Budaya Memburu Berkah dengan Menata Sandal Sang Kyai - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Sabtu, Mei 18, 2019

Budaya Memburu Berkah dengan Menata Sandal Sang Kyai

Ilustrasi foto (Detik, Santri Menata Sandal Kyai)
Penulis: Ahmad Syafi'i 

Atorcator.Com - Satu hal unik yang sudah menjadi ciri khas budaya santri tempoe dulu adalah mereka suka berebutan menata sandal kyainya. Pertanyaannya adalah: Apakah budaya tersebut bisa dikatakan sebagai perbuatan yang berlebihan dan mengarah pada sikap pengkultusan? Tentu saja tidak. Lantas apa yang menyebabkan sebegitunya sikap santri pada kyai-nya? Paling tidak ada dua hal yang bisa menjelaskan fenomena ini.

Pertama, sikap itu muncul lantaran hubungan batin yang kuat antara santri dengan sang kyai. Kuatnya hubungan batin ini merupakan faktor dominan bagi santri untuk mendapatkan ilmu dari sang kyai. Sebagian ulama menyatakan:

قال بعضهم: سبعون فى مائة اَن العلم ينال بسبب قوة الرابطة بين المريد وشيخه

"Bahwa 70% ilmu itu didapat karena kuatnya hubungan batin antara santri dan kyai-nya".

Kedua, karena kuatnya keyakinan santri akan pentingnya mendapatkan barokah dari sang kyai. Jadi, tradisi berebut untuk menata sandal sang kyai tujuannya tidak lain adalah "ngalap berkah sang kyai dengan menata sandalnya". Dengan kata lain, menata sandal kyai adalah bentuk kepatuhan yang tulus dan ketakziman kepada sosok guru atau kyai dan diyakini didalamnya ada keberkahan. Santri menyebutnya sebagai upaya ngalap berkah.

التبرُّكُ بالنَّعلين من الوليِّ أفضلُ منه بغيرهما لأنهما يَحمِلانِ الجُثَّةَ كلَّها . الفوائد المختارة : ٥٧٠

"Ngalap berkah melalui sandal seorang wali lebih utama dari pada dengan selainnya. Karena sandal di gunakan untuk membawa jasad seutuhnya."

Konon, Al-Amin dan Al-Ma'mun, dua orang putra raja Harun al-Rasyid, saling berlomba untuk meraih sandal guru mereka, kyi al-Kisa'iy, agar dapat memakaikan sandal itu pada gurunya. Maka berkatalah guru mereka kepada mereka berdua kala itu, "Masing-masing memegang satu".

وكان الامين والماءمون ابنا هارون الرشيد يتبادران نعلي شيخهما الكسائي ايهما يلبسه اياهما، فيقول لهما عند ذلك: لكل واحد واحدة.

Semakin jelas, bahwa tujuan Al-Amin dan Al-Ma'mun yang bersaing untuk saling mendahului memakaikan sandal gurunya al-Kisaiy, yang bisa jadi tidak pernah mereka lakukan pada ayahnya sendiri (Harun al-Rasyid), semata-mata karena kedekatan hubungan batin dan rasa hurmat serta ta'dzim keduanya kepada al-Kisaiy, sebagai ayah yang telah mengajarinya ilmu Nahwu.

Perlu dicatat bahwa al-Kisaiy adalah seorang Imam yang hafal al-Qur'an, guru besar bahasa Arab, al-Hasan Ali bin Hamzah al-Asadiy al-Kufiy, yang kemudian dijuluki al-Kisaiy karena dengan sebuah selimut ia niat berihram (w. 189 H). Terkait sosok al-Kisaiy, Imam Syafi'i berkomentar:

مَنْ اراد ان يتبحّر فى النحو فهو عيال على الكسائي

"Barangsiapa yang ingin berenang dalam lautan ilmu Nahwu, hendaklah ia mendatangi Imam al-Kisaiy".

Nah, pertanyaan selanjutnya adalah: Kenapa perlakuan (sikap hormat) kedua putra Harun al-Rasyid terhadap gurunya melebihi perlakuan keduanya pada ayahnya sendiri? Jawaban atas persoalan ini jauh-jauh hari telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw dalam sabdanya berikut:

وقد روي فى الحديث: اباؤك ثلاثة: ابوك الذي ولدك، والذي زوجك ابنته، والذي علمك، وهو افضلهم. [العطية الهنية، ص. ٣٢ و فى المنهج السوي، ص ٢٢٠]

"Ayahmu ada tiga. Ayah yang menjadi penyebab kelahiranmu. Ayah yang menikahkanmu dengan putrinya. Dan ayah yang mengajarimu, dan dialah yang paling utama".

Dalam mengomentari hadis tersebut, al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith, mengutip syair sebagian ulama:

اُقَدِّمُ اُسْتَاذِي عَلى بِرِّ وَالِدِيْ
وَاِنْ كَانَ لِيْ مِنْ وَالِدِيْ البِرُّ وَالْعَطْفُ

فَهذا مُرَبِّيْ الرُّوْحِ، وَالرُّوْحُ جَوْهَرُ
وَهذا مُرَبِّيْ الْجِسْمِ وَهولها صَدْفٌ

Aku dahulukan guruku dibanding bakti kepada ayahku
Sekalipun kudapatkan kebaikan dan kasih sayang dari ayahku
Yang ini (guru/ayah epistemologis) adalah pendidik jiwaku
Dan yang itu (ayah biologis) pendidik tubuhku, dan ia bagai kerang baginya.

Abu Sahal al-Shu'lukiy berkata:

عُقُوْقُ الوالِدَيْنِ تَمْحوه التوبة، وعقوق الاستاذين لايمحوه البتّةَ [نقله النووى فى (تهذيبة)، انظر فى "المنهج السوي" ومثله فى "القرطاس"، ١/ ٢.٨].

"Durhaka kepada orang tua dapat dinetralisir dengan tobat, namun durhaka kepada para guru tidak bisa dihapus oleh apa pun".

Selanjutnya, dalam konteks budaya ulama Nusantara, perbuatan menata sandal ini juga melibatkan 2 (dua) kyai besar Nusantara, yaitu KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari saat mereka bersama berguru pada Kyai Sholeh Darat Semarang.

Keduanya selalu berebutan dan bersaing untuk dapat menata sandal kyainya. Sebagai ganjarannya, karena perbuatannya itu di mata Kyai keduanya dipandang sangat istimewa.

Kegiatan menata sandal ini terlihat sepele, namun ternyata ada dasar kisah dibalik perbuatan yang melibatkan 2 (dua) ulama besar Indonesia itu. Ceritanya adalah sebagai berikut:

Di zaman Rasulullah Saw ada seorang bocah berumur belasan tahun bernama Salman. Ia selalu datang lebih dulu ke Masjid sebelum nabi Muhammad saw datang. Setelah nabi Muhammad saw masuk masjid, Salman kemudian bergegas merapikan dan membalik posisi sandal Rasulullah. Hal itu dilakukan setiap hari sehingga membuat Rasulullah saw penasaran untuk mengetahui siapa yang melakukan itu.

Suatu kali saat masuk Masjid, Rasulullah saw sengaja bersembunyi untuk melihat siapa orang yang merapikan dan mengubah letak sandalnya. Saat itulah dilihatlah Salman yang melakukannya.

Nabi Muhammad saw kemudian mendoakan Salman agar menjadi orang yang alim dalam ilmu Fiqh. Setelah dewasa dikalangan ulama Salman dikenal kemudian sebagai ahli Fiqh sesuai nabi saw doakan terhadapnya. (Lihat buku "Kebiasaan Dua Ulama Besar KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari]

Terakhir, ini adalah pengalaman pribadi saya, dulu saat ngaji Ihya' Ulumiddin di PP. Darul Huda Mayak Ponorogo di bawah bimbingan al-Maghfurlah KH. Hasyim Sholeh (Juz 3-4, karena juz 1&2 ngajinya di PP. Hidayatul Mubtadi'in Ngunut T. Agung), aku juga sering melakukan budaya ini.

Jika tidak berkesempatan menata microfon, meja dan bantal kyai karena sudah kedahuluan santri lainnya, aku pun bergegas menata bakiak milik kyai Hasyim. Kadang aku juga merasa jengkel manakala kesempatan kedua-duanya lenyap, lantaran kedahuluan oleh santri lain. Sungguh, yang terakhir itu, bikin Sakitnya tuh di sini...!!!

Walhasil, bahwa budaya berebut untuk menata sandal kyai merupakan budaya yang positif yang perlu dilestarikan. Jelas argumentasinya, baik secara naqli maupun aqli. Semoga kita bisa mengikuti teladan baik para pendahulu kita. Amin.

Wallahu A'lam bi al-Shawwaab

Al-Faqir 


  • Ahmad Syafi'i SJ Dosen tetap INSURI Ponorogo. Menulis segudang karya tulis ilmiah, baik karya buku, hasil penelitian, dan artikel jurnal/proseding. Tinggal di PP. Ainul Ulum, Dukuh Krajan Pulung Ponorogo