Penulis: Ulin Nuha
Ahad 15 September 2019
NU-online |
Atorcator.Com - Tulisan ringan ini saya persembahkan
untuk Kiai Sahal Mahfudh dalam rangka memperingati 1000 hari wafatnya beliau.
Karenanya, mari kita hadiahkan bacaan Alfatihah terlebih dahulu sebelum
memulainya. Setahun belakangan ini saya gemar sekali mengunduh pdf berbagai
kitab kuning karya ulama masa lampau. Saya belum tahu kapan akan membaca pdf-pdf tersebut.
Yang pasti, sayang kalau kesempatan
memiliki kitab-kitab versi pdf ini terlewatkan, mengingat
ketidakmampuan membeli versi cetaknya. Terlebih banyak dari kitab-kitab
tersebut yang jarang ditemukan di pesantren-pesantren. Sebagiannya telah sejak
lama saya dengar namanya meskipun belum pernah melihat fisiknya. Sebagian lagi
belum pernah saya dengar sekalipun.
Kitab-kitab karya ulama masa lampau
atau yang populer di pesantren dengan sebutan ‘kitab kuning’ sangatlah banyak
jumlahnya. Keilmuan yang multidisiplin di atas rata-rata yang dimiliki para
ulama masa lampau turut mendukung pesatnya produktifitas menulis karya. Tidak
jarang dari tangan satu ulama lahir ratusan kitab. Sangat sulit sekali
menemukan padanannya di era sekarang. Hampir-hampir mustahil di zaman ini
menemukan seorang Imam Suyuthi yang konon memiliki 600-an karya.
Sebagian orang mungkin tidak
berminat membaca kitab-kitab jadul itu. Zaman telah berubah jauh dan apa yang
tertuang dalam kitab kuning tidak lagi relevan. Namun bagi sebagian yang lain
kitab-kitab itu sangatlah menarik. Banyak dari buah pemikiran orisinil ulama
lampau yang masih layak pakai. Terlepas dari itu, ijtihad mereka yang terserak
dalam ribuan karya merupakan warisan keilmuan Islam yang sayang kalau tidak
dibaca.
Membaca Kitab Kuning
Bagaimanapun, kitab-kitab kuning
menjadi ‘sanad’ dan ‘wasilah’ kita, khususnya dalam beragama. Tanpanya kita
tidak akan punya akses mengetahui dasar dan praktik ibadah dari sumber induk.
Dan tanpanya kita tidak akan mampu membuktikan kebenaran praktik agama yang
kita jalani.
Pertanyaannya, bagaimana kita bisa
memercayai kebenaran isi kitab-kitab itu? Bukankah bisa-bisa saja pengarangnya
menulis informasi palsu? Atau jangan-jangan kitab yang kita baca adalah tulisan
orang lain yang dinisbatkan kepada ulama terkenal?
Terkait hal ini Syekh Ali Jum’ah
mengingatkan agar kita mempercayai kebenaran turats-turats itu terlebih dahulu
sebelum mendalami isinya. Upaya yang dapat ditempuh ialah dengan berguru dan
mengambil sanad yang menyambungkan kita dengan penulisnya. Jika sudah demikian
maka langkah selanjutnya ialah memahami isi kitab tersebut dan bagaimana
memperlakukannya.
Pada kenyataannya, antara kita dan
penulis kitab-kitab kuning, semisal Imam Syafi’i, terbentang sekat masa yang
sangat jauh. Dan diakui atau tidak hal itu sering kali menjadi problem
kegagalan kita dalam memahami apa yang mereka tulis. Untuk mengatasinya Syekh
Ali Jum’ah menyarankan lima hal; 1) mengimajinasikan karya-karya mereka secara
utuh, 2) mengetahui teori-teori umum yang digunakan oleh pengarang, 3) memahami
istilah-istilah yang ada di dalam karya mereka, 4) memiliki ilmu-ilmu bantu
yang diperlukan dalam memahami karya mereka, dan 5) menguasai sistematika
bahasa dan alur berfikir dari pengarangnya. Dengan begitu kita dapat menemukan
pemahaman yang utuh dari sebuah kitab.
Kiai Sahal dan Kitab Kuning
Kiai Sahal Mahfudh –Allahu yarham–
merupakan figur yang telah lama berbaur dengan teks-teks kitab kuning. Fikih
Sosial yang digagasnya merupakan buah dari pergulatannya dengan literatur fikih
dan ushul fikih. Ia tahu betul bagaimana memosisikan kitab-kitab tersebut.
Menurutnya, produk-produk fikih yang tertuang dalam kitab-kitab kuning harus
dikontekstualisasi.
Pesantren seharusnya memahami bahwa
kitab kuning, di balik segala nilai historisnya, telah terkikis oleh
perkembangan zaman. Namun bukan berarti konsistensi terhadap kitab kuning
merupakan kesalahan ilmiah yang mendasar. Meninggalkan litab kuning akan
mengakibatkan terputusnya mata rantai sejarah dan budaya ilmiah yang telah
dibangun berabad-abad.
Kitab kuning, meskipun mungkin tidak
mampu mengakomodasi kompleksitas permasalahan saat ini, ia tetap merupakan
warisan sejarah dari bangunan besar tradisi keilmuan Islam yang harus dipetik
manfaatnya. Menutup kitab kuning berarti menutup jalur yang menghubungkan
tradisi keilmuan sekarang dengan tradisi keilmuan milik kita pada masa lalu.
Dengan demikian, persoalan mendasar
berkenaan dengan kitab kuning itu terletak pada penyikapan kita dalam
memosisikannya. Kitab kuning sering difungsikan sebagai kompendium
yurisprudensi yang sangat legalistik. Dalam konteks ini, kitab kuning sering
dianggap sebagai hukum positif yang dapat ‘menghakimi’ segala permasalahan
secara rinci dengan latar belakang pertimbangan, argumen, dan keputusan yang
sepenuhnya telah dibakukan.
Dengan kata lain, kitab kuning telah
‘disejajarkan’ dengan Alquran dan hadis.
Memang, menjadikan kitab kuning sebagai referensi untuk memecahkan permasalahan aktual bukan merupakan kesalahan ilmiah. Namun demikian, ia harus disikapi sebagai suatu garis mendatar hingga dapat memberikan konsep-konsep pendekatan yang memperhatikan akar dan implikasi masalah yang timbul dalam masyarakat.
Memang, menjadikan kitab kuning sebagai referensi untuk memecahkan permasalahan aktual bukan merupakan kesalahan ilmiah. Namun demikian, ia harus disikapi sebagai suatu garis mendatar hingga dapat memberikan konsep-konsep pendekatan yang memperhatikan akar dan implikasi masalah yang timbul dalam masyarakat.
Karena, setiap masalah tidak pernah
muncul secara mandiri, melainkan selalu memiliki konteksnya sendiri, yang
biasanya justru lebih kompleks ketimbang masalah itu sendiri.
Yang dibutuhkan adalah kemauan untuk
membuka diri terhadap berbagai disiplin ilmu di luar apa yang selama ini
dianggap sebagai ilmu agama. Pengintegrasian kitab kuning dengan ilmu-ilmu
lainnya, jika dilakukan dengan serius dan tepat, justru akan menciptakan suatu
sinergi ilmiah yang akan berguna untuk memecahkan permasalahan sosial kontemporer.
Dengan catatan, tetap tidak keluar dari akar sejarah tradisi Islam masa lalu. Wallahu
a’lam
*Bacaan selengkapnya bisa dibaca di sini