Banyak Guru dan Kyai, Memang Berkah - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Jumat, Mei 10, 2019

Banyak Guru dan Kyai, Memang Berkah

 
Pesantren
Penulis: Robert Azmi

Atorcator.Com - Mungkin rata-rata teman santri Lirboyo, akan teringat dawuh al-Mukarram Mbah Yai Anwar Lirboyo yang mengkritik banyaknya wali murid memondokkan anaknya karena sudah angkat tangan. Ndugal, nggak ngatasi, baru di pondokkan. Atau nilai sekolah super payah, baru melirik pondok. Yang inti dawuhnya: “Jangan jadikan pondok pesantren seperti sampah; tempat pembuangan terakhir! Anak yang seakan tak berguna dan tak sesuai kehendak orang tua, baru di pondokkan”. Fix, saya nderek dawuh Beliau. Mbok yao, yang cerdas dan sip juga ikut di pondokkan.

Tapi, apakah kesimpulannya: Anak tidak bisa diatur dilarang dipondokkan? Dan banyak pondok yang menolak? Inilah enaknya banyak guru dan kyai.

Dulu Mbah Yai desa kami, sowan ke salah satu pamannya yang merupakan perintis pondok kecilnya. Beliau mengeluh, santri yang mondok di pesantren mereka, kok banyak yang nakal. Dan pengganti ayahandanya itu menjawab dengan sabar, "Lho, karena mereka belum baik. Ini kan malah tugas mulia kita untuk menjadikannya baik, Yi? Jadi jangan putus asa lah ...".

Selang beberapa waktu. Mbah Yai desa kami ganti di "sambati" adiknya yang kebetulan bagian keamanan. "Mas, anak yang nakal-nakal itu, dikeluarkan saja, kenapa? Ngruwet-ngruweti!"

"Kalau semua pondok menolak dipondoki. Terus siapa yang akan menerima mereka untuk mendapat kebaikan?" Jawab kakaknya kalem.

Trus, apakah Mbah Yai desa kami tidak pernah marah pada santri-santrinya yang ndugal? Wah sering! Tapi setelah marah langsung selesai.

"Dulu, ya kami pernah dimarahi abah" Seniorku memulai kisahnya tadi malam. "Gimana tidak marah? Tau kan dulu sebelum ada WC model zaman sekarang. Para santri putri BAB nya di jamban yang dibawahnya ada kolam berisi ikan lele buwesar-buwesar. Fungsi dari lele itu untuk memakan Eek mbak-mbak putri. Dasar kami yang ruwet. Ikan pemangsa bolang-baling itu. Kami pancing! Dan kami masak bersama-sama!"

"Huweeekkkk" Sergahku.

Kemudian dia meneruskan, "Abah marah besar!Beliau menyuruhku menulis siapa saja yang memancing, memasak dan memakannya. Aku tulis semua. Kecuali namaku ngoahahaha. Setelah semuanya berkumpul dan aku bergaya sebagai pihak yang mengantar para terdakwa. Beliau marah besar! 'Karepmu kabeh iki opo?! Iwak lele dingge mangan tahine cah wedok-wedok kok mbok masak?! (Ingin kalian apa?! Ikan lele yang di gunakan untuk memakan kotoran anak-anak putri, kok kalian masak?!) Apa kalian mau menggantikan tugas ikan lele itu?!'. Mendengar kata terakhir ini, ganti kami yang menahan tawa".

"Ada lagi" Saut seniorku lainnya, "Abah dulu kan memelihara menthok (Itik/bebek Manila), dan aku curi xixixi... Setelah matang. Kami undang Beliau untuk makan bersama.

'Wah makan besar, Cah! Daging apa ini?!'.

'Burung dara, Bah'.

Setelah beberapa pulukan Beliau menemukan potongan kepala yang lebih besar dari burung dara,

'Lho, ini apa?! Burung dara kok kepalanya menthok?"

Kami semua ngakak berjamaah. Lalu menceritakan kisah-kisah lucu masa lalu. Diakhir kata. Ada seniorku yang berkata:

"Tapi, yang penting bagi kami. Kesalahan sebesar apapun. Tetep meminta maaf kepada Beliau. Sering mendekat dan sering sowan. Bahkan sampai Beliau meninggal. Oiya, kami pamit dulu, mau ke makam Abah".


"Oke," jawabku singkat. Kupandang mereka yang menjauh dan membatin, "Ndugalnya seperti itu, kok sekarang ada yang punya Madrasah dan Masjid?! Gustiii, rahasia-Mu memang tak terkirakan".