Penulis: Neneng
Maghfiro
Jumat 12 Juli
2019 00:12
Foto:BincangSyariah |
Atorcator.Com -
Terdapat perbedaan pendapat para ulama mengenai kepemimpinan
perempuan dalam Islam. Tapi jika kita tengok dalam sejarah kesultanan Aceh pada
awal abad ke-17 M, tidak kurang dari empat putri raja berturut-turut naik
takhta pada abad ke 17 M atau sesudah tahun 1641. Padahal kita tahu Aceh
merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat yang
mengacu pada ketentuan hukum pidana Islam.
Menurut Ito
Takesi dalam The Word of The Adat Aceh A HIstorical Study of The Sultanate
of Aceh, menyebutkan bahwa dipilihnya para Sultanah adalah untuk
menghindari perselisihan dan perebutan Mahkota kerajaan di antara para
keturunan Raja. Nah, Keempat Ratu tersebut ialah
Sri
Ratu Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675)
Safiyatuddin
Tajul Alam merupakan putri Sultan Iskandar Muda dan Istri dari Sultan Iskandar
II. Safiyah merupakan sultanah pertama Kesultanan Aceh yang memerintah sejak
1641-1675 M. Dia menggantikan suaminya, Iskandar Thani yang
wafat. Sebagaimana pendahulunya, Putri Iskandar Muda ini menerapkan hukum
yang ketat bagi para pemabuk dan berusaha menjaga keseimbangan pemerintahanya
dengan sejumlah undang-undang yang ketat. Akan tetapi kelemahan kepemimpinannya
disebabkan karena semakin besar pengaruh Belanda di wilayah Kesultanan Aceh
dalam bidang perdagangan dan politik.
Sri
Ratu Naqiatuddin Nurul Alam (1675-1678)
Setelah
Safiyatuddin mangkat, dia digantikan Sultanah Nakiyatuddin Nurul Alam yang
memerintah sejak 1675-1678. Dia mendapat tekanan kaum wujudiyah yang
mengatas namakan agama yang diperalat golongan politik tertentu yang ingin
menduduki kursi kesultanan. Pada akhirnya Kaum wujudiyah berhasil menghanguskan
istana dan Masjid Baitur Rahman serta sebagian besar Kota Banda Aceh. Mereka
melakukan sabotase terhadap sebagian besar wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh,
hal ini membuat pemerintahannya lumpuh.
Untuk
memperkuat kedudukannya, Nakiyatuddin melakukan perombakan besar-besaran
terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar Kerajaan. Dia juga menerapkan
hukum yang tak jauh berbeda, khususnya pada kasus pencurian dimana hukuman
mati, potong tangan dan kaki tetap berlaku.
Sri
Ratu Zaqiyatuddin Inayat Syah (1678-1688)
Kemudian pada
periode selanjutnya, setelah Sultanah Nakiyatuddin meninggal digantikan
oleh Sultanah Zakiyatuddin Inayat Syah yang mengambil alih pemerintahan sejak
1678-1688. Menurut sejarah, sebagaimana Sultanah Safiatuddin mempersiapkan
Nakiatuddin untuk menggantikannya, Nakiatuddin juga mempersiapkan Zakiyatuddin
menjadi sultanah. Mereka semua dididik dalam keraton dengan berbagai ilmu
termasuk ilmu hukum, sejarah, filsafat, kesusastraan, agama Islam, Bahasa Arab,
Persia, dan Spanyol.
Di bawah
kekuasaannya Sultanah Zaqiyatuddin dengan cepat pendidikan dan ilmu pengetahuan
maju, akses pendidikan untuk perempuan dibuka lebar. Sementara dalam bidang
politik, Zaqiyatuddin bekerjasama dengan negara tetangga untuk saling bantu
melumpuhkan kekuasaan VOC dengan mengikat perjanjian persahabatan.
Sri
Ratu Zainatuddin Kamalat Syah (1688-1699)
Zakiyatuddin
meninggal pada 1688 kemudian digantikan Kamalat Shah yang memerintah hingga
tahun 1699. Pemerintahan Kamalat Shah mendapat perlawanan dari golongan Orang
Kaya, tidaak seperti pendahulunya yang bisa diterima baik oleh masyarakat.
Pihak oposisi menuntut agar kepemimpinan kerajaan dikembalikan kepada
laki-laki.
Pada tahun
1699, sang Sultanah memang mengundurkan diri. Namun, ia mengundurkan diri bukan
karena tuntutan itu, melainkan fatwa dari Mekkah yang menegaskan pemerintahan
perempuan bertentangan dengan ajaran Islam. Padahal hubungan Kerajaan Aceh dan
para ulama saat itu baik-baik saja. Ia bahkan selama pemerintahannya mendapat
bantuan dari para ulama, khususnya Kadli Malikul Adil Syekh Abdurrauf
Syiahkuala
Selengkapnya di
sini
- Neneng Maghfiro Peneliti el-Bukhari Institute