Kisah Kiai Chudlori Lebih Memilih Beli Gamelan daripada Bangun Masjid - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Kamis, September 19, 2019

Kisah Kiai Chudlori Lebih Memilih Beli Gamelan daripada Bangun Masjid

Penulis: Takhsinul Khuluk

Atorcator.Com - Ketika terjadi polemik peruntukan dana kas desa, Kiai Chudlori lebih memilih mendahulukan membeli gamelan daripada untuk merehab masjid.  Keputusannya ini memicu kontroversi, namun berakhir dengan maslahat.
Kiai Chudori (w. 1977) adalah salah satu kiai yang masyhur di kalangan umat Islam khususnya di Jawa Tengah. Beliau adalah kiai yang sangat alim, pernah nyantri di sejumlah pesantren termasuk di Tebuireng pimpinan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dan di Lasem di pesantrennya Kiai Baidlowi dan Kiai Ma’shum.
Pada tahun 1940-an, beliau mendirikan Pondok Pesantren Asrama Pendidikan Islam (API) di kampung halamannya, Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah. Pesantren ini berkembang pesat. Santrinya berjumlah ribuan. Gus Dur cilik pernah nyantri di pesantren ini selama 2,5 tahun pada akhir 1950-an.
Selain dikenal kealimannya, Kiai Chudlori juga dikenal bijaksana, khususnya dalam menyikapi permasalahan sosial budaya yang ada di masyarakat. Syahdan, suatu ketika di suatu kampung di sekitar Tegalrejo terjadi perselisihan menyangkut dana bondo desa (kas desa).
Satu kelompok ingin dana tersebut untuk membiayai rehab masjid. Sementara itu, kelompok lainnya ingin dipakai untuk membeli gamelan, karena kebetulan ada penjual yang ingin melego gamelannya dengan harga relatif murah.
Perselisihan itu meruncing hingga dibawa ke Kiai Chudlori untuk dicarikan pemecahannya. Setelah mengerti duduk permasalahannya, Kiai Chudlori pun memberikan solusi yang mengejutkan, dana kas desa sebaiknya dipakai untuk membeli gamelan dulu. Sontak kelompok yang ingin gamelan pun girang, sebaliknya kelompok yang ingin rehab masjid cemberut kecewa.
Setelah kelompok gamelan pamit pulang, Kiai Chudlori pun menjelaskan alasannya kepada kelompok masjid, bahwa keputusannya itu adalah dalam rangka menjaga keguyuban dan kerukunan. Dalam hal ini, Kiai Chudlori lebih memilih menguatkan nilai-nilai keislaman daripada sekadar mementingkan simbol. Beliau juga menghargai budaya lokal dengan tidak serta merta menghilangkannya bahkan ketika vis a vis “berhadapan” dengan agama.

Mendahulukan membeli gamelan tak berarti meninggalkan merehab masjid. Kiai Chudlori yakin setelah masyarakat rukun, maka membangun masjid pasti akan terlaksana dengan sendirinya. Keyakinan Kiai Chudlori pun terbukti. Pembangunan masjid berjalan baik dengan partisipasi dan gotong royong dari seluruh warga.  Gamelan terbeli, masjid pun terbangun.
*Tulisan sebelumnya dimuat di islami.co