Penulis: Khumairatul Khairiyah
Kamis 29 Agustus 2019
Itu adalah pertanyaan keheranan yang sering saya utarakan ketika mendapati adik perempuan saya tinggal di Jakarta. Rumah kecil dengan satu kamar yang hanya muat satu kasur dan satu lemari kecil, juga dengan kamar mandi yang hanya muat satu orang.
Bahkan ketika mencuci pakaian, ia harus duduk di luar kamar mandi. Belum lagi tempat menjemur pakaian yang sangat sedikit. Saya selalu membayangkan kalau saya berada dalam posisi itu, pasti akan sangat sulit melewatinya. Bagaimana tidak? Setiap berjalan lima langkah, yang ketemu hanya dinding. Emak saya bahkan sempat berujar seperti ini setelah seminggu tinggal di rumah adik saya
"Emak pasti bisa stres kalau lama-lama tinggal di Jakarta."
Perkataan itu muncul tentunya karena Emak saya hanya pernah tinggal di kampung dengan rumah yang luas, halaman yang lebar, kamar mandi dan dapur yang besar. Lihat, betapa besar pengaruh luasnya tempat bagi kewarasan seseorang.
Lalu, tiba-tiba, nasib mengantarkan saya dan suami untuk berpindah ke negeri seberang. Tidak jauh. Hanya beda propinsi. Tapi perubahannya cukup signifikan. Saya kena tulah oleh perkataan saya sendiri. Kami tinggal di tempat yang hampir mirip dengan rumah adik saya di Jakarta.
Kami bukannya tidak pernah tinggal di tempat yang jauh dari kampung. Empat tahun yang lalu saya juga pernah tinggal jauh dari kampung, tapi kami mendapati rumah yang luasnya sama besar dengan rumah di kampung dengan harga kontrak yang relatif murah.
Lalu sekarang, semuanya jadi serba minimalis. Kamar tidur, kamar mandi, ruang tamu, dapur dan tempat menjemur pakaian yang punya space sangat kecil.
Pertama kali saya memasuki rumah ini, rasa sesak langsung menyergap saya. Saya merasa kesulitan bernapas dengan tempat yang serba sempit ini. Setiap keluar rumah, yang ketemu cuma dinding. Apalagi saya juga tidak bekerja. Lengkap sudah rasa sesak di hati saya. Tapi saya tak punya pilihan lain. Mau kontrakan yang lebih besar? Tentu kami harus menyiapkan uang dalam jumlah besar. Sayangnya, kami belum mampu.
Berhari-hari saya kesulitan menerima kondisi ini. Bayangan rumah di kampung selalu menari-nari di kepala saya. Ingin rasanya saya kembali saja ke kampung. Tapi meninggalkan suami hanya karena rumahnya kecil tentu tak elok. Hingga akhirnya saya menemukan cerita Nasruddin Hodja. Ceritanya kira-kira begini.
Seseorang mendatangi Hodja untuk memberi tahu bahwa ukuran rumahnya begitu kecil, sehingga hal tersebut memberinya banyak kesusahan. Dia berharap Hodja bisa menolongnya. Hodja mendengarkan pria tersebut dengan tenang lalu berkata.
"Begini, sekarang kau pulanglah dan masukkan kambing ke rumahmu."
Pria itu kembali mendatangi Hodja keesokan harinya.
"Duh, Hodja! Setelah aku memasukkan kambing, masalahku jadi makin besar."
Hodja mendengarkan pria tersebut dengan tenang lalu berkata:
"Begini, sekarang kau pulanglah dan masukkan ayam betina ke rumahmu."
Pria itu kembali mendatangi Hodja keesokan harinya.
"Ah, Hodja! Masalahnya semakin buruk saja."
Hodja kembali berkata dengan sangat meyakinkan
"Pulang dan masukkan juga sapiku."
Sekali lagi pria itu kembali keesokan harinya.
"Ampun, Hodja! Aku sudah kehabisan akal untuk mengatasi masalahku."
Hodja tetap tenang dan berkata:
"Malam ini keluarkan kambingnya dari rumahmu."
Hari berikutnya dia datang dan memberitahu Hodja bahwa mereka mulai merasa sedikit lega. Kemudian Hodja berkata lagi.
"Malam ini keluarkan juga yaam betinanya."
Besoknya si pria datang dan semakin merasa lega.
Hodja:
"Pulanglah dan keluarkan sapinya, lalu bersihkan rumahmu dengan cermat."
Si pria menuruti nasihat Hodja dan kembali datang esok hari dengan kelegaan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Sekarang rumahnya sudah terasa lebih luas dan dia berterima kasih pada Hodja karena hal tersebut.
Saya tentu tidak melakukan apa yang disarankan oleh Nasruddin Hodja dalam cerita ini, dengan memasukkan kambing, sapi dan ayam betina ke dalam rumah. Tapi cerita ini sungguh membuat saya merenung panjang. Kenapa saya harus merasa sempit hanya karena ukuran rumah yang kecil? Apalagi saat saya mendatangi rumah tetangga sebelah yang bahkan tidak punya dapur khusus seperti saya tapi masih bisa tertawa bahagia. Kenapa ukuran harus menjadi penentu kelapangan dan kebahagiaan?
Dari Hodja, saya belajar bahwa bukan luas rumah yang menjadikan seseorang terasa lapang dan bahagia, tapi hati dan pikiran. Lapangkanlah hati dan pikiranmu. Lalu, sekecil apapun rumah yang ditinggali, itu tidak akan jadi masalah lagi.
Saat ini, dengan rumah yang kecil ini. Ada juga kebahagiaan lain yang saya temukan. Bukankah setiap berjalan lima langkah, lalu bertabrakan tiap sebentar dengan anggota keluarga juga membangun kedekatan? Kami bahkan sering tertawa ketika terjadi tabrakan-tabrakan kecil itu.
Eh adalagi. Saya yang biasanya suka menumpuk-numpuk piring dan baju untuk dicuci, sekarang, karena space mencuci yang kecil itu, jadinya harus cepat-cepat mencuci supaya tumpukannya tidak terlalu tinggi. Seru kan? Saya jadi lebih rajin gitu dibuatnya. Haha.
Bersyukur dan merasa cukup. Itulah kunci sesungguhnya.