Penulis: Rohman Taufik
Jumat 11 Oktober 2019
ngopibareng |
Atorcator.Com
- Meninggalnya Bu
Nyai Lilik Suyati atau Bu Yat atau Bu Nyai Miek, istri KH Chamim Thohari
Djazuli (Gus Miek), pengasuh Pesantren Al Falah, Ploso, Kediri, membuka kembali
perbincangan publik tentang bagaimana kedahsyatan karomah atau kewalian Gus
Miek ketika beliau masih hidup.
Banyak kisah
kembali diperbincangkan publik terkait kewalian sang kiai. Ngopibareng yang
kebetulan pernah bersinggungan atau minimal pernah bertemu dengan Gus Miek
serta beberapa kerabatnya mendapatkan banyak cerita tentang bagaimana sang Gus
ini memang sangat unik.
Keunikan ini
kadang tidak bisa dinalar oleh akal manusia. Ada dua kisah tentang kewalian Gus
Miek yang mungkin tidak banyak diketahui publik.
Salah satu
kisah itu adalah bagaimana Gus Miek yang tidak pernah membeli BBM di SPBU.
Kisah ini
diceritakan oleh seorang wartawan senior yang kebetulan pernah mendampingi Gus
Miek ketika sedang berdakwah di berbagai diskotik di Surabaya.
Wartawan ini
sebenarnya beragama Katolik, namun oleh Gus Miek, dia kerap dianggap sebagai
saudara dan sering diajak berkeliling untuk masuk ke diskotik maupun tempat
hiburan malam di Surabaya.
Gus Miek,
biasanya berada di Surabaya antara tiga hari hingga satu pekan. Ke mana-mana,
Gus Miek senang menggunakan Hardtopnya, namun selama seminggu di Surabaya, si
wartawan ini tidak pernah melihat Gus Miek mengisi BBM di SPBU. Padahal kita
tahu sendiri bagaimana borosnya Hardtop itu.
"Pernah
suatu saat, saya yang diminta nyetir. Beliau minta diantar pulang ke Ploso.
Saya lihat penunjuk bensinnya sudah hampir habis, apalagi Hardtop kan boros.
Gus Miek tak kasih tahu, Gus Ini harus beli BBM, beliau hanya jawab, wis ayo
sopirono aku kesel tak turu," ujarnya.
Mengetahui
BBM yang menipis, sepanjang jalan, si wartawan ini agak panik juga. Dia kawatir
kehabisan BBM dan harus mendorong mobil bongsor itu.
"Tapi
sampai Mojokerto ternyata mobil masih jalan, begitu juga sampai Jombang,
Kertosono dan bahkan masih jalan sampai masuk pelataran ndalem (rumah) Gus
Miek," ujarnya.
Keanehen
tidak hanya sampai di situ, saat mobil baru saja berhenti di pelataran rumah,
seorang santri tiba-tiba datang dan membawa satu jerigen berisi BBM.
"Padahal saat itu kan belum ada telepon, tapi kok bisa ini santri tahu
kalau mobilnya sudah waktunya mengisi BBM," kata dia sambil masih merasa
heran.
Tak hanya
soal BBM, kisah kewalian Gus Miek juga diceritakan oleh seorang pedagang pasar
yang ada di Karangan, Trenggalek. Pedagang ini kebetulan memang masih saudara
Gus Miek dari jalur KH Djazuli Utsman terutama dari jalur Mayan, Kediri. Saking
dekatnya Gus Miek dan pedagang ini, hingga nama anak-anak dari pedagang ini
yang memberikan nama adalah Gus Miek.
Ketika masih
hidup, Gus Miek yang kerap ziarah ke Makam Mbah Mesir di Durenan Trenggalek,
atau sedang menghadiri Jantiko Mantab sering mampir ke toko pedagang ini.
Selain bersilaturahmi untuk menanyakan kabar dari saudara Gus Miek yang ada di
Trenggalek, Gus Miek ternyata juga kerap berhutang uang kepada pedagang satu
ini.
"Gus
Miek itu sering mampir dan pinjam uang. Biasanya sekarang pinjam, besok sudah
dikembalikan. Ada santri yang mengantarkan uang ke sini," kata dia.
Keanehan
selalu muncul karena tiap kali pinjam uang, Gus Miek selalu bilang kehabisan
uang untuk pulang ke Kediri. Namun besoknya santrinya selalu mengembalikan uang
dengan kondisi persis seperti yang dipinjam Gus Miek.
"Kan
dulu di pasar, uang saya gendeli (ditali jadi satu) dikareti gitu, ada yang
seribuan ada lima ribuan. Biasanya Gus Miek tidak ngitung, tapi besoknya ya
uangnya posisinya tetap karetan gitu persis seperti yang kemarin saya kasihkan.
Seperti tidak digunakan uangnya itu. Dan selalu saja begitu, sampai tak titeni
(saya ingat-ingat), pernah satu lembar uang saya coret bolpoin. Besoknya uang
yang saya coret itu juga ikut kembali ke sini," ujarnya keheranan.
Padahal, Gus
Miek ketika datang dan berhutang tidak selalu menggunakan mobil pribadi. Sering
kali Gus Miek datang dengan mengendarai bus sehingga uang itu harusnya
digunakan untuk membayar bus untuk pulang ke Kediri. [NgopiBareng]