Menelisik Belenggu Iblis: Semakin Kuat Belenggu, Semakin Kuat untuk Membobol - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Kamis, Mei 16, 2019

Menelisik Belenggu Iblis: Semakin Kuat Belenggu, Semakin Kuat untuk Membobol

Ilustrasi foto
 Penulis: Taufiq WR. Hidayat

Atorcator.Com - Konon pada bulan Ramadhan iblis dibelenggu. Tapi kenapa manusia masih melakukan penyimpangan? Kenyataan itu sejatinya menjelaskan, iblis mengalir di aliran darah, sebagai kehendak dan keinginan-keinginan yang tak terkendali. Sang iblis dibelenggu oleh puasa sejak terbit sampai terbenam matahari. Semua kebutuhan atas tubuh dihentikan; tak ada makan, tak minum, tak ada aktivitas seksual.

Tapi apakah dengan dibelenggu itu kehendak dan keinginan dasar tubuh mati? Tidak. Manusia masih hidup. Iblis tak pernah mati, hidup dalam aliran darah. Orang membelenggunya di siang hari bulan puasa. Malam hari belenggu itu dibuka, tepat matahari terbenam.

Jika puasa tak bermuara pada kesadaran pengendalian diri atas apa-apa yang dibelenggu di siang hari itu, belenggu puasa sebulan tak akan merubah apa pun dalam kepribadian manusia. Hanya olahraga rutin tahunan, ujar seorang sastrawan Arab, Najib Mahfouz.

Pengendalian terhadap tubuh yang bermuara pada kematangan jiwa atas tubuhnya. Tubuh meniscayakan pada perbuatan. Jiwa meniscayakan pada kematangan, ketenangan, kerelaan, keterlibatan merasakan penderitaan. Ia merindukan yang lain, kebersamaan, tak dapat sendirian, namun terkadang ingin tak dimengerti siapa-siapa. Ia rapuh. Tapi juga kokoh.

Dengan keutuhan jiwa dan raga itu, manusia melewati waktu, mengolah kenyataan dalam gairah suci penjagaan. Ini barangkali pengertian sederhana perihal puasa sepanjang masa, atau Ramadhan yang kekal, lebaran (fitri) yang setiap saat dirayakan bagai detak jantung, sebagaimana dibisikkan para penekun tasawuf.

Dalam teks Qur'an Surat al-Ashr, diurai-Nya: "Demi masa (senja), sungguh manusia celaka, kecuali yang beriman dan berbuat baik (amilus sholihat)." Dalam pengertiannya, "amal" berarti perbuatan, "sholeh" berarti baik. Bersedekah, zakat, puasa, bukan "amal". Tapi bentuk-bentuk dari "amal". "Sholeh" dapat diukur dengan kebaikan dan kebergunaan bagi kehidupan, yang pada hakikatnya adalah penjagaan dan manfaat. Menjaga diri agar tidak kedinginan oleh cuaca yang dapat menyebabkan celaka/sakit pada tubuh, termasuk dalam perbuatan baik atau "amilus shalihat".

Lalu bagaimana itu semua akan menjadi kesempurnaan jika dijalankan tanpa keyakinan, tanpa keyakinan bahwa menjaga diri dari cuaca dingin itu dapat melindungi dari sakit? Iman---secara sederhana, ialah keyakinan, percaya, keteguhan. Dalam khazanah Islam, ia harus dibuktikan dengan penyaksian (syahadat). Penyaksian dan pembuktian untuk menjaga kehidupan, menyelamatkan dan saling mencintai (al-islam).

Iman, sebagaimana disebutkan dalam teks suci, ialah meyakini yang tak terjangkau (gaib). Dan menegakkan kemanusiaan sebagai bukti keyakinan adanya yang tak ada (tak terjangkau) itu. Atas landasan inilah, perbuatan baik (amilus shalihat) dikerjakan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa "amilus shalihat", iman hanya konsepsi perihal keyakinan yang secara praktis disebut doktrin.

Lalu apa perlunya perbuatan baik, tapi tak menjaga dan menyelamatkan kehidupan, hanya kepentingan dan menuruti kehendak sendiri? Itu kiranya al-Islam. Cukup mudah. Namun tak dimudah-mudahkan. Lentur. Tapi tegas. Rapuh, rawan, halus (latif). Namun kokoh dan kuat. Bukan yang digawat-gawatkan para “ustad selebritis” dan “dai sponsor” yang menggampangkan ajaran suci dengan retorika, yang gemar mengklaim atas nama Islam pada dirinya sendiri atau kelompoknya. Pengertian ini penting. Al-Islam bukan Arab. Tetapi Arab (dan budaya apa pun) hanya sebentuk sarana, yang ajaran Islam secara halus dan arif berbaur di dalamnya.

Tetapi belenggu atas iblis tak berarti urusan selesai. Semakin kuat belenggu, semakin kuat kehendak untuk bebas. Semakin besar kekuatan guna membobol belenggu. Manusia adalah bebas. Ia hanya dikendalikan oleh dirinya sendiri. Pada tataran sosial, dibatasi hukum dan hak-hak bersama. Semakin iblis dibelenggu, semakin berada dalam tekanan semakin cerdik dia untuk meloloskan diri. Atau mendobrak membongkar belenggu-belenggu itu.

Pada bulan Ramadhan, kebutuhan atas tubuh justru semakin membeludak. Mall ramai. Menguntungkan para pemodal raksasa. Dan pemodal kecil hanya mendapat keuntungan "sisa-sisa" dari para monster kapital. Mereka yang kecil itu diceramahi para “ustad sponsor”, dianjurkan bersyukur atas ketidak-adilan para penguasa pasar.

Tak hanya membakar gairah memiliki, iblis yang dibelenggu itu pun membisikkan berhala pada kebanggaan-kebanggaan di dada orang beriman. Sehingga orang beriman tersebut mencium sehelai rambut yang disimpan dalam tabung, yang diyakini rambut sang nabi. Itu diumumkan, divideokan, dipotret. Supaya apa? Barangkali supaya populer kalau dia mencintai nabinya, dan rumahnya ramai dikunjungi orang. Bukankah itu pendangkalan dan pembodohan? Iman dan kecintaan yang sejatinya "sirri" (rahasia) dan sakral itu didangkalkan potret, video, disahkan sertifikat, dan klaim-klaim gombal.

Tetapi belenggu atas iblis, tak pernah usai. Dan politik (yang modern maupun klasik), selalu ditegakkan dengan diskriminasi, kebencian, omong kosong agama, dan tipu daya. Iblis yang dibelenggu itu membisikkan ajarannya yang mujarab menyeret manusia dalam kegilaan-kegilaan berkuasa dan menguasai.

Pada sudut lain, belenggu atas iblis ditandai dengan hidup yang anti keaneka-ragaman, tidak setuju melihat banyak orang di dunia ini bergerak ke segala arah, ke segenap penjuru atau pilihan yang berbeda-beda. Ada yang bergerak ke barat, timur, atas, bawah, selatan, utara, sudut. Ke segala arah. Tidak ada yang searah. Ada dunia di seberang fakta, di seberang kenyataan dan kesadaran pada dirinya sendiri.

Abu Nawas ditanya. "Tuan Nawas, kenapa semua manusia di dunia ini bergerak ke segala arah? Kenapa tidak bergerak ke satu arah saja?"

Tuan Nawas menjawab. "Jika semua manusia berjalan pada satu arah, bahaya! Bumi ini pasti berat sebelah, lantas akan tergelincir jatuh ke dalam jurang!”


Tembokrejo, 2019

  • Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa WongsorejoBanyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi Suluk Rindu (YMAB, 2003), Muncar Senjakala (PSBB, 2009), kumpulan cerita ‖Kisah-kisah dari Timur‖ (PSBB, 2010), ‖Catatan‖ (PSBB, 2013), ‖Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti‖ (PSBB, 2014), ‖Dan Badut Pun Pasti Berlalu‖ (PSBB, 2017), ‖Serat Kiai Sutara‖ (PSBB, 2018). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi