Sabtu 20 Juli 2019
Wallahu A’lam.
foto; tasamud.id |
Atorcator.Com - Almaghfurlah KH. Dimyathi Hasbulloh (Mbah Dim) adalah salah satu santri Mbah Lirboyo, KH. Abdul Karim (Mbah Manab). Tidak hanya seorang santri biasa, beliau adalah khodim Mbah Manab, yang setiap hari melayani hajat-hajat beliau, mulai dari qiyamul lail, jama’ah lima waktu, dll.
Diantara cerita paling masyhur dari khidmah beliau di Lirboyo adalah, disaat Mbah Manab bangun malam, maka di depan pintu ndalem Mbah Manab sudah ada Mbah Dim yang berdiri membawa ting, semacam lampu kecil yang dinyalakan memakai bahan bakar minyak tanah, kemudian menuntun beliau ke kolah, hingga mendampingi beliau jama’ah sholat subuh di Masjid, sampai keluar dari Masjid, sekitar pukul 8 pagi. Tak heran jika Almaghfurlah KH. Ali Shodiq Ngunut Tulungagung, menyebut Mbah Dim sebagai santri yang paling tulus dan istiqomah melayani gurunya, KH. Abdul Karim Lirboyo, atau Mbah Manab. Mbah Dim tercatat nyantri di Lirboyo selama 11 tahun.
Diantara cerita paling masyhur dari khidmah beliau di Lirboyo adalah, disaat Mbah Manab bangun malam, maka di depan pintu ndalem Mbah Manab sudah ada Mbah Dim yang berdiri membawa ting, semacam lampu kecil yang dinyalakan memakai bahan bakar minyak tanah, kemudian menuntun beliau ke kolah, hingga mendampingi beliau jama’ah sholat subuh di Masjid, sampai keluar dari Masjid, sekitar pukul 8 pagi. Tak heran jika Almaghfurlah KH. Ali Shodiq Ngunut Tulungagung, menyebut Mbah Dim sebagai santri yang paling tulus dan istiqomah melayani gurunya, KH. Abdul Karim Lirboyo, atau Mbah Manab. Mbah Dim tercatat nyantri di Lirboyo selama 11 tahun.
Kelahiran dan Nasab Mbah Dim
Mbah Dim lahir di Dusun Baran, Desa Ploso, Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, pada hari Jum’at Pahing, tahun 1921 M. Tidak diketahui secara pasti tanggal dan bulan kelahiran beliau.
Mbah Dim adalah putra keempat dari tujuh bersaudara. Ayah beliau bernama KH. Hasbulloh, seorang Kyai dan ahli tirakat yang berasal dari Kaliwatubumi, Bedug, Butuh, Purworejo, Jawa Tengah. Dari garis ayah ini, beliau memiliki silsilah nasab sampai pada Syekh Maulana Yusuf Cokrojoyo, atau Sunan Geseng. Ayahnya, KH. Hasbullah, adalah putra dari Mbah Muhammad Irjaz bin Abdul Hamid bin Arif Sholihin bin Syekh Maulana Yusuf Cokrojoyo (Sunan Geseng). Kakek beliau, Mbah Irjaz, adalah pasukan Pangeran Diponegoro.
Salah satu riwayat menyebutkan, sebagai keluarga dari lasykar Diponegoro, sewaktu mudanya Mbah Hasbullah melarikan diri dari kejaran Belanda. Hingga akhirnya beliau mondok di Jampes, di bawah asuhan KH. Dahlan, dan menikah dengan Nyai Maryam, putri Mbah Lurah Ekomejo, Purwokerto Srengat Blitar, dan akhirnya beliau tinggal di Blitar.
Salah satu riwayat menyebutkan, sebagai keluarga dari lasykar Diponegoro, sewaktu mudanya Mbah Hasbullah melarikan diri dari kejaran Belanda. Hingga akhirnya beliau mondok di Jampes, di bawah asuhan KH. Dahlan, dan menikah dengan Nyai Maryam, putri Mbah Lurah Ekomejo, Purwokerto Srengat Blitar, dan akhirnya beliau tinggal di Blitar.
Kesaksian Para Kyai Tentang Mbah Dim
Seperti pernah dikisahkan oleh KH. Maimoen Zubair, Sarang Rembang Jawa Tengah, Mbah Dim adalah seorang santri Lirboyo pada masanya, yang tidak pernah absen sholat berjama’ah di belakang Mbah Manab. Hingga pada saatnya, beliaulah santri yang “diserahi” seluruh wiridannya Mbah Manab. Konon, tidak setiap santri “kuat” menerima wiridan Mbah Manab. Kisah seperti ini juga pernah diriwayatkan oleh Almaghfurlah KH. Ali Shodiq, Ngunut Tulungagung.
Sebuah riwayat dari Kyai Masruhin Grompol Nganjuk dan Kyai Imam Hanafi, Kaniten Mojo Kediri, Mbah Dim muda saat masih mondok di Lirboyo adalah seorang ahli tirakat, beliau terbiasa hanya minum air setiap harinya. Ini nampaknya sebuah kesengajaan dari beliau, karena setiap menerima kiriman, Mbah Dim akan memasaknya semua, dan mengajak teman-temannya untuk makan bersama. Seringkali, Mbah Dim tiba-tiba datang, memberi makanan dengan lauk pauk lengkap, yang orang sulit menerka, darimana datangnya.
Mbah Dim adalah seorang yang wira’i. Beliau sangat berhati-hati dalam mengkonsumsi setiap makanan yang akan masuk ke perut. Beliau tidak terbiasa memakan makanan pemberian orang lain, tanpa jelas asal-usulnya. Mbah Dim dikenal tidak banyak melakukan puasa sunnah, namun beliau sangat sedikit makan, dan jarang tidur.
Sosok Mbah Dim dikenal masyarakat luas sebagai Kyai yang sangat dermawan, zuhud, santun, sabar, dan sangat hormat kepada guru-gurunya. Setiap selesai sholat Idul Fitri, beliau selalu mendahulukan untuk ziaroh kepada orang tua beliau, dan guru-guru beliau sewaktu masih SR (Sekolah Rakyat, setingkat SD).
Mbah Dim juga dikenal sangat teliti dalam urusan hukum fiqih. Beliau terbiasa mencuci kopyah hitam, sajadah, kursi, dipan, hingga ciri khas beliau membuat bancik yang tinggi.
Selain itu, beliau dikenal sangat dekat dengan masyarakat. Mbah Dim adalah seorang Kyai keramat yang menjadi jujugan masyarakat untuk berkonsultasi berbagai masalah. Beliau tidak pandang bulu, semua masyarakat dilayani, mulai dari konsultasi agama, minta doa, rajah, ahzab, dll. Pernah ada orang bertanya ke beliau tentang Maulid Nabi Muhammad SAW, sebaiknya dilakukan dengan acara apa, pengajian, maulid, slametan, atau apa? Beliau hanya menjawab sederhana, “seikhlasnya, Lillaahi Ta’aalaa”.
Karomah Beliau
Sejak mondok di Lirboyo, Mbah Dim sudah dikenal sebagai shohibul karomah. Hingga beliau terjun ke masyarakat, beliau dikenal sebagai gudangnya keramat. Sangat banyak sekali kisah-kisah karomah Mbah Dim, yang tentunya hanya dapat kami tuliskan sebagian di sini.
Mbah Dim adalah sosok Kyai sederhana yang suka menolong berbagai kalangan, tanpa pandang bulu. Beliau dikenal sebagai ahlul bashiroh, yakni mengetahui hal-hal ghoib diluar perkiraan kebanyakan manusia. Sebuah kisah yang diriwayatkan dari KH. Ahmad Zamrodji, Udanawu, Blitar, suatu hari di tahun 1987, serombongan anggota DPRD Kabupaten Blitar sowan kepada Mbah Dim. Saat berangkat, rombongan yang berjumlah lima orang tersebut berdebat di jalan. Seorang anggota rombongan yang paling senior mengeluh jika ia sedang lapar, dan ingin terlebih dahulu mampir ke warung untuk sarapan dan beli rokok, sebelum sowan ke Mbah Dim. Namun hal itu ditolak oleh anggota rombongan yang lain. Anggota rombongan yang lain merasa kurang etis, jika niat sowan ke rumah Kyai didahului dengan hal-hal lain, sekalipun itu sarapan.
Setibanya di ndalem Mbah Dim, mereka semua kaget, betapa banyak hal-hal ajaib di luar dugaan yang mereka jumpai. Bagaimana tidak, sowan yang tidak direncanakan dan tidak berkesepakatan waktu dengan tuan rumah itu ternyata sungguh istimewa. Perlu dicatat sebelumnya, pada saat itu belum musim telepon rumah, apalagi handphone.
Tiba di depan rumah Mbah Dim, mereka kaget. Karena baru pertama kalinya mereka melihat sang tuan rumah, yakni Mbah Dim, berpakaian dinas layaknya anggota DPRD. Karena kebiasaan beliau, seperti Kyai kebanyakan, adalah bersarung dan berbaju takwa. Namun kali ini beda, Mbah Dim dengan tegap menyambut mereka dengan menggunakan pakaian safari lengan pendek, bercelana, dan berpeci hitam. Dengan ramah Mbah Dim mempersilahkan tamu masuk.
Belum sempat mereka duduk di ruang tamu, Mbah Dim langsung mempersilahkan rombongan tersebut untuk menuju ruang makan, dan mempersilahkan rombongan tersebut untuk makan. Dan tak lupa, Mbah Dim juga menyiapkan tiga bungkus rokok dengan berbagai merek. Spontan para tamu kaget, dan tak menyangka jika kedatangan dan perdebatan mereka waktu di perjalan telah diketahui Mbah Dim, dan dijawab dengan menakjubkan.
Belum sempat mereka duduk di ruang tamu, Mbah Dim langsung mempersilahkan rombongan tersebut untuk menuju ruang makan, dan mempersilahkan rombongan tersebut untuk makan. Dan tak lupa, Mbah Dim juga menyiapkan tiga bungkus rokok dengan berbagai merek. Spontan para tamu kaget, dan tak menyangka jika kedatangan dan perdebatan mereka waktu di perjalan telah diketahui Mbah Dim, dan dijawab dengan menakjubkan.
Kisah lain tentang bashiroh beliau ialah, beliau seperti menerima alamat, setiap ada saudaranya akan meninggal. Beliau memiliki saudara laki-laki bernama Gus Kafi. Gus Kafi meninggal dengan syahid saat masih mondok di Sanan Gondang Gandusari Blitar. Gus Kafi meninggal karena terbakar. Disaat sebelumnya, Mbah Dim menunjukkan alamat dengan membakar daun pakis aji sebelum kejadian. Ternyata tak lama kemudian, keluarga menerima kabar jika Gus Kafi meninggal. Demikian juga saat akan meninggalnya Gus Ngatiq, putra beliau. Mbah Dim telah menggali lobang kubur dan menyiapkan kijing sebelum meninggalnya Gus Ngatiq.
Wafatnya Beliau
Sebelum beliau wafat, beliau berulangkali memberikan wasiat kepada putri beliau bernama Hj. Ummi Mukarromah, agar tidak meratapi kepergian beliau, dan agar sepeninggal beliau, kuburnya tidak dijadikan tempat sadranan.
Beliau wafat pada malam Jum’at Pahing, bulan Jumadil Awal, tahun 1409 H. Kini setiap tahun diadakan rutinan haul beliau setiap malam Jum’at Pahing bulan Jumadil Awal di Makam beliau, desa Kasim Selopuro Blitar. Setiap harinya tercatat ratusan orang berziarah ke makam beliau. Lahumul Faatihah…
Wallahu A’lam.
Lahul fatikhah.
________________________________________
________________________________________
Dari berbagai sumber:
1. KH. Maimoen Zubair
2. KH. Harun Ismail
3. KH. Nur Hidayatullah Dawami
4. KH. Ahmad Zamrodji
Sumber web: http://suara-nu.com/?p=1165