Polemik Jabat Tangan Guru Saat Reuni Sekolah - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

12 Juni 2019

Polemik Jabat Tangan Guru Saat Reuni Sekolah

Penulis: Nur Kholilah Mannan
______
Editor: Azam Ibrohimy
Publisher: Siti Fadilah
Ilustrasi foto (wajib'baca)
Atorcatoar.Com - Momen lebaran identik dengan silaturrahmi, tegur sapa dan saling memaafkan, baik lewat media sosial atau media nyata. Momen ini menjadi waktu yang berharga (quality time) bagi mereka yang memang selama setahun tidak berjumpa atau bertahun-tahun berada di negeri antah-berantah. Tidak hanya keluarga, sekawanan sekolah dan pesantren juga seringkali memanfaatkan waktu lebaran sebagai ajang reuni (pertemuan kembali kawan seperjuangan setelah berpisah cukup lama).

Susunan acaranya tak begitu resmi, karena yang penting adalah berkumpul dan tertawa bersama dan terakhir akan ada halal bihalal (meminta kehalalan antara satu orang kepada orang lain, perlu diketahui bahwa istilah ini diprakarsai oleh KH. A. Wahab Hasbullah ketika Bung Karno meminta beliau untuk mengubah kata silaturrahmi menjadi halal bihalal untuk mempersatukan bangsa) yang ditandai dengan salaman kepada semua guru, ustadz dan kiai.

Sebagai sababul wurūd (penyebab tulisan ini), kemarin reuni pesantren ada seorang santri yang bertanya ketika pembawa acara mengumumkan bahwa alumni diperkenankan bersalaman dengan para guru, ustadz/ustadzah dan kiai. Ia bertanya dengan nada heran “Kak, alumni putri kok dibolehkan salaman ke ustadz?” “Kamu salaman ke kiai saja”. Itu jawaban sederhana saya, jawaban ribetnya seperti ini.

Berjabat tangan adalah masalah furu’iyah / masalah cabang fikih / bukan masalah keyakinan yang seratus persen benar dan harus diyakini sepenuhnya. Oleh karenanya ia mempunyai beragam pendapat, dalam berjabat tangan dengan perempuan non mahram syekh Wahbah Zuhaily dalam magnum opus-nya al-fiqhu al-Islām wa Adillatuhu, mengatakan mayoritas ulama kecuali madzhab syafi'iyah membolehkan jabat tangan (muṣāfahah) berjabat tangan dengan perempuan tua yang sudah tidak mempunyai daya tarik laki-laki karena tidak dikhawatirkan terjadi fitnah.

Sedangkan madzhab syafi’iyah mengharamkannya secara mutlak karena sesuatu yang dilarang dilihat maka haram pula disentuh, hal ini berdasarkan hadis إني لا أصافح النساء “Sesungguhnya aku tidak bersalaman dengan perempuan”. Namun Hanafiyah membolehkan jabat tangan jika terdapat penghalang (hāil) antara dua kulit orang yang bersalaman.

Kemudian mengenai jabat tangan laki-laki dan perempuan muda, madzhab yang empat menyatakan keharamannya. Tetapi hanafiyah memberi catatan selama perempuan tersebut menimbulkan syahwat. 

Bahkan hanabilah mengatakan hukumnya makruh secara mutlak, baik ia bersyahwat atau tidak. Pernyataan ini ditegaskan kembali oleh syekh Ali Jum’ah, mufti Mesir, dalam laman Darul Ifta nomor 2287 yang dilansir pada tanggal 13 Januari 2011. Beliau mengatakan bahwa jabat tangan laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya adalah masalah yang mempunyai ragam pendapat.

Jumhur ulama mengatakan haram kecuali hanafiyah dan hanabilah yang mengatakan boleh jabat tangan dengan perempuan renta yang tidak lagi membangkitkan syahwat, ketika sebagian ulama membolehkan praktik itu berdasarkan riwayat bahwa sayyidina Umar ra berjabat tangan dengan perempuan dimana Rasul menahan diri dari praktik tersebut, maka penahanan diri Rasul dipahami sebagai bagian dari kekhususan Nabi Muhammad saw.” (Syekh Ali Jum’ah, Darul Ifta, Mesir, 2011, nomor 2287).

Tidak hanya itu, ada hadis yang menerangkan kesunahan mencium  tangan (bersalaman) orang yang berilmu dengan maksud menghormati orang yang berilmu. Dalam kitab al-Bahru al-Rāiq karya Ibn Nujaim al-Hanafī:

قال في الجامع الصغير: ويكره تقبيل غيره ومعانقته ولا بأس بالمصافحة لما روي أنه عليه الصلاة والسلام سئل 'أيقبل بعضنا بعضا؟ قال: "لا", قالوا: ويعانق بعضنا بعضا؟, قال: "لا" قالوا: أيصافح بعضنا بعضا؟ قال: "نعم" قال مشايخنا: إن كان يأمن على نفسه من الشهوة وقصد البر والإكرام وتعظيم المسلم فلا بأس به والحديث محمول على هذا التفصيل

Pengarang al-Jāmi’ al-aghīr berkata: makruh mencium tangan orang lain dan merangkulnya. Sedangkan berjabat tangan tidak apa-apa berdasarkan riwayat bahwasanya Nabi pernah ditanya “Apakah kita boleh mencium tangan orang lain?” Nabi menjawab tidak, “Apakah kita boleh merangkul orang lain?” Nabi menjawab tidak, “Apakah kita boleh berjabat tangan?” Nabi menjawab iya. Guru-guru kita berkata, jika aman dari timbulnya syahwat dan bermaksud memuliakan guru, mengagungkannya atau memuliakan sesame muslim maka tidak masalah. Dan hadis ini diarahkan pada rincian ini.

Perlu digarisbawahi, pada tulisan ini saya tidak hendak membolehkan jabat tangan dengan non mahrom secara bebas, namun memberi masukan untuk bersikap hormat kepada guru. Memuliakan guru jauh lebih dipentingkan –setidaknya secara adat- daripada larangan jabat tangan yang belum tentu menimbulkan syahwat (baik dikarenakan jarak usia murid yang terlampau amat jauh atau memang rupa si murid tidak layak tayang).

Ada riwayat lain yang menjelaskan keutamaan berjabat tangan dengan orang alim, Syarhu an-Nail wa Syifāu al-‘Alīl karya Muhammad bin Yusuf , أَنَّهُ مَنْ صَافَحَ عَالِمًا فَكَأَنَّمَا صَافَحَنِي “Bahwasanya orang yang berjabat tangan dengan orang yang berilmu maka seakan-akan ia berjabat tangan denganku”.

Tulisan bukan datang untuk melonggarkan aturan yang ketat melainkan menyodorkan kebenaran ilmiah karena walau bagaimanapun akademisi haruslah bersikap jujur pada fakta ilmiah bahwasanya memang terdapat banyak pendapat mengenai ilmu –selain ilmu usuluddīn-. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Allahu A’lam!