga termasuk adik dari KH. Anwar Mansur, Lirboyo, Kediri. Kiai Abdul Aziz Mansur wafat pada tahun 2015 M silam.


Pada saat kiai Abdul Aaziz berceramah di acara akhirussanah pondok pesantren API, Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah. Beliau dawuh ; “Nek santri moleh teko pondok, koe mondok pirang-pirang tahun kudu wani mlarat” Artinya santri yang telah usai mondoknya, pulang harus berani hidup miskin/dalam kondisi yang kurang mampu.

Lanjut beliau “Memorinya hanya dua kalimat, koe mondok pirang-piran tahun, moleh  kudu wani mlarat. Artine mlarat opo ? ora gak duwe duwek, ora gak iso mangan ! moboten. Seng duwe dunyo kui Gusti Allah.”

Beliau menjelaskan dalam kata-kata di atas, bahwa yang dimaksud berani mlarat (miskin) itu bukan berarti berarti berani tidak punya uang dan tidak bisa makan saja. Karena hal semacam itu sudah ditanggung Allah yang memliki dunia seisinya. Karena apabila seorang ragu terhadap rezeki Tuhan, berarti dia tidak percaya takdir-Nya.

Dalam sebuah hadis Qudsi dari Ibni Mas’ud, Nabi Muhammad SAW bersabda : يا دنيا اخدمي من خدمني واتعبي من خدمك   Wahai dunia layanilah seorang yang telah melayaniku, dan tunduklah pada orang yang melayanimu.” Artinya seorang yang berjuang dengan mengamalkan dan mengajarkan ilmu, sudah pasti dijamin oleh Allah dalam urusan dunianya.

Seorang yang memliki niat karena Allah untuk mengajarkan ayat dari Al-Qur’an, misalnya surat Al-Fatihah diajarkan kepada orang yang belum tahu dengan tujuan agar shalatnya sah maka dia telah berjuang untuk akhiratnya. Perjuangannya tidak terbatas kepada khalayak umum dan individu, keduanya memiliki potensi menjadi jaminan urusan dunianya.

Pulang dari pesantren harus berani menghadapi apa saja.” Menjadi seorang santri yang berilmu (intelektual) dan berani amar ma’ruf, nahi munkar. Dawuh beliau “Untung rugi tidak jadi fikiran.” Seperti yang sudah dijelaskan di atas, seorang yang berjuang mengamalkan dan mengajarkan ilmu, rezekinya sudah pasti ditanggung Allah.

Namun, tidak mungkin bagi seorang santri untuk bersantai menunggu rezeki. dawuh KH. Maemoen Zubaer (alm) kurang lebih “Santri ketika ngajar harus punya pekerjaan sendiri. Agar tidak mengharap imbalan dari mengajarnya.”

Berhasil dan tidaknya, tidak menjadi urusan, karena kecerdasan seorang itu masing-masing. Sedangkan hidayah itu hak prerogatif Allah SWT. Sehingga dengan berbekal kesiapan dhohir-batin santri dalam mengabdikan diri kepada masyarakat, santri tidak akan mudah menjual ilmu dan agamanya, pungkas beliau.

*Vanzaka Musyafa Santri Mahasiswa Sekoalah Tinggi Agama Islam Ma'had Aly Al-hikam Malang