Penulis: Moh. Mizan Asrori
Senin 8 Juli 2019 09:50
Ilustrasi foto/Islami.co |
Sebuah Pengantar untuk Mengenal, Mendeteksi, dan Melawan Hoaks
Atorcator.Com -
Abad ke-21 dengan kemajuan teknologi dan segala perkembangannya
telah memberikan kemewahan bagi umat manusia. Apa yang dikenal dengan istilah
banjir informasi telah benar-benar dekat dan nyata dengan kita hari ini. Dunia
menjadi sangat sempit berkat terkoneksinya kita melalui informasi yang bisa
sekali klik di genggaman. Tak berlebihan jika ada adagium “Dunia kini ada dalam
genggaman.”
Di balik
gemerlapnya dunia digital hari ini, ada sebuah ancaman besar yang mengintai, ia biasa kita kenal dengan hoaks. Istilah ini adalah kata serapan dari hoax yang berasal dari Bahasa Inggris. Melalui hoaks, seorang yang awalnya berteman akrab
tiba-tiba gelap mata dan menjadi musuh nyata. Akibat hoaks, keharmonisan rumah
tangga akan sirna, suami istri yang tak berpikir panjang sangat mungkin
berpisah dalam sekejap mata.
Secara Bahasa
hoaks berarti berita bohong.[1] Kamus Merriam-Webster memuat definisi hoax sebagai sesuatu yang mengelabui untuk membuat percaya atau menerima
sesuatu yang palsu dan seringkali tak masuk akal sebagai sesuatu yang benar.
Definisi lainnya dikemukakan oleh Curtis D. MacDougall dalam buku Hoaxes (1958),
hoaks adalah informasi tidak benar yang dibuat seolah-olah benar.
Kita sedang
berada dalam sebuah era yang dikenal dengan “post-truth”, yaitu suatu
keadaan di mana daya tarik emosional lebih berpengaruh dalam membentuk opini
publik ketimbang fakta objektif. Lebih sederhananya lagi, orang menerima atau menolak kebenaran
berita berdasarkan selera. Orang tidak lagi membaca berita dengan kritis,
tetapi dengan semangat partisan. Media sosial adalah lahan basah untuk menyebar
berita hoaks. Saat ini ada kegemaran baru di masyarakat kita, membaca berita
hanya sebatas judul dan sangat terburu-buru untuk berkomentar dan menyebarkan.
Hal ini turut mendukung perkembangbiakan hoaks.[2]
Saat hoaks
sudah siap edar, siapa saja target korbannya? Semua kalangan rentan menjadi_konsumen dan korban hoaks. Tidak ada jaminan orang dengan pendidikan akademik
tinggi bisa terhindar dari hoaks. Menurut Laras Sekarasih, Ph.D, dosen Psikologi Media dari Universitas Indonesia, ada dua faktor penyebab orang mudah
percaya dan terpapar hoaks.[3]
Pertama, perasaan terafirmasi. Ketika seseorang memiliki kepercayaan pada
suatu hal, lalu ada informasi yang menguatkan keyakinan tersebut, maka akan
lebih mudah percaya pada informasi yang ada. Akibatnya keinginan untuk melakukan
klarifikasi menjadi berkurang. Akhirnya yang terjadi adalah penyebaran
informasi yang belum tentu kebenarannya melalui pelbagai platfrom media sosial
yang dimiliki.
Kedua, terbatasnya pengetahuan. Pernahkah Anda menerima pesan siaran di
grup WhatsApp tentang promo pulsa atau paket internet dari sebuah aplikasi? Bagi
orang yang tidak memiliki cukup pengetahuan tentang aplikasi tersebut dia akan
serta merta menekan link yang telah viral itu. Sampai akhirnya muncul informasi
di media massa beberapa saat kemudian, bahwa info itu adalah hoaks.
Oleh karena
itu, seseorang rentan atau tidak terpapar hoaks sangat bergantung pada kemampuan berpikir kritis, mengevaluasi informasi, dan literasi media. Tidak
cukup dengan bermodalkan kemahiran mengoperasikan media sosial. Maka penting
sekali mempelajari bagaimana hoaks bekerja dan seperti apa ciri-cirinya.
Bagi kalangan
santri dan kaum terdidik di lingkungan universitas berbasis keislaman, tentu sudah
sangat akrab dengan ayat Q.S. al-Ĥujurāt/ 49: 6,
يا أَيُّهَا
الَّذينَ آمَنُوا إِنْ جاءَكُمْ فاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصيبُوا
قَوْماً بِجَهالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلى ما فَعَلْتُمْ نادِمينَ
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.”[4]
Melalui ayat
ini kita bisa mengambil pelajaran tentang bagaimana seharusnya bersikap saat mendapatkan
informasi. Tidak langsung menerima dan percaya, tetapi diperlukan tabayun atau klarifikasi,
supaya tidak menimbulkan penyesalan di kemudian hari. Untuk bisa membedakan berita
benar dengan berita bohong, sangat penting mengetahui ciri-ciri hoaks.
Ada beberapa
cara dalam mendeteksi berita yang diterima hoaks atau bukan. Pertama, apakah memenuhi kaidah jurnalistik: menyajikan berita secara faktual, objektif,
berimbang. Kedua, cek judul berita provokatif dan tidak sesuai dengan isi
berita. Ketiga, cek alamat situs websitenya. Keempat, bedakan fakta dengan
opini. Kelima, bandingkan dengan berita di media tepercaya. Keenam, cek
keaslian foto. [5]
Setelah mengetahui ciri-ciri dan karakteristik hoaks, sebagai masyarakat yang memiliki
kepedulian kepada persatuan dan keutuhan bangsa sangat perlu melakukan usaha-usaha
meredam berkembang dan meluasnya hoaks. Hal-hal yang bisa dilakukan bisa berupa kampanye di media sosial tentang pentingnya klarifikasi saat menerima berita. Ajak seluruh teman, handai tolan, dan orang-orang yang kita kenal di media sosial untuk turut serta cerdas dalam bermedia sosial.
Bergabung
dengan komunitas anti hoaks juga bisa meredam semakin masifnya hoaks tersebar. Ada
Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) yang aktif menyajikan informasi seputar
cek fakta berita di tengah masyarakat yang sedang viral.
Selain itu kita juga dituntut untuk menambah wawasan dan pengetahuan dengan memperbanyak membaca dan berdiskusi. Karena salah satu faktor mudah percaya berita hoaks adalah minimnya wawasan. Jarimu harimaumu, jika tidak memiliki waktu untuk klarifikasi sebaiknya tidak menyebarkan informasi yang belum pasti kebenarannya. Semoga kita bisa lebih bijak dan cerdas dalam bermedia sosial di era disruptif ini. [*]
Selain itu kita juga dituntut untuk menambah wawasan dan pengetahuan dengan memperbanyak membaca dan berdiskusi. Karena salah satu faktor mudah percaya berita hoaks adalah minimnya wawasan. Jarimu harimaumu, jika tidak memiliki waktu untuk klarifikasi sebaiknya tidak menyebarkan informasi yang belum pasti kebenarannya. Semoga kita bisa lebih bijak dan cerdas dalam bermedia sosial di era disruptif ini. [*]
Referensi:
[1] https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/hoaks, diakses pada 1 Maret 2019 pukul
21.45 WIB.
[2]Sapto Yunus dalam Jurnalisme Tanpa Hoax, disampaikan di Semarang pada pelatihan “Hoax dan Jurnalisme Damai” 26 November 2017.
[3] https://nasional.kompas.com/read/2017/01/23/18181951/mengapa.banyak.orang.mudah.percaya.berita.hoax, diakses pada 1 Maret 2019 22.10 WIB.
[4] Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2010), hal. 516.
[5]Triyono Lukmantoro dalam Hoax dan Konflik Horisontal, disampaikan di Semarang
pada pelatihan “Hoax dan Jurnalisme Damai” 25 November 2017.
- Moh. Mizan Asrori pernah aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Solidaritas UIN Sunan Ampel Surabaya sebagai Pemimpin Redaksi (2017). Menjadi delegasi dalam Pelatihan Jurnalistik untuk Mahasiswa “Hoax dan Jurnalisme Damai” di Semarang 25-26 November 2017 dan Workshop Kelas Jurnalisme Damai di Jakarta pada 10-12 November 2017. Untuk korespondensi bisa melalui 0878-5009-9491 (WhatsApp), Instagram @mizan_arjuna, atau Twitter @mizan_ori.