Penulis: Takhsinul Khuluk
Atorcator.Com - Ketika terjadi polemik peruntukan
dana kas desa, Kiai Chudlori lebih memilih mendahulukan membeli gamelan
daripada untuk merehab masjid. Keputusannya ini memicu kontroversi, namun
berakhir dengan maslahat.
Kiai Chudori (w. 1977) adalah salah
satu kiai yang masyhur di kalangan umat Islam khususnya di Jawa Tengah. Beliau
adalah kiai yang sangat alim, pernah nyantri di sejumlah pesantren termasuk di
Tebuireng pimpinan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dan di Lasem di pesantrennya
Kiai Baidlowi dan Kiai Ma’shum.
Pada tahun 1940-an, beliau
mendirikan Pondok Pesantren Asrama Pendidikan Islam (API) di kampung
halamannya, Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah. Pesantren ini berkembang pesat.
Santrinya berjumlah ribuan. Gus Dur cilik pernah nyantri di pesantren ini
selama 2,5 tahun pada akhir 1950-an.
Selain dikenal kealimannya, Kiai
Chudlori juga dikenal bijaksana, khususnya dalam menyikapi permasalahan sosial
budaya yang ada di masyarakat. Syahdan, suatu ketika di suatu kampung di
sekitar Tegalrejo terjadi perselisihan menyangkut dana bondo desa (kas desa).
Satu kelompok ingin dana tersebut
untuk membiayai rehab masjid. Sementara itu, kelompok lainnya ingin dipakai
untuk membeli gamelan, karena kebetulan ada penjual yang ingin melego
gamelannya dengan harga relatif murah.
Perselisihan itu meruncing hingga
dibawa ke Kiai Chudlori untuk dicarikan pemecahannya. Setelah mengerti duduk
permasalahannya, Kiai Chudlori pun memberikan solusi yang mengejutkan, dana kas
desa sebaiknya dipakai untuk membeli gamelan dulu. Sontak kelompok yang ingin
gamelan pun girang, sebaliknya kelompok yang ingin rehab masjid cemberut
kecewa.
Setelah kelompok gamelan pamit
pulang, Kiai Chudlori pun menjelaskan alasannya kepada kelompok masjid, bahwa
keputusannya itu adalah dalam rangka menjaga keguyuban dan kerukunan. Dalam hal
ini, Kiai Chudlori lebih memilih menguatkan nilai-nilai keislaman daripada
sekadar mementingkan simbol. Beliau juga menghargai budaya lokal dengan tidak
serta merta menghilangkannya bahkan ketika vis a vis “berhadapan” dengan agama.
Mendahulukan membeli gamelan tak berarti
meninggalkan merehab masjid. Kiai Chudlori yakin setelah masyarakat rukun, maka
membangun masjid pasti akan terlaksana dengan sendirinya. Keyakinan Kiai
Chudlori pun terbukti. Pembangunan masjid berjalan baik dengan partisipasi dan
gotong royong dari seluruh warga. Gamelan terbeli, masjid pun terbangun.
*Tulisan sebelumnya dimuat di islami.co