(Surat Terbuka
untuk Bapak Prabowo Subianto)
Penulis: Ahmad
Inumg
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Bapak Prabowo
yang terhormat,
Atorcator.Com -
Saya ingin mengawali surat ini dengan permintaan maaf karena
mungkin saya terkesan lancang. Kita tidak saling kenal secara pribadi. Bapak
tidak mengenal saya. Saya memang bukan siapa-siapa. Saya hanyalah rakyat biasa
seperti kebanyakan orang lain di negeri ini yang hanya bisa melihat Bapak dari
jauh. Jika surat ini terasa kurang sopan, sekali lagi, maafkan saya. Saya hanya
berharap yang terbaik untuk Bapak, terutama di saat ketika keadaan mungkin
terasa sangat berat bagi Bapak seperti setelah Pilpres saat ini.
Bapak Prabowo
yang mulia,
Bapak
dikelilingi oleh para alim dan habib. Saya yakin sekali mereka telah menuturkan
sebuah kisah tentang sebuah pertempuran yang melibatkan Sayyidina Ali, menantu
sang Nabi. Dalam momen tertentu, ketika Sayyidina Ali tengah mengangkat sebilah
pedang untuk ditebaskan ke lawannya yang telah tersudut, tiba-tiba dia
mengurungkan niatnya, mundur, dan membiarkan musuhnya berdiri dan meloloskan
diri.
Tahukah bapak
apa yang membuat Sayyidina Ali melakukan tindakan yang oleh banyak petempur
saat ini dianggap sebagai kenaifan? Keputusan Sayyidina Ali itu dikarena
kejadian sepele, sang lawan meludahi muka Sayyina Ali hingga membuatnya murka.
Seketika Sayyidina Ali mengurunkan diri untuk menebaskan pedangnya karena dia
tidak ingin apa yang dilakukannya karena kemarahan pribadi, bukan karena
nilai-nilai luhur yang menjadi alasan mengapa sebuah peperangan, cara terburuk
dalam menyelesaikan sebuah konflik, harus dilaksanakan.
Jika para ulama
dan habaib pernah mengisahkan ini kepada Bapak, hendaklah Bapak mendengarkan
dengan seksama dan mengambilnya sebagai teladan. Bahkan, dalam sebuah
peperangan yang saling membunuh pun, kemarahan diri harus tetap dikontrol. Jika
sebuah peperangan didorong oleh kemarahan diri, maka peperangan itu kehilangan
sisi kemuliaannya. Tidak ada satu perang pun yang layak dicatat dalam sejarah
manusia jika peperangan itu hanya untuk melampiaskan rasa marah dan dendam.
Pahlawan dibedakan dari penyamun bukan karena yang satu tidak pernah membunuh,
tapi karena seorang pahlawan tahu bagaimana memuliakan sebuah peperangan.
Bapak Prabowo
yang mulia,
Bapak adalah
seorang jenderal yang dikelilingi para cerdik pandai. Saya yakin Bapak pernah
mendengar kisah tentang Salahuddin al-Ayyubi, seorang jenderal Muslim yang sangat
disegani oleh para musuhnya. Dia menggemparkan Dunia Barat ketika mengalahkan
tentara salib para Perang Hattin dan merebut Jerusalim pada 1187 M. Sekalipun
demikian, kebesaran Salahuddin al-Ayyubi tidak semata-mata karena kemampuannya
mengalahkan musuh-musuhnya. Dia memang memiliki karir politik yang sangat
cemerlang, tapi pastilah dia bukan jenderal terbesar jika semata-mata dilihat
dari karir militernya.
Namanya harum
di mata kawan dan lawan lebih karena kualitas pribadinya yang sanggup
menghormati lawannya bahkan di tengah sebuah pertempuran yang penuh darah.
Kualitas pribadinya yang murah hati dan sopan membuat namanya terukir indah
dalam sejarah. Namanya ditulis dengan penuh sanjung-pujian oleh para penulis
Kristen dan Muslim. Musuh-musuhnya menyebutnya dengan “nobel enemy” (lawan yang
terhormat).
Bapak sebagai
seorang jenderal yang gemar membaca pasti pernah membaca kisah epic ini. Jika
sempat lupa, semoga para cerdik pandai yang saat ini mengelilingi Bapak
mengingatkan kembali kisah teladan ini. Bahwa, menghormati lawan dalam sebuah
peperangan juga adalah kualitas moral yang tidak boleh ditanggalkan oleh
seorang jenderal, karena di situlah letak kemuliaannya.
Bapak Prabowo
Terkasih,
Ada sebuah
pelajaran yang sangat penting dari Rasul Muhammad tentang pengendalian diri.
Saya juga teramat yakin pelajaran ini sudah disampaikan para alim dan habib dan
mengitari Bapak saat ini. Saya hanya mengulang karena khawatir Bapak lupa di
tengah kesibukan Pilpres isah ini.
Ketika Nabi
Muhammad bersama para sahabatnya pulang dari dari perang Badar, perang besar
pertama yang dialami dan dimenangi komunitas Muslim yang baru terbentuk saat
itu, Nabi bersabda: “Kita sedang kembali dari perang kecil dan akan menuju
perang besar.” Para sahabat kaget dan bertanya, “Perang besar apalagi yang akan
kita hadapi, ya Rasulullah?” Rasul Muhammad menjawab, “melawan diri sendiri.”
Nabi Muhammad
tahu persis, dalam setiap peperangan selalu ada yang menang dan kalah. Bagi
pasukan perang, apalagi seorang jenderal, perang bukanlah masalah besar
sekalipun di mata banyak orang perang tetap mengerikan. Sekalipun demikian,
tidak sedikit seorang jenderal jatuh ke dalam kerendahan diri sekalipun dia
bisa sangat gagah berani di medan laga. Keluhuran dan kerendahan seorang
jenderal tidak diukur semata-mata dari kemenangan atau kekalahan, tapi
bagaimana dia menguasai dirinya.
Di sinilah
pesan penting Rasul Muhammad terhadap para pasukannya, dan tentu saja untuk
kita semua. Mengendalikan diri itu jauh lebih sulit dari berperang di medan
laga. Seorang jenderal yang mulia sanggup menghormati kemenangan lawannya dan
tidak melakukan tindakan-tindakan perendahan terhadap lawannya saat dia keluar
sebagai pemenang. Bagi seorang jenderal, kemuliaannya salah satunya diukur
apakah dia bisa menghormati lawannya atau tidak, sekalipun mungmin lawan itu
telah mengalahkannya.
Bapak Prabowo
Tercinta,
Sekali lagi,
kita tidak saling kenal secara pribadi. Tapi, saya sangat yakin kita
dipersatukan dalam pandangan yang sama. Kita mencintai Indonesia. Kita
mencintai rakyat Indonesia. Karena itu, seluruh kompetisi politik, termasuk
Pilpres ini, harus kita letakkan dalam kerangka cinta itu. Jika saat ini
situasi terasa begitu menghimpit dada, percayalah, cinta akan membuat segalanya
menjadi indah pada waktunya. Jika yang kita tebar hanyalah makian dan kebencian
serta siasat jahat, marilah kita selalu ingat nasehat Rasul Muhammad di atas.
Sampai di sini
surat dari saya. Semoga yang terbaik diberikan Allah kepada Bapak dan keluarga
serta bangsa Indonesia seluruhnya.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb.
Sidoarjo, 19
april 2019
Ahmad Inung