Cadarmu itu Bukan Cadarku - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Minggu, Maret 11, 2018

Cadarmu itu Bukan Cadarku



foto; mahasiswi STAIMA Malang


Penulis: Moh Syahri


Atorcator.Com - Media kalau gak digunakan untuk menggoreng isu-isu itu kurang keren dan kurang menarik untuk dibaca, Nah disitu akan timbul pendapat pro dan kontra. Pro dan kontra ini menarik lho ya…. Bagaimana tidak ? pendapat yang pro dan yang kontra jelas tidak sama dalam memandang satu kasus, memiliki sudut pandang yang berbeda, dan itu hal yang biasa, tidak perlu diribut-ributkan apalagi sampai dibentur-benturkan dengan kepentingan-kepentingan tertentu, gak etis lah guyss


Media kali ini diberi tugas mengkritik (untuk yang kotra) dan memperkuat argumentasi (untuk yang pro) rektor UIN Yogyakarta, dengan dikeluarkannya surat pelarangan mahasiswa bercadar, dan ini menarik sepertinya kalau kita bahas. Retor UIN itu malarang adakah alasannya ? jelas ada, islamkah dia ? jelas islam , liberalkah dia ? sedikit iya, sebab saya pernah ketemu langsung dengan beliau di jogja dulu dan berbincang-bincang dengan beliau, tapi beliau liberal dalam hal pendidikan tidak dalam hal teologis, bisa membedakan kan ? bisalah, masak anak jaman now gak bisa, wkwkwwk


Rektor UIN suka (sunan kalijaga) itu itu mengatakan bahwa mahasiswa yang bercadar patut dicurigai menganut islam yang bertentangan dengan Pancasila, Undang-undang dasar 1945, dan islam moderat di Indonesia” katanya pula, “ pembinaan” ini dilakukan dalam menyelamatkan mereka dari ideologi yang tidak dipahami. Dari argumentasi ini banyak sekali yang memberontak,  termasuk Dosen Sosiologi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Najib Azca, mangatakan ada yang keliru dari argument di balik penerbitan aturan ini, mengaitkan paham radikalisme, ekstrimisme, dan islam yang anti Pancasila dengan penggunaan cadar adalah keliru. “ Tidak ada kaitannya dengan radikalisme. Lebih tepat kalau itu adalah konservatisme, yaitu cara hidup yang menafsirkan agama secara konservatif, skripuralis.


Di sisi lain juga banyak yang pro dengan pelarangan ini termasuk ketua anshor. Gus yaqut walaupun secara tidak langsung beliau menyatakan sepakat, apa yang dikatakan beliau intinya “kalau gak suka dengan aturan seperti itu cari kampus lain”. Menarik kan ? masih banyak yang pro dengan kebijakan itu.

Saya melihat semua ini, lucu dan menggemaskan. Saya tidak mau mempermasalahkan cadarnya dalam lensa dan konteks agama, kalau itu jelas ulamak berbeda pendapat diantara madzhab yang empat, imam Syafii, imam Malik, imam Hanbali, dan imam Hanafi, jangankan cadar berkrudung saja masih terjadi khilafiah, lihat saja Najwa Shihab padahal dia putri dari seorang ahli tafsir lho ya……dan saya sudah tau betul apa alasan abi Quaraisy Shihab tidak memaksa anaknya berhijab, wes a…..bisa jauh pembahasan ini nanti

Yang menjadi hemat saya adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh orang tertinggi, memiliki wewenang dan hak otoritas di kampus itu, di kampus manapun rektor memiliki kebijakan penuh dalam mengeluarkan aturan, walaupun dalam aturan cadar ini diannggap menyimpang dari yang semestinya (menurut yang yang kontra). Tapi hal ini harus di tinjau secara objektif, kasus pemakaian cadar yang pernah saya alami dulu ketika di jogja, saya pernah mau ngajari anak-anak untuk ngaji private di rumahnya, kebetulan sang ibu bercadar entah saya gak pernah nanyak ibu itu  radikal apa gak, ,,,,,, kayak gak ada kerjain lain nanyak itu, bauang-buang waktu aja…. Setelah selang beberapa hari saya diminta balik lagi kerumahnya karena di rasa cocok mungkin pengajaran saya. Wkwkwk ( mungkin lho ya). 

Nah di hari kedua itu saya di suguhkan makanan entah saya lupa makanan apa yang jelas kelihatannya enak, si ibu katanya bilang seperti ini “ monggo mas di dahar makanan ini”. Saya hanya manggut-manggut bukan berarti saya paham lho ya…. karena saya waktu masih sibuk mengajari anaknya, saya manggut saja, karena saya gak paham apa yang dikatakan ibu itu, saya gak apa-apain makanan itu apalagi sampai dimakan, dan saya biarin sampai saya pulang soalnya suaranya lirih banget dan gak jelas kedengarannya, yang jelas karena terhalang cadar itu menurut pengamatan saya sih gitu entah menurut ibu itu sudah suara keras apa gak, saya gak tau guysss… sebab ibu-ibu lain yang gak pakek cadar suaranya banter semua kok, saya kayak jadi fans-nya ibu-ibu, nggak lho ya…. ini hanya sebatas syi’ar, azzzzzik.

foto; saya bersama mahasiswi UIN malang asal kalimantan
Saya melihat deskripsi diatas bahwa cadar merupakan faktor kegagalan berinteraksi secara maksimal sehingga berpotensi kesalahpahaman dan miss communication, menurut saya, anda tidak perlu setuju dengan pendapat saya, hehehe. Karena saya melihat dari pengalaman saya pribadi, sebab pengalaman anda kadang tidak sama dengan pengalaman saya  sehinnga anda tidak harus setuju dengan pendapat saya. Lagian kenapa sih kok di tutup-tutupi, bukankah muka/wajah ini identitas yang alami dari tuhan ? iya tidak ? jujur lho ya…? Apalagi di sebuah perguruan tinggi jelas dosen akan sulit mengidentifikasi mahasiswa seperti itu, apalagi ketika tes wawancara misalkan, masak iya kita langsung percaya dengan orang seperti itu. siapa tau dia bapaknya atau ibunya, kan bisa gak karuan  proses adminisrtasinya.

Di kampus saya STAIMA Ma’had Aly Al-Hikam Malang, itu ada yang pakai cadar kurang lebih saya melihat 3 atau 2 orang maklum kampus kecil dari sisi kuantitas. Dan ini tidak dilarang oleh pihak kampus STAIMA. Sedangkan di UIN jogja di larang, keduanya memiliki aturan-aturan masing, gak perlu di permasahkan. Yang perlu di tanyakan kita mau ikut aturan apa gak ? saya malah setuju dengan Gus yaqut di atas kalau gak mau ikut aturan mendingan cari kampus lain, gitu aja kok repot

Nih, saya kasih contoh lagi di kampus, saya pernah suatu hari ke perpustakaan untuk menanyakan letak buku dan mau meminjam buku kebetulan yang jaga perpus waktu itu perempuan, santriwati lah gampangnya, tapi gak bercadar. Setelah saya nanyak tentang buku itu, dia menjawab dengan suara yang lirih sekali sampai saya nanyak 3 kali klo gak salah, apa iya, kuping saya yang gak normal, perasaan gak sih. Apa memang si dia suaranya yang gak bisa keras, saya gak tau, yang jelas mayoritas suara perempuan memang lirih, tidak semuanya lho ya… berangkat dari pengalaman ini, saya membayangkan bagaimana jadinya jika si dia pakai cadar dan gak buka cadarnya tambah hilang suaranya apa iya saya harus pakai handset untuk mendengar perempuan bercada, apa perlu pakek speaker kayak di locket stasiun itu, hidup kok susah banget sih.

Kalau bicara diskriminasi, intoleran, saya rasa tidak ada diskriminasi dan perlakuan intoleran sebab pihak kampus tentu sudah memiliki pertimbangan yang sangat matang dari sisi konteks sosial, jangan dibenturkan dengan HAM nanti gak selesai-selesai tulisan ini hahahaa…. yang namanya HAM semua memiliki, apalagi di sebuah instansi sekolah. Oke,,,,

Cadar ini memang ngerri…. Kenapa ? Lah iya…. Dulu ketika saya masih sekolah MI lihat orang pakai helm saja takut dan ngumpet padahal helm itu sebagai proteksi diri, begitupun lihat orang cadaran, katanya sih itu cara paling efektif untuk mencegah syahwat, apa iya ? gak tau saya, yang jelas apapun bentuk tubuh perempuan itu, laki-laki tetap akan memandang dengan penuh syahwat dan surga dunia (dalam tanda kutip), juju raja bro, namanya juga manusia normal guysss. Cuma gini…. Kalau perempuan cadar itu bisa lihat lawan jenis kenapa kita tidak boleh lihat dia, kan gak adil namanya. Wkwkwkwk (guyonannya). Normalnya perempuan itu punya dua mata, dua hidung, satu mulut, jika ditutup ? ya gak usah saya jawab dan bahas lebih detail lah. Pemakaian cadar ini menurut saya hanya dilakukan oleh sebagian orang saja, di desa saya perasaan tidak ada yang pakai cadar, masak iya ? iya lah. Sebab kalau terpaksa pakai cadar jelas dia akan susah bekerja, menanam padi di tengah sawah (red madura; Mancek) mencabut singkong dari dalam tanah, mengupas kulit  kelapa. Di desaku itu sudah memperjuangkan feminisme lho ya……..hahahaha

Saya malah lebih bangga dan salut dengan perempuan yang tidak bercadar ataupun bercadar atas kesadarannya,yang bercadar dengan kesadarannya lebih-lebih kesadaran dalam beragama otomatis dia juga akan membatasi interaksi sosialnya sebab suaranya itu juga haram menurut sebagian ulamak ( mungkin pemikiran konservatif). Begitupan dengan perempuan yang tidak bercadar, dia sadar bahwa interaksi sosial itu lebih penting, apalagi jadi wanita karir. Agama saja tidak pernah melarangnya bahkan menganjurkan untuk berinteraksi sosial demi mewujudkan kehidupan yang harmonis.