Perpindahan Ibu Kota, Jokowi Memancing Marah - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

02 September 2019

Perpindahan Ibu Kota, Jokowi Memancing Marah

Penulis: Nurbani Yusuf
Senin 2 September 2019

Atorcator.Com - Proposal perpindahan ibu kota ke Kaltim bukan saja menjadi polemik di dalam negeri tapi juga berpengaruh signifikan terhadap kepentingan Amerika dan sekutunya di Asia---Hukuman apa yang paling tepat terhadap rezim yang tidak mampu menjaga kesatuan negara? 

Pengaruh China dibalik perpindahan ibu kota ke Kaltim sangat kentara---pergerakan para taipan kurang bersabar--kurang smoth dan mudah dibaca. Shahwat bisnis taipan harus bisa diredam agar tak mengganggu stabilitas sosial dan politik. Sebab itu--Sukses pindah ibukota dan menjaga kesatuan negara adalah ujian kenegarawanan Jokowi. 

Kebanyakan taipan hanyalah para pencari uang bukan politisi yang baik. Meski perpindahan Ibu kota juga bermakna politis. Kegagalan Ahok menguasai Ibu Kota menjadi pembelajaran betapa sulitnya menjinakkan keangkuhan Jakarta. Sekaligus menunjukkan peta kekuatan. Pindah ibukota adalah kebutuhan politik. Bukan aspirasi rakyat yang harus ditunaikan. 

Tak ada jaminan kelangsungan pemindahan ibu kota yang diprediksi bakal slesai 10 atau 20 tahun ke depan. Bukankah sistem pemerintahan kita tidak menjamin kontinuitas-maka usulan diberlakukannya GBHN adalah salah satu upaya menjaga agar Ibu kota tak dibawa balik ke Jakarta lagi oleh Presiden berikutnya. 

Adalah Kaltim memiliki tempat strategis dan berjarak simetris dengan China-satu keunggulan geopolitik yang menguntungkan. Ditambah penduduk China di Kalimantan relatif lebih besar dibanding propinsi lain adalah variabel lain. Terlihat sekali China ingin menguasai jalur perdagangan--politik dan kekuasaan. 

Perpindahan ibu kota dari Madinah ke Koufah pernah dilakukan Sayidina Ali ra--cara berani yang sebelumnya tidak pernah dilakukan Nabi saw dan tiga sahabat pendahulunya. 

Cara ini ditempuh Sayidina Ali untuk dua hal: pertama, menutup pergerakan kaum migran pemberontak yang menyusup di Madinah sebagai kota suci. Kedua, memisahkan agama dari politik. Sayidina Ali tak ingin Madinah menjadi sarang berbagai rusuh politik. 

Meski tak cukup efektif--setidaknya Sayidina Ali memberi fundamen politik masa depan yang dinamis bahwa politik tak selamanya bisa bersahabat dengan agama. Bahkan Sayidina Ali pun harus terbunuh karena dalil agama yang dibebankan padanya. Sayidina Ali dituduh kafir oleh sekelompok orang yang mengaku paling benar. 

Akan halnya perpindahan ibukota Jakarta ke Kaltim--ada banyak faktor yang harus dihitung termasuk kepentingan hegemoni politik negara-negara barat dan sekutu. Yang paling gerah adalah Amerika dan sekutunya. Inilah yang saya sebut globalisasi. Tak ada yang berdiri sendiri. Dan mungkin ada baiknya bagi penggiat politik Islam saat ini berkawan dengan Amerika untuk melawan rezim. Satu pilihan politik meski bukan solusi. 

Amerika tak akan rela jika China menguasai Indoensia. Amerika akan melawan dengan gayanya--menghidupkan kelompok separatis, ekstrimis radikal dan proxywar. Syuriah, Iraq, Libya, Aljazair, Afghan luluh lantak. Cara ini amat mahal. Sebab bumi hangus atau mati siji mati kabeh--adalah cara efektif dan efisien untuk tidak membiarkan lawan menguasai lahan--nasehat Lao Tse. 

Lepasnya Papua bisa berakibat fatal--bukan saja terhadap eksistensi negara kesatuan karena bisa saja diikuti propinsi lain yang berpotensi memisahkan diri--tapi juga bagi masa depan Pemerintahan Jokowi. 

Perang Amerika dan China bisa saja berpindah di negara kita--saya berdoa dua hal: ibu kota tak jadi pindah dan Papua tetap bersetia pada NKRI. 

@nurbaniyusuf
Komunitas Padhang Makhsyar