Penulis: Vanzaka Musyafa
Sabtu 7 Desember 2019
Shohibul Bahri, Bojonnegoro 10 april 1997. Sifat seorang laki laki asal Bojonegoro ini berbeda dari kian banyak laki-laki pada umumnya. Kiranya seperti itu sedikit mukaddimah.
Terkadang, dia mau pergi, tetapi tidak memiliki tujuan pasti. Sosok yang kerap dipanggil pak de itu tidak seperti sikap cowok cowok lain pada umumnya. Mudah meninggalkan pelabuhan satu dan berlabuh ke pelabuhan lain.
Perempuan bukan pelabuhan, ujar pak de dalam hati nurani. Baginya, sekali berlabuh itulah rumah terindah. Meski kata orang, rumput tetangga lebih indah.
Buat Pak de rumah sendiri itu sangat nyaman dan tidak tergantikan. Apalagi persinggahan pertama semasa hidupnya.
Mungkin, itu pula yang dirasakan Titin Sulistiyowati. Sapaan akrabnya Bu de, yang merasa aneh dengan satu laki-laki ini, dengan mudahnya mengabaikan pelabuhan lain hanya untuk kembali kepada pelabuhan pertama, yaitu Bu de.
Pak de memang dikenal pemalu orangnya. Ketika berkomunikasi lewat media sosial (katakan saja WA [WhatsApp]) perasaan bude seperti tuan putri sesungguhnya, yang hidupnya sangat bahagia bersama pangeran.
Namun, perasaan itu agak memudar di mana saat keduanya bertemu dalam satu acara wisuda. Dan mungkin juga di waktu-waktu yang lain. Saat itu, mereka berfoto, di saat itu pula tuan putri melihat kejanggalan di wajah sang pangeran.
Benarkah ini pangeran yang membahagiakanku di WA ? Dia bertanya-tanya dalam benaknya untuk meyakinkan diri, karena seakan rasanya berbeda saat berada di dunia WA dan dunia nyata.
Kebimbangan tuan putri mulai tumbuh. 50% keraguan mulai menguasai hatinya. Melihat pose pangerannya yang dirasa berbeda dengan imajinasinya di dunia WA.
Namun sekali lagi, pangeran yang kusebut pak de itu pemalu orangnya, dia kurang pede memperlihatkan kesetiannya di hadapan publik. Jelas berbeda dari cowok lain yang dengan pede-nya selfi dan dipost ke instastory.
Hatinya bersih, campur aduk perasaan takut. Bersih hatinya tidak mudah berlabuh ke pelabuhan baru. Khawatir atas kepergian yang akan cepat menghantui ketika kata hatinya diketahui publik.
Pada suatu ketika, tuan putri kembali 100% yakin kepada sang pangeran. Melihat staus WA-nya yang kerap galau ketika pelabuhan itu terasa bukan lagi pangeran yang berhak mendapatkan.
Berkali-kali membuat story bernuansa galau. Keahliannya meguasai handam, pangeran menggoreskan tinta bertuliskan arab "aku cinta kamu." dan di story' lain "paringi sabar Gusti."
Bu de tidak melihat itu hanya sekali, tapi berkali-kali. Story Pak de seakan selalu mewakili perasaan malu pak de untuk mengatakan kepada Bu de "jangan tinggalkan aku tuan putri..!"
Pada satu ketika, Pak de merasa semakin menjauh dari pelabuhan. Tidak kuasalah pak de untuk curhat kepada sahabatnya. Tentu tidak semua pak de curhati. Hanya orang tertentu yang dia pilih untuk berbagi jawaban-jawaban yang menenagkan hati.
kata salah satu sahabatnya, sifatmu seperti saya. tidak mudah meninggalkan pelabuhan yang telah nyaman disinggahi. "Kamu punya hati yang setia. Ikat tuan putri, dan jaga", tegas sahabatnya.
Kamu (pak de) tidak jauh beda saat sahabatmu dulu saat berada di posisimu. Sahabat gatelmu (yang usil) ini tidak mau melihat masa lalu yang tidak tertolong itu terjadi pada sahabat seperjuanganmu ini.
Sahabatmu ini sudah nyaman menjadi Biru (aktor dalam novel KATA Rintik Sendu). Biarlah Senjani bahagia bersama Nugraha. Dan itu sudah cukup membahagiakan bagi Biru.
Cita-citanya hanya mendokumentasikan kisah masa lalu dalam artefak yang fenomenal, ya, buku. Berharap, siapa saja yang membaca akan mendapat pelajaran "tidak mudah mempermainkan cinta."
Oh iya, kembali ke pangeran. Setelah mendengar jawaban dari sahabatnya, pangeran meyakinkan niatnya. Mengokohkan hati, dan ingin melanjutkan perjuangan sampai ke pelaminan.
Tentunya dengan izin calon mertua dong. Khitbah, nunggu selesai kuliah kemudian nikah. Kalau ta'aruf sepertinya sedari dulu, pertama kali pangeran dan tuan putri berkenalan. Jadi, masa ta'aruf rasanya sudah selesai dan cukup untuk mengetahui masing-masing keduanya.
Kisah selanjutnya nanti setelah uas. Setelah libur mau lamaran. Jadi, tunggu saja bagaimana kisah pangeran dan tuan putri selanjutnya.
Vanzaka Musyafa Pengurus Jam'iyah Ngopi Pegon Malang
Sabtu 7 Desember 2019
Ilustrasi: Pixabay |
Shohibul Bahri, Bojonnegoro 10 april 1997. Sifat seorang laki laki asal Bojonegoro ini berbeda dari kian banyak laki-laki pada umumnya. Kiranya seperti itu sedikit mukaddimah.
Terkadang, dia mau pergi, tetapi tidak memiliki tujuan pasti. Sosok yang kerap dipanggil pak de itu tidak seperti sikap cowok cowok lain pada umumnya. Mudah meninggalkan pelabuhan satu dan berlabuh ke pelabuhan lain.
Perempuan bukan pelabuhan, ujar pak de dalam hati nurani. Baginya, sekali berlabuh itulah rumah terindah. Meski kata orang, rumput tetangga lebih indah.
Buat Pak de rumah sendiri itu sangat nyaman dan tidak tergantikan. Apalagi persinggahan pertama semasa hidupnya.
Mungkin, itu pula yang dirasakan Titin Sulistiyowati. Sapaan akrabnya Bu de, yang merasa aneh dengan satu laki-laki ini, dengan mudahnya mengabaikan pelabuhan lain hanya untuk kembali kepada pelabuhan pertama, yaitu Bu de.
Pak de memang dikenal pemalu orangnya. Ketika berkomunikasi lewat media sosial (katakan saja WA [WhatsApp]) perasaan bude seperti tuan putri sesungguhnya, yang hidupnya sangat bahagia bersama pangeran.
Namun, perasaan itu agak memudar di mana saat keduanya bertemu dalam satu acara wisuda. Dan mungkin juga di waktu-waktu yang lain. Saat itu, mereka berfoto, di saat itu pula tuan putri melihat kejanggalan di wajah sang pangeran.
Benarkah ini pangeran yang membahagiakanku di WA ? Dia bertanya-tanya dalam benaknya untuk meyakinkan diri, karena seakan rasanya berbeda saat berada di dunia WA dan dunia nyata.
Kebimbangan tuan putri mulai tumbuh. 50% keraguan mulai menguasai hatinya. Melihat pose pangerannya yang dirasa berbeda dengan imajinasinya di dunia WA.
Namun sekali lagi, pangeran yang kusebut pak de itu pemalu orangnya, dia kurang pede memperlihatkan kesetiannya di hadapan publik. Jelas berbeda dari cowok lain yang dengan pede-nya selfi dan dipost ke instastory.
Hatinya bersih, campur aduk perasaan takut. Bersih hatinya tidak mudah berlabuh ke pelabuhan baru. Khawatir atas kepergian yang akan cepat menghantui ketika kata hatinya diketahui publik.
Pada suatu ketika, tuan putri kembali 100% yakin kepada sang pangeran. Melihat staus WA-nya yang kerap galau ketika pelabuhan itu terasa bukan lagi pangeran yang berhak mendapatkan.
Berkali-kali membuat story bernuansa galau. Keahliannya meguasai handam, pangeran menggoreskan tinta bertuliskan arab "aku cinta kamu." dan di story' lain "paringi sabar Gusti."
Bu de tidak melihat itu hanya sekali, tapi berkali-kali. Story Pak de seakan selalu mewakili perasaan malu pak de untuk mengatakan kepada Bu de "jangan tinggalkan aku tuan putri..!"
Pada satu ketika, Pak de merasa semakin menjauh dari pelabuhan. Tidak kuasalah pak de untuk curhat kepada sahabatnya. Tentu tidak semua pak de curhati. Hanya orang tertentu yang dia pilih untuk berbagi jawaban-jawaban yang menenagkan hati.
kata salah satu sahabatnya, sifatmu seperti saya. tidak mudah meninggalkan pelabuhan yang telah nyaman disinggahi. "Kamu punya hati yang setia. Ikat tuan putri, dan jaga", tegas sahabatnya.
Kamu (pak de) tidak jauh beda saat sahabatmu dulu saat berada di posisimu. Sahabat gatelmu (yang usil) ini tidak mau melihat masa lalu yang tidak tertolong itu terjadi pada sahabat seperjuanganmu ini.
Sahabatmu ini sudah nyaman menjadi Biru (aktor dalam novel KATA Rintik Sendu). Biarlah Senjani bahagia bersama Nugraha. Dan itu sudah cukup membahagiakan bagi Biru.
Cita-citanya hanya mendokumentasikan kisah masa lalu dalam artefak yang fenomenal, ya, buku. Berharap, siapa saja yang membaca akan mendapat pelajaran "tidak mudah mempermainkan cinta."
Oh iya, kembali ke pangeran. Setelah mendengar jawaban dari sahabatnya, pangeran meyakinkan niatnya. Mengokohkan hati, dan ingin melanjutkan perjuangan sampai ke pelaminan.
Tentunya dengan izin calon mertua dong. Khitbah, nunggu selesai kuliah kemudian nikah. Kalau ta'aruf sepertinya sedari dulu, pertama kali pangeran dan tuan putri berkenalan. Jadi, masa ta'aruf rasanya sudah selesai dan cukup untuk mengetahui masing-masing keduanya.
Kisah selanjutnya nanti setelah uas. Setelah libur mau lamaran. Jadi, tunggu saja bagaimana kisah pangeran dan tuan putri selanjutnya.
Vanzaka Musyafa Pengurus Jam'iyah Ngopi Pegon Malang