Penulis: Zahrotun Nafisah
Senin 16 September 2019
Britagar |
Atorcator.Com - Imam Ghazali memiliki kepribadian
yang unik. Faktornya adalah dari adiknya, Ahmad
al-Ghazali. Ia justru lebih cerdas dari kakaknya. Bahkan ia yang
menyebabkan kakaknya untuk menoleh kepada ilmu tasawuf. Adiknya juga mengarang
kitab tasawuf tapi dalam bahasa Persia. Kedua, Imam al-Ghazali pernah mengalami
kisah dramatis. Ia pernah mengalami krisis spiritual. Pernah ia merasa tidak
percaya dengan apapun.
Termasuk dengan ilmu yang ia pelajari. Dia berpikir
mengajar berbagai macam ilmu itu untuk apa. Apakah niatnya untuk Allah apakah
untuk popularitas semata. Pernah dalam satu titik karirnya al-Ghazali tidak
bisa bicara.
Kisah tersebut persis pengalaman
Nabi Zakariya As. yang tidak bisa bicara sebagai tanda kehamilan istrinya. Saat
itu beliau masuk kelas untuk mengajar namun tidak bisa bicara lalu keluar lagi.
Akhirnya ia meninggalkan jabatannya, yaitu pimpinan Madrasah Nizamiyah di
Baghdad. Persis juga seperti kisah para wali sebelum al-Ghazali, yaitu Ibrahim
bin Adham, Ma’ruf al-Karhi, Fudhail
bin Iyadh. Tokoh-tokoh tasawuf yang menjadi sufi krena dalam hidupnya
mengalami krisis spiritual. Seperti Ibrahim bin Adham yang dulunya merupakan
seorang raja di Afghanistan. Kemudian mninggalkan kerajaannya. Persis Budha
Gautama yang dulu merupakan seorang pangeran.
Kitab Ihya’ dikarang
setelah masa pertapaan selama kurang lebih 10 tahun. Dengan pengalaman dan
kecerdasan intelektual yang tinggi, Imam al-Ghazali mampu menyajikan ilmu
tasawuf dengan sangat gamblang dan mudah dipahami. Karakteristik kitab Ihya’ daripada
kitab-kitab tasawuf lainnya adalah karena pengarangnya yang cerdas. Meski
menjadi wali merupakan hasil dari istiqomah seseorang dalam
beribadah, namun perpaduan kecerdasan intelektual dan spiritual yang
dimilikinya menjadikan kitab Ihya’ sangat ciamik untuk terus dikaji.
Menurut penuturan Gus
Ulil, mengaji kitab Ihya’ sangatlah sulit. Hal tersebut
dikarenakan isinya penuh dengan teguran. Ulama pihak yang paling banyak
dikritik di dalam kitab Ihya’. Ulama yang dimaksud adalah yang sekadar
mengajar ilmu syariat. Menurutnya, ilmu fiqih bukanlah ilmu akhirat. Imam
al-Ghazali lantas membagi ilmu menjadi dua golongan, yaitu mu’amalah dan mukasyafah.
Mu’amalah ilmu interaksi antara
manusia dan manusia juga manusia dan Allah. Sementara mukasyafah (menyingkap
rahasia Allah) akan tercapai jika pelaksanaan ilmu mu’amalah benar.
Itupun mu’amalah yang terkait dengan dunia ini. Spontan, anggapan
Imam al-Ghazali tentang ilmu fiqih yang bukan ilmu akhirat mendapat banyak
respon dan pertentangan dari banyak pihak terutama ulama ilmu fiqih itu
sendiri. Maka sempat muncul fatwa dari Spanyol bahwa ilmu tasawuf itu sesat
karena anggapan demikian.
Teguran yang banyak bermunculan dari
kitab Ihya’ adalah tentang orang-orang yang sangat sibuk menilai
kekurangan dan menasihati orang lain daripada melakukan hal demikian pada diri
sendiri. Maka Imam al-Ghazali membagi tipologi manusia menjadi empat golongan:
Pertama, seseorang yang tahu
(berilmu) dan dia tahu kalau dirinya berilmu.
Kedua, seseorang yang tahu
(berilmu) dan dia tidak tahu kalau dirinya berilmu.
Ketiga, seseorang yang tidak
tahu (tidak berilmu) tapi dia tidak tahu kalau ia tidak berilmu.
Keempat, seseorang yang tidak
tahu (tidak berilmu) dan dia tidak tahu kalau dirinya tidak berilmu. Dan inilah
orang yang paling berbahaya.
*Source selengkapnya bisa dibaca di BincangSyariah