Agama Jimat - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Selasa, Mei 14, 2019

Agama Jimat

Keterangan Foto: Fb-Fiq
Penulis: Taufiq WR. Hidayat

Atorcator.Com - Agama sejatinya membebaskan. Lantaran ia intisari dan kerinduan paling asasi manusia. Tatkala agama mengajarkan ketakutan, ia tak lagi agama. Melainkan setan. Lalu menyelipkan jimat untuk melawan ketakutan dengan kebencian. Atau mengimani tahayul, menikmati delusi asik sendiri, dan ekstasi. Agama sejatinya cinta; penerimaan, penghimpunan, kebersamaan, keselamatan.

"Come," ujar Jalaludin Rumi. Datanglah. Kemarilah. "Whoever you may be, even if you may be, an infidel, a pagan, or a fire-worshipper". Siapa pun kamu, bahkan jika kau adalah seorang pengkhianat, para Pagan, penyembah api. "Come!" katanya. Datanglah. Kemarilah.

Bagi Rumi, dengan segala makhluk beserta keadaan dan statusnya masing-masing, persaudaraan dan keterhimpunan itulah cinta. Puncak segala jalan spiritual atau pun agama. Ia mengajarkan dan mengerjakan sebuah harapan. Harapan bagi semua yang baik, bahkan bagi yang bejat atau yang terlanjur bejat. Tentu dalam pengayoman cinta, keluasan dan kesungguhan kemanusiaan. Maka dari pandangan ketuhanan ini, segalanya tak ada yang batil (sia-sia). "Ours is not a brotherhood of despair," tegasnya.

"Even if you have broken, your vows of repentance a hundred times," ucapnya. Bahkan jika sekalipun kamu kufur, kau ingkari sumpah penyesalanmu ratusan kali. Maka memang tak ada yang sia-sia dalam cinta. "Come," katanya. Datanglah.. Kemarilah..

Dalam Anthony de Mello, agama sejati mengajarkan hidup yang penuh kasih, dan melihat kenyataan secara cerdik. Menegaskan tak ada ketakutan, lalu mengajaknya memercayai harapan. Memastikan tak ada jimat atau ritual yang secara ajaib dapat menentramkan atau menyelamatkan manusia, kemudian meyakinkan pada vitalnya meneladani sifat-sifat luhur ilahiyah, penjagaan kemanusiaan, kebersamaan, persaudaraan, pengentasan. Sehingga agama tak lagi perlu ditampak-tampakkan belaka sebagai baju, identitas, atau kebanggaan-kebanggaan gombal. Melainkan agama telah menyatu dalam diri, menjelma manusia yang damai dan menyelamatkan tanpa kebencian. Bagi de Mello, begitu kiranya agama yang baik.

Ketika kecil ia takut hantu lantaran ditakut-takuti orangtuanya. Saat dewasa, orangtuanya memberi pengertian dan meyakinkan bahwa hantu-hantu itu sesungguhnya tak ada. Yang ada adalah kegelapan, dan tiap orang harus melewatinya dengan cahaya ilmu, kedewasaan, iman. Tetapi agama yang keji, atau agama yang diajarkan para bajingan dan agamawan palsu, mengajarkan ketakutan pada hantu-hantu dan mengimani sehelai jimat sebagai bekal keselamatan menghadapi kegelapan. Sehingga lahirlah manusia-manusia penyembah jimat, menghamba pada agamawan palsu si pencipta ketakutan dan si pembuat jimat itu. Lantas agama tak menciptakan kedamaian, melainkan kebencian dan perang, prasangka dan dendam, bodoh dan pintas.

Salman Rushdie menulis kisah pendek perihal jimat pembawa malapetaka. Sastra Rushdie memang menarik, terlepas pandangan dunia terhadap novelnya "The Satanic Verses" yang terasa gombal dan dianggap menista agama itu. Sahdan sehelai benda keramat yang disimpan di sebuah masjid hilang. Keadaan kisruh. Para agamawan, polisi, penduduk, politisi, dan entah siapa lagi, gempar. Mereka berkumpul untuk menemukan sehelai benda keramat yang hilang. Tersebutlah seorang pemeras bernama Hasim. Ia telah menemukan benda keramat yang raib itu. Dasar mental rentenir Hasim tak mengembalikannya. Ia terkagum-kagum pada sehelai benda keramat yang disimpan dalam sebuah botol perak.

Benda keramat itulah yang diyakini orang adalah sehelai rambut sang nabi. Dengan gembira, Hasim membawa pulang sehelai rambut sang nabi dalam botol perak tersebut. Ia berpikir akan ada kolektor membeli sehelai rambut keramat itu dengan harga mahal. Di samping itu, ia mengambilnya dengan niat baik, ingin menghindarkan masyarakat dari dosa pemberhalaan.

Dibawa pulanglah sehelai rambut sang nabi ke rumahnya. Terjadi keganjilan dalam diri Hasim si pemeras, sejak menyimpan sehelai rambut sang nabi dalam sebuah botol perak. Ia menjadi sok religius. Ia mengakui dengan jujur perselingkuhannya, menerapkan keharusan jujur pada istri dan anak-anaknya, mewajibkan tanpa ampun agar keluarganya menjalankan syariat agama secara ketat. Perubahan mendadak religius pada sikap Hasim tak menciptakan ketentraman dalam keluarganya.

Sebaliknya. Istri dan anak-anaknya tersiksa, tertekan atas sikap sok religius Hasim sebagai kepala rumah tangga yang awalnya adalah seorang rentenir. Berundinglah kedua anak Hasim beserti istrinya. Perundingan membuahkan keputusan, agar keadaan rumah kembali sedia kala, satu-satunya jalan, rambut sang nabi yang disimpan Hasim harus disingkirkan atau dikembalikan. Keluarga Hasim meminta pertolongan seorang pencuri agar mencuri benda keramat yang telah menimbulkan perubahan sikap sok religius dan sok suci pada diri Hasim.

Tatkala pencuri memasuki rumah Hasim, anak lelakinya yang menderita sakit kaget. Berteriak. Lalu mati mendadak. Hasim sadar, benda keramat hendak dicuri. Dalam keremangan, ia dengan sigap mengambil pedang. Melihat bayangan mendekat, tanpa pikir panjang Hasim menikamkan pedangnya pada bayangan yang mendekat. Bayangan itu roboh. Tewas. Tapi bukan pencuri yang tewas, melainkan anak perempuan Hasim.

Hasim terperanjat. Ia tak sengaja telah menikam anak perempuannya sendiri. Menyesal. Hasim pun menikam dirinya sendiri. Istri Hasim menjadi gila melihat kematian mendadak yang terjadi dalam rumahnya. Pencuri yang sudah berhasil mencuri sehelai rambut sang nabi dalam sebuah botol perak itu tertembak petugas saat melarikan diri. Dan rambut sang nabi pun ditemukan. Dikembalikan dalam masjid yang menyimpannya.

Kisah rambut sang nabi yang ditulis Salman Rushdie itu sesungguhnya hendak mencari pengertian timur dan barat. Latar belakang budaya India pada ingatan Rushdie perihal pengertian timur dan pendidikan di Inggris perihal pengertian barat, membuat Rushdie mencoba mendialogkan keduanya dalam sastra. Ia tak mengkufuri pengertian timur yang mistik. Tetapi tak hendak memberikan tafsir pada peristiwa mistik dengan pengertian barat. Barangkali Rushdie hendak mengawinkan keduanya, meski tampak tak sempurna dan terlihat "memaksa".

Namun setidaknya, kisah lama itu tengah mencatat sikap beragama yang tahayul, fanatik buta, dan tak masuk akal. Sehingga agama hanya menjadi kebanggaan, membentuk sikap sok suci seperti sikap iblis yang terkutuk. Benar bahwa agama memerlukan simbol dan penanda. Namun itu bukan yang hakiki. Hanya sarana spiritual.

Apa yang harus dipelihara dari sosok seorang nabi---sebagaimana ditegaskan dalam teks-teks suci, adalah kepribadian sang nabi yang luhur dan agung. Meneladani dan melanjutkan sikap hidupnya yang mulia (uswatun khasanah), yang memandang segalanya dengan pandangan cinta. Bukan mengkeramatkannya secara membabibuta, tanpa ilmu dan pendalaman tafsir. 

Sehingga menjadikannya berhala. Sedang nilai-nilai hidup dan keluhuran kepribadian sang pembawa ajaran yang suci tak pernah hidup di dada orang yang mengaku beriman dan beragama. Selain kebodohan yang amat mudah dimanfaatkan kepentingan praktis dan uang melalui doktrin serta keyakinan-keyakinan kosong yang gombal. Agama mengimani jimat atau benda keramat. Tetapi gagal mengimani dan merawat kemanusiaan sebagai sisi terpenting sebuah keimanan dalam menghamba kepada Tuhan.

Tembokrejo, 2019

Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa WongsorejoBanyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi Suluk Rindu (YMAB, 2003), Muncar Senjakala (PSBB, 2009), kumpulan cerita ‖Kisah-kisah dari Timur‖ (PSBB, 2010), ‖Catatan‖ (PSBB, 2013), ‖Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti‖ (PSBB, 2014), ‖Dan Badut Pun Pasti Berlalu‖ (PSBB, 2017), ‖Serat Kiai Sutara‖ (PSBB, 2018). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi