Penulis: Amien Nurhakim
Senin 2 September 2019
Atorcator.Com - Selasa, 6 Agustus 2019 di kota Mekah, Mbah Kiai
Maimun Zubair meninggal dunia. Kita semua sangat berduka. Sekarang sudah hampir
sebulan beliau meninggalkan kita. Banyak kisah yang diceritakan kembali
mengenai sosok mulia itu, kisah-kisah yang terkenang dalam benak
murid-muridnya.
Saya sendiri, meski tidak
pernah nyantri di Pesantren al-Anwar Sarang, tak menghalangi saya untuk lebih
mengenal almagfurlah, Mbah Maimun. Saya banyak membaca tentang beliau, dari
mulai biografi, sanad keilmuan, hingga kisah suka duka yang pernah beliau
alami. Tentunya melalui tulisan yang ditulis oleh empunya kisah, atau
murid-murid Beliau langsung yang bercerita dan cerita tersebut tersebar di
media visual.
Salah satu cerita yang
menarik adalah mengenai Mbah Maimun yang melarang santri-santrinya memakai peci
putih di pesantren. Semuanya memiliki alasan. Mbah Maimun memiliki alasan
tersendiri, sebagaimana yang pernah diceritakan salah seorang murid Beliau, Gus
Baha, bahwa Mbah Maimun bisa benar-benar marah jika melihat santri lalu lalang
di pondok mengunakan peci putih.
“Wis kaji?” (Sudah haji?).
“Dereng.” (Belum).
“Wong ndeso iku kaji adol
tegal, adol sawah, lha saiki kethumu rego limangewu. Ko iku po ra ngelarakke
atine wong-wong?” (Orang desa itu jual
ladang, jual sawah, lha sekarang pecimu harganya cuma lima
ribu. Seperti itu apa ya tidak bikin sakit hati orang-orang?), sebagaimana
dikutip dari Mojok.co
Peraturan tersebut berlaku
hanya di pesantren beliau tentunya. Karena saya membaca dari tulisan lain, di
salah satu pesantren yang diasuh salah seorang putra Mbah Maimun, yaitu
Gus Najih (KH. M. Najih Maimun -Red.) banyak santri yang memakai peci
putih meski belum berhaji, alasannya pun kuat, karena mengikuti sunnah Nabi
Muhammad Saw.
Tanggapan Mbah Maimun
terhadap peristiwa di atas pun biasa saja. “Ya tidak apa-apa, kan
larangan memakai peci putih sebelum berhaji itu kan saya lakukan di pondok
saya. Lha kalau di pondok orang lain, walaupun pondok anak saya sendiri, ya
tidak apa-apa…”
Membaca kisah di atas, saya
pun teringat kepada Kiai saya, Prof. Dr. Kiai Ali Mustafa Yaqub. Sebab beliau
memiliki kisah tersendiri tentang peci. Meskipun saya adalah santri yang tidak
sempat bertemu dengan beliau, saya banyak mendapat kisah-kisah tersebut dari
guru maupun santri senior di Darus-Sunnah.
Di Darus-Sunnah, para
santri ketika mengaji diwajibkan memakai baju putih dan peci putih. Adapun
selain waktu mengaji, kami dibebaskan memakai peci apapun. Adalagi, ketika
shalat pun beliau menganjurkan santrinya memakai peci putih. Selain mudah
dicuci jika terkena najis, memakai kopiah berwarna putih juga mengikuti sunnah
Nabi Saw. Rasulullah sangat mencintai pakaian berwarna putih, sebagaimana
disebutkan dalam salah satu hadits:
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْبَسُوا مِنْ
ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا أَطْهَرُ وَأَطْيَبُ وَكَفِّنُوافِيهَا
مَوْتَاكُمْ.
Dari Samurah bin Jundab RA,
sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Pakailah oleh kalian pakaian yang
berwarna putih. Sesungguhnya pakaian berwarna putih itu adalah pakaian yang
paling suci dan paling baik, dan kafanilah dengannya orang-orang yang meninggal
diantara kalian.” (HR. an-Nasa’i, at-Tirmidzi, Ahmad bin Hambal, al-Baihaqi,
at-Thabrani, Ibnu Majah, Ibnu Syaibah, dan Malik)
Ya, pada dasarnya setiap
santri mengikuti ketetapan gurunya masing-masing. Begitupun setiap guru
memiliki dasar masing-masing dalam menetukan suatu perkara. Tugas kita sekarang
adalah mengikuti jejak mereka, berharap mendapatkan kucuran barokah ilmu yang
telah mereka semua ajarkan kepada kita. Wallahu a’lam
[Source selengkapnya bisa
dibaca di BincangSyariah]
Amien Nurhakim Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Jakarta dan Mahasantri
Darussunnah International Institute for Hadith Sciences