Penulis: Nadirsyah Hosen
Selasa 10 September 2019
Ilustrasi: Pixabay |
Atorcator.Com - Sering ada yang bertanya: ini mana dalilnya? Di balik pertanyaan
ini kerap kali terjadi kesalahpahaman tentang dalil. Dengan merujuk pada kitab
Ushul al-Fiqh al-Islamiy karya Syekh Wahbahaz-Zuhaili (jilid 1,
halaman 417-419) seperti yang saya skrinsut di sini, mari kita kaji ulang
dimana letak salah pahamnya.
Para ulama biasanya membahas masalah
dalil ini dalam topik mashadir al-ahkam (sumber-sumber hukum) atau al-adillah
asy-syar’iyyah (dalil-dalil syara’). Secara umum yang disebut sebagai
dalil itu tidak hanya terbatas pada al-Qur’an dan Hadits saja. Dengan demikian,
Inilah kesalahan pertama dibalik pertanyaan mana dalilnya, yaitu menganggap
seolah dalil itu hanya ayat al-Qur’an dan Hadits.
Syekh Wahbah mengutip Hadits
riwayat Sayidina Muaz bin Jabbal. Ketika Muaz Radhiyallah ‘Anhu akan
berangkat ke Yaman sebagai utusan Nabi, Nabi bertanya kepada Muaz: “Hai
Muaz, jika umat bertanya padamu tentang sesuatu masalah, dalil apa yang engkau
gunakan?”
Maka Muaz menjawab: “dengan al-Qur’an”
Nabi bertanya:”Jika tidak terdapat dalam al-Qur’an, bagaimana?”
Maka Muaz menjawab:”dengan sunnahmu”
Nabi bertanya:”Jika tak ada dalam sunnahku dan al-Qur’an?”
Maka Muaz menjawab: “dengan ijithadku”
Nabi menyetujui dan memuji jawaban ini.
Syekh Wahbah juga menjelaskan
bagaimana Sayidina Abu Bakar mencari petunjuk di dalam al-Qur’an dan
Hadits, tapi begitu tidak diperolehnya maka beliau mengumpulkan para sahabat
Nabi lainnya untuk bermusyawarah. Kemudian beliau kumpulkan pendapat para
sahabat dan lantas memutuskan perkara berdasarkan hal tersebut. Metode ini juga
dilakukan oleh Sayidina Umar dan para sahabat lainnya.
Nah, kesalahpahaman yang kedua
adalah cepat-cepat menolak suatu perkara hanya karena tidak terdapat di dalam al-Qur’an
dan Hadits. Padahal para sahabat utama seperti Sayidina Abu Bakar dan Sayidina
Umar akan mengajak berdiskusi dulu dan bertukar pikiran. Di sinilah
peranan ijtihad.
Kesalahan ketiga adalah menolak
menghukumi sesuatu perkara berdasarkan akal. Seolah akal itu sesuatu yang
tercela. Padahal sekian banyak ayat al-Qur’an meminta kita untuk menggunakan
akal pikiran. Syekh Wahbah az-Zuhaili menjelaskan ada pembagian dalil
naqli dan dalil aqli. Contoh dalil aqli yang sah digunakan untuk memutus
perkara itu qiyas (analogi), pertimbangan kemaslahatan, dan lainnya. Dalil
naqli seperti al-Qur’an dan Hadits tidak bisa dipahami kecuali melalui pertimbangan
akal, perenungan dan pandangan yang sahih.
Jadi, keliru besar kalau serta-merta
menolak penggunaan akal dalam urusan dalil. Ambil contoh, penggunaan qiyas
(analogi) jelas bertumpu pada logika. Meski demikian qiyas juga harus bersandar
pada petunjuk dalam al-Qur’an atau Hadits karena kita tidak bisa melalukan
analogi tanpa ada pokok (ashal) perkaranya terlebih dahulu.
Artinya, dalam kajian metodologi
hukum Islam, peranan akal bukannya dilarang digunakan, tapi justru diatur dan
dibahas dengan jelas aturan mainnya. Bukan sekadar akal-akalan, bukan pula
untuk mengakali, tapi justru digunakan sesuai kaidah yang telah digariskan para
ulama.
Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas
adalah empat dalil yang disepakati penggunaannya. Sedangkan dalil lainnya
seperti mashalih mursalah, istihsan, istishab, qaulus shahabi, ‘urf (adat), dan
lainnya itu diperdebatkan penggunaannya oleh para ulama.
Saya hendak tambahkan bahwa selain
dalil, ada juga namanya analisa terhadap dalil. Dalam bahasa ushul al-fiqh, ini
disebut sebagai istidlal. Contohnya: ayat al-Qur’an memerintahkan kita untuk
mengusap kepala saat berwudhu (wamsahu bi ru’usikum). Timbul pertanyaan, berapa
banyak yang harus kita basuh. Apa semuanya? Atau sebagian saja?
Ayat al-Qur’an tidak menjelaskan
dengan pasti batasanya, maka para ulama menganalisa dalil ini. Ditemukanlah
huruf “bi” pada ayat tersebut. Ada ulama yang menganalisa bahwa fungsi “bi”
pada ayat di atas bermakna sebagian (li tab’id). Ulama lain memberikan
analisanya bahwa huruf “bi” bergungsi lil iltishaq (keseluruhan).
Akibat perbedaan analisa terhadap
wajh istidlal maka kesimpulannya bisa berbeda-beda meski dalilnya sama. Mazhab
Syafi’i dan Hanafi mengatakan cukup sebagian saja kepala yang dibasuh.
Sedangkan Maliki dan Hanbali mengatakan harus seluruhnya.
Nah, kesalahan terakhir adalah
seringkali dianggap kalau sudah ada dalilnya maka kemudian tidak akan lagi ada
perbedaan pendapat. Faktanya, para ulama justru berbeda pendapat akibat
menganalisa dalil tersebut. Perbedaan pendapat bukan disebabkan ketiadaan
dalil. Dalil ada, analisa berbeda, kesimpulan pun bisa jadi berbeda-beda.
Ringkasnya, salah kaprah soal dalil
itu karena gagal memahami bahwa:
1. Dalil itu tidak hanya al-Qur’an
dan Hadits.
2. Kalau tidak terdapat petunjuk di dalam al-Qur’an dan Hadits, maka gunakan ijtihad
3. Akal itu juga diakui sebagai dalil. Namanya dalil aqli. Contohnya mayoritas ulama sepakat memakai Qiyas (analogi)
4. Para ulama berbeda pendapat bukan karena tidak ada dalil tapi karena berbeda menganalisa dalil, sehingga kesimpulannya pun bisa berbeda-beda.
Jadi, sebelum kita bertanya, “mana
dalilnya?”, pahami terlebih dahulu, paling tidak, keempat point di atas. Biar
gak salah kaprah.
Wa Allahu a’lam bis shawab.
Tabik,
Nadirsyah Hosen Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama
Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School. Juga Pengasuh PonPes
Ma'had Aly Raudhatul Muhibbin, Caringin Bogor pimpinan DR KH M Luqman Hakim.
*Tulisan ini sebelumnya dimuat di Facebook Nadirsyah Hosen dan Nadirhosen.net