Penulis: Muhammad fahmi Arofi
_________
Editor: Moh. Syahri
Publisher: Azam Ibrohimy
Selasa 18 juni 2019 06:00
Atorcator.Com - Di senja menjelang mega kembali tiada, dalam lelah akibat perjalanan panjang mengarungi lautan maaf silaturahmi di momen hari raya, ku sempatkan menghadiri undangan pesantren almamater tercinta. Kalau saja bukan romo yai yang memanggil, tentu akan kupilih saja untuk memanjakan rasa letihku.
Sore itu setelah maghrib, saya baru tiba dari perjalanan "mengelilingi" malang raya semenjak berangkat di pagi harinya. Gawai saya sudah lama mati semenjak siang karena kehabisan baterai. Puluhan pesan dan panggilan tak terjawab menyerbu ketika gawai baru menyala, rasa bersalah dan bingung juga turut menyerbu. "Ah, aku benar-benar lupa, padahal udah janjian jauh-jauh hari," entah penyakit manajemen waktu yang buruk ini seakan sudah mendarah daging. Langsung saja setelah isya' saya berangkat.
Momen kebersamaan, melepas rindu hingga sendu, secangkir kopi dan tawa mengiringi tentu selalu terjadi. Namun di luar itu semua akan ada sebuah kerinduan tersendiri terhadap para dzurriyah pesantren.
Gemuruh itu terpantik oleh sebuah mauidhoh hasanah yang amat khas dari Gus Hamdun (K.H. Ibnu Hamdun), sebuah gaya kharismatik yang tak mampu seorang pun menyamainya. Jikalau seorang satpam atau pun tukang bakso jauh di luar area pesantren lamat-lamat mendengar suara beliau dari speaker pondok, tanpa melihat secara langsung tentu akan segera mafhum bahwa itu adalah suara Gus Hamdun sedang bermauidhoh.
Salah satu petikan dawuh yang masih saya ingat adalah bahwasanya dunia adalah perantara menggapai akhirat (ad-dunyaa washiilah ilaal akhiirah). Dalam hal ini beliau menanggapi mangkraknya pembangunan gedung ikatan alumni, atau dalam bahasa beliau disebut "belum selesai"--sungguh suatu teladan lain yang patut dipahami.
Ketika itu beliau menganalogikan dengan seseorang yang bekerja penuh peluh mendambakan sepeda motor--yang merupakan bentuk dunia-- yang kemudian akan digunakan untuk mengikuti pengajian, majlis ilmu, terutama juga memudahkan dalam mencari nafkah untuk keluarganya--yang merupakan manifestasi akhirat. Tentu kita tahu dan sama sepakat bahwasanya ini juga selaras dengan sabda Rasul, addunyaa mazro'atul akhirah.
Namun dilema muncul jauh dalam sanubari, tentang fenomena masa kini. Dimana petuah Gus Hamdun tersebut tanpa kita sadari telah terjungkir balikkan, menjadi "al-akhiirah washiilah ilaad dunyaa".
Betapa banyak orang yang menyalah gunakan akhirat untuk kepentingan dunia? Betapa banyak orang yang memanfaatkan perkara yang menjadi ranah Tuhan untuk menggapai simpati makhluk-Nya? Betapa banyak orang yang menyelewengkan agama untuk memudahkan urusan kehidupannya di dunia? Betapa banyak orang yang berkedok agama berbisnis mengeruk keuntungan dunia yang banyak?
Pertanyaan-pertanyaan di atas akan sedikit mengingatkan kita akan kasus penipuan umroh layaknya first travel dan abu tours, jajaran korupsi dana haji dan pengadaan Al-Qur'an. Belum lagi maraknya "ustadz dan penceramah dadakan" di mana-mana, seakan-akan pendakwah adalah profesi yang menjanjikan. Bahkan ada yang sampai mematok harga tinggi disertai paket-paket tambahan yang menghiasi bisnis ini.
Mirisnya lagi, semakin lama fenomena ini semakin tak memandang bulu. Kalangan warga desa dan santri yang masih "polos" pun banyak yang terkesima akan jejalan dalil-dalil yang dilontarkan oleh pendakwah dadakan ini beberapa saat setelah ia baru menghafalnya. Lalu bagaimana jika yang seperti ini pada akhirnya ditunggangi oleh kepentingan kelompok tertentu, politik misalnya? tentu bayaran akan berlipat ganda sesuai pesanan yang ada.
Ini belum termasuk hal-hal sepele yang sering kita jumpai, ketika kita saling membanggakan keagamaan kita masing-masing demi kegengsian duniawi. Saling membanggakan surau dan masjid megah kita. Saling membanggakan sekolah dan madrasah kita yang semakin tinggi menjulang. Membanggakan keilmuan kita dan memandang rendah yang lain. Membanggakan ketekunan ibadah kita. Membanggakan lancarnya bacaan Al-Qur'an kita.
Ya, pada masa kini akhirat adalah ladang dunia yang menggiurkan. Sungguh segalanya telah terbalik.
Wallahu A'lam bis Showwab.
_________
Editor: Moh. Syahri
Publisher: Azam Ibrohimy
Selasa 18 juni 2019 06:00
IkusIlust foto/dari penulis |
Atorcator.Com - Di senja menjelang mega kembali tiada, dalam lelah akibat perjalanan panjang mengarungi lautan maaf silaturahmi di momen hari raya, ku sempatkan menghadiri undangan pesantren almamater tercinta. Kalau saja bukan romo yai yang memanggil, tentu akan kupilih saja untuk memanjakan rasa letihku.
Sore itu setelah maghrib, saya baru tiba dari perjalanan "mengelilingi" malang raya semenjak berangkat di pagi harinya. Gawai saya sudah lama mati semenjak siang karena kehabisan baterai. Puluhan pesan dan panggilan tak terjawab menyerbu ketika gawai baru menyala, rasa bersalah dan bingung juga turut menyerbu. "Ah, aku benar-benar lupa, padahal udah janjian jauh-jauh hari," entah penyakit manajemen waktu yang buruk ini seakan sudah mendarah daging. Langsung saja setelah isya' saya berangkat.
Momen kebersamaan, melepas rindu hingga sendu, secangkir kopi dan tawa mengiringi tentu selalu terjadi. Namun di luar itu semua akan ada sebuah kerinduan tersendiri terhadap para dzurriyah pesantren.
Gemuruh itu terpantik oleh sebuah mauidhoh hasanah yang amat khas dari Gus Hamdun (K.H. Ibnu Hamdun), sebuah gaya kharismatik yang tak mampu seorang pun menyamainya. Jikalau seorang satpam atau pun tukang bakso jauh di luar area pesantren lamat-lamat mendengar suara beliau dari speaker pondok, tanpa melihat secara langsung tentu akan segera mafhum bahwa itu adalah suara Gus Hamdun sedang bermauidhoh.
Salah satu petikan dawuh yang masih saya ingat adalah bahwasanya dunia adalah perantara menggapai akhirat (ad-dunyaa washiilah ilaal akhiirah). Dalam hal ini beliau menanggapi mangkraknya pembangunan gedung ikatan alumni, atau dalam bahasa beliau disebut "belum selesai"--sungguh suatu teladan lain yang patut dipahami.
Ketika itu beliau menganalogikan dengan seseorang yang bekerja penuh peluh mendambakan sepeda motor--yang merupakan bentuk dunia-- yang kemudian akan digunakan untuk mengikuti pengajian, majlis ilmu, terutama juga memudahkan dalam mencari nafkah untuk keluarganya--yang merupakan manifestasi akhirat. Tentu kita tahu dan sama sepakat bahwasanya ini juga selaras dengan sabda Rasul, addunyaa mazro'atul akhirah.
Namun dilema muncul jauh dalam sanubari, tentang fenomena masa kini. Dimana petuah Gus Hamdun tersebut tanpa kita sadari telah terjungkir balikkan, menjadi "al-akhiirah washiilah ilaad dunyaa".
Betapa banyak orang yang menyalah gunakan akhirat untuk kepentingan dunia? Betapa banyak orang yang memanfaatkan perkara yang menjadi ranah Tuhan untuk menggapai simpati makhluk-Nya? Betapa banyak orang yang menyelewengkan agama untuk memudahkan urusan kehidupannya di dunia? Betapa banyak orang yang berkedok agama berbisnis mengeruk keuntungan dunia yang banyak?
Pertanyaan-pertanyaan di atas akan sedikit mengingatkan kita akan kasus penipuan umroh layaknya first travel dan abu tours, jajaran korupsi dana haji dan pengadaan Al-Qur'an. Belum lagi maraknya "ustadz dan penceramah dadakan" di mana-mana, seakan-akan pendakwah adalah profesi yang menjanjikan. Bahkan ada yang sampai mematok harga tinggi disertai paket-paket tambahan yang menghiasi bisnis ini.
Mirisnya lagi, semakin lama fenomena ini semakin tak memandang bulu. Kalangan warga desa dan santri yang masih "polos" pun banyak yang terkesima akan jejalan dalil-dalil yang dilontarkan oleh pendakwah dadakan ini beberapa saat setelah ia baru menghafalnya. Lalu bagaimana jika yang seperti ini pada akhirnya ditunggangi oleh kepentingan kelompok tertentu, politik misalnya? tentu bayaran akan berlipat ganda sesuai pesanan yang ada.
Ini belum termasuk hal-hal sepele yang sering kita jumpai, ketika kita saling membanggakan keagamaan kita masing-masing demi kegengsian duniawi. Saling membanggakan surau dan masjid megah kita. Saling membanggakan sekolah dan madrasah kita yang semakin tinggi menjulang. Membanggakan keilmuan kita dan memandang rendah yang lain. Membanggakan ketekunan ibadah kita. Membanggakan lancarnya bacaan Al-Qur'an kita.
Ya, pada masa kini akhirat adalah ladang dunia yang menggiurkan. Sungguh segalanya telah terbalik.
Wallahu A'lam bis Showwab.
- Muhammad Fahmi Arofi Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Ma'had Aly Al-Hikam Malang