Ilustrasi foto (kerusuhan 21-22) |
Penulis: Budi Setiawan
Atorcator.Com - Sejumlah pihak kini berusaha
menginternasionalkan kerusuhan 21-22. Termasuk MER-C. Mereka mengatakan
pemerintah melanggar Konvensi Jenewa.
Meski tidak disebut gamblang, berbagai pihak
yang mendukung perusuh berusaha menciptakan opini bahwa telah terjadi kejahatan
kemanusiaan pada kerusuhan 21-22. Sebuah tuduhan absurd, tidak masuk akal
dan kampungan.
PELINTIRAN KONVENSI JENEWA
Para pendukung kerusuhan memakai jurus Konvensi Jenewa
untuk membawa kerusuhan 21-22 itu ke arena internasional. Mereka memakai Konvensi
Jenewa 1949 terutama Pasal 11, Pasal 24-27, Pasal 36, dan Pasal 37.
Pasal-pasal tersebut menegaskan petugas kemanusiaan
dan kesehatan harus dihormati dan dilindungi oleh kedua belah pihak yang
bertikai.
Namun gerombolan pendukung kerusuhan itu menutupi
tujuan dari konvensi tersebut dan pada keadaan apa konvensi itu diberlakukan.
Dan pada kondisi bagaimana yang melanggar bisa dituntut melakukan
kejahatan kemanusiaan.
Faktanya Konvensi Jenewa 1949 dan aneka protokol
tambahan yang mengikutinya dan kemudian dibakukan menjadi SOP Palang Merah
Internasional hanya bisa berlaku dalam keadaan perang. sekali
lagi dalam keadaan perang.
Pertanyaannya yang tentu saja mudah dijawab adalah apakah
kerusuhan 2122 itu negara dalam keadaan perang?
Tentu saja tidak karena apa yang terjadi di depan
Bawaslu adalah operasi pengendalian keamanan. Bukan pemberontakan.
KORIDOR KEMANUSIAAN
Lebih lanjut MER-C dan gerombolan pendukung perusuh
memanipulasi tujuan dari Konvensi Jenewa itu.
Tujuan menghormati dan melindungi petugas kemanusiaan
memasuki daerah konflik adalah menolong warga sipil yang terjebak konflik
antara dua pihak.
Dan dengan penilaian objektif lembaga kemanusiaan yang
terlibat maka pihak yang bertikai harus bersepakat menciptakan koridor
kemanusiaan di zona aman.
Gencatan senjata biasanya diambil untuk memberi
kesempatan bagi warga sipil keluar dari zona konflik.
Zona kemanusiaan itu nantinya akan dipakai untuk
penyaluran bantuan dan upaya penyelamatan bagi combatan yang terluka
terlepas dari pihak mana mereka berasal.
Dari tujuan konvensi Jenewa tadi jelas gerombolan
pendukung perusuh mencoba memanipulasi opini publik.
Karena dalam kerusuhan 21-22 tidak ada warga sipil yang
terjebak. Yang ada perusuh pengidap halusinasi akut wujudnya Indonesia
bersyariah melawan petugas keamanan. Kaum perusuh memanfaatkan kebijakan
tangan terbuka Prabowo menerima dukungan tanpa mau mencegah aksi protes itu
menjadi kerusuhan.
TAMENG KEMANUSIAAN
Jadi jika alasan Konvensi Jenewa yang menjadi
dasar keberadaan Dompet Dhuafa dan ACT di lokasi kerusuhan, maka
pendapat itu sama sekali salah.
Apalagi jika melihat kasus Suriah, banyak
organisasi kemanusiaan palsu yang memanfaatkan Konvensi Jenewa itu untuk
membantu pemberontak. Termasuk disini White Helmets. Lembaga Mitra ACT dan
Dompet Dhuafa di Turki disinyalir menyalurkan bantuan itu untuk pemberontak.
Bukan untuk warga sipil yang terjebak disana.
Dari narasi yang menyudutkan pihak keamanan dan
pemerintah Indonesia dengan memakai Konvensi Jenewa, maka sudah jelas
bahwa semua itu adalah bentuk kekecewaan mereka yang gagal menciptakan
Indonesia sebagai Suriah Kedua.
BAKAL GAGAL
Upaya mereka yang berharap dunia internasional
mengecam Indonesia terkait kerusuhan 21-22 tidak bakal ditanggapi dunia luar.
Hal ini disebabkan karena persepsi internasional bahwa
kerusuhan 21-22
bersifat lokal dan bagian dari upaya kelompok Muslim radikal pendukung
Prabowo.
Mereka justru melihat kerusuhan itu merupakan bagian
dari upaya Jokowi memerangi Islam radikal. Yang bisa membendung aksi terorisme
global pasca kalahnya ISIS dan serangan bom bunuh diri Paskah di Sri
Lanka.
Dunia internasional juga tidak memandang kerusuhan itu
sebagai tindakan sewenang-wenang negara atas warganya.
Mereka justru melihat kelompok ini sebagai pembuat
keonaran dan percaya sepenuhnya Jokowi bisa memadamkan aksi tersebut. Dan
mereka menghargai penegasan Jokowi yang tidak memberi toleransi sedikitpun
terhadap aksi kerusuhan.
Akibatnya hanya delapan negara yang melarang sementara
warganya bepergian ke Indonesia. Yakni Kanada, Amerika Serikat, Inggris,
Australia, Singapura, Malaysia,Thailand dan Filipina.
Lagipula, Indonesia bukan negara lemah.
Negara ini sangat berwibawa di pelataran
internasional.
Hingga teriakan MER-C dan gerombolan pendukung perusuh
hanya dianggap sebagai ucapan ngawur mereka yang mabok agama.
Sama sekali tidak penting.
Karena pesing kayak air kencing..