Penulis:
Muhammad Nur Khalis
Jumat 26 Juli
2019
Ilustrasi foto: Kompasiana |
Atorcator.Com -
Sebelum
membahas prihal membaca, saya akan sedikit bercerita sedikit tetang debat kusir
yang terjadi antara saya dengan salah seorang teman sekelas tentang membaca.
Kisahnya demikian:
Dikarenakan rasa muak saya kepada teman-teman yang sering
melakukan tindakan krimanal berupa plagiasi dengan metode khas Ctrl+C lantas
Ctrl+V saya menggembar-nggemborkan suara untuk sering-sering membaca buku. Buku
apapun yang intinya membaca. Beberapa kali bahkan menggunakan bahasa sinis bukan
kritis, seperti “Mahasiswa kelakuannya lihat anime?! Baca buku
coy!”.
Kampanye saya semakin gencar dan momen yang paling asyik
adalah ketika seorang dosen juga ikut menyinggung budaya malas membaca. Sebab
saya akan merasa bangga dan sesekali pura-pura berdekhem untuk menyinggung mereka.
Puncaknya saat salah satu dari mereka mulai mengeluarkan argumen sebagai bentuk
pembelaan atas perilaku (negatif ) mereka. Mereka berkata “membaca tidak harus membaca
buku”
Saat itu, kebetulan ada dosen yang membela bahwa yang
dikatakan oleh oknum
mahasiswa malas baca itu benar. Dosen pun juga mengatakan bahwa perintah
“iqra’” yang ada dalam surat al-‘alaq tidak harus membaca buku. Membaca
keadaan juga bisa. Lebih lanjut, kata dosen itu membaca tanda-tanda kebesaran
Allah.
Sikap saya jelas menolak argumen keduanya, sebab keduanya
memiliki konteks yang jelas berbeda walaupun tidak begitu terlihat. Dari
sinilah timbulnya debat kusir yang sungguh menggelikan bila diingat-ingat
kembali. Intinya saya tidak menemukan jawaban yang mengena. Dan sekarang saya
akan membarikan jawaban yang mengena. Semoga saja.
Mari kita mulai dari pembahasan ayat pertama suarat
Al-‘Alaq yang berbunyi “Iqra’”.
Kata Iqra’ merupakan derivasi kata dari fiil madli qara-yaqrau-qiraatan yang memiliki arti
“membaca”. Kata Iqra’ merupakan bentuk perintah (fi’il amar) sehinga
arti dari kata ini adalah perintah untuk membaca “Bacalah!”. Untuk pemahaman
lebih lanjut ada sebuah pendapat yang dituliskan oleh Masdar Hilmy dalam
jurnalnya yang berjudul Induktivisme sebagai Basis Pengembangan Ilmu
Pengetahuan dalam Islam Dia
mengatakan:
“(Membaca adalah)
sebuah aktivitas yang secara literal bermakna proses kognisi melalui
pengujaran-pengujaran verbal atas apa yang tertulis secara fisik”
Yang penting untuk kita garis bawahi adalah “proses
kognisi” itu. Dimana secara sederhana dapat diartikan sebagai proses pemberian
nilai, penilaian atas sesuatu yang sedang dibaca. Sedangkan
untuk penjelasan terkait kata “yang tertulis secara fisik” saya sambungkan pada
pendapat seorang filsuf dari Prancis yang menganggap semua yang ada di dunia
ini merupakan sekumpulan teks.
Sehingga dengan pendekatan dan konteks yang seperti ini saya
sepakat dengan argumen yang mengatakan bahwa membaca tidak harus melalui buku.
Sekali lagi jika menggunakan konteks ini. Jika tidak, sumpah saya rela berdebat
kusir berjam-jam lagi demi permasalahan ini asal ada kopi dan gratis. Heuheuheu..
Namun yang sangat di sayangkan begini, teman. Masih
mengutip jurnal karya Masdar Hilmy
diatas, bahwa ada sebuah lafadz yang memiliki arti yang sedikit sama namun
berbeda dalam bentuk yang lain. Yakni kata tilawah. Antara qara
dan tilawah memiliki arti yang sama yaitu membaca namun memiliki
definisi yang sangat jauh berbeda.
Tilawah adalah sebuah proses melafalkan secara verbal
yang dilakukan tanpa kesadaran kognitif. Intinya, kalau qaraa itu ada kesadaran kognitif kalau tilawah itu
tidak ada.
Maka berdasarkan kedua penjelasan ini dapat kita
renungkan apakah menonton anime itu merupakan kegiatan membaca atau bukan? Atau
apakah men-scrol naik-turun layar
gadget juga kegiatan membaca? Kalau bermain game, tidak perlu diabahas, itu
perilaku bejat.
Ber-tilawah nampaknya juga hampir sama dengan
menonton. Buktinya jika memang dengan menonton anime juga dikatakan membaca,
mengapa begitu banyak orang yang semakin bodoh karena menonton anime. Bahkan
justru menjerumuskan.
Mari kita renungkan.
Wallahu A’lam
- Muhammad Nur Khalis Mahasiswa STAI Ma’had Aly Al-Hikam Malang