Penulis: Moh Syahri
Atorcator.Com - Media kalau gak digunakan untuk menggoreng isu-isu itu kurang keren dan kurang menarik untuk dibaca, Nah disitu akan timbul pendapat pro dan kontra. Pro dan kontra ini menarik lho ya…. Bagaimana tidak ? pendapat yang pro dan yang kontra jelas tidak sama dalam memandang satu kasus, memiliki sudut pandang yang berbeda, dan itu hal yang biasa, tidak perlu diribut-ributkan apalagi sampai dibentur-benturkan dengan kepentingan-kepentingan tertentu, gak etis lah guyss
Atorcator.Com - Media kalau gak digunakan untuk menggoreng isu-isu itu kurang keren dan kurang menarik untuk dibaca, Nah disitu akan timbul pendapat pro dan kontra. Pro dan kontra ini menarik lho ya…. Bagaimana tidak ? pendapat yang pro dan yang kontra jelas tidak sama dalam memandang satu kasus, memiliki sudut pandang yang berbeda, dan itu hal yang biasa, tidak perlu diribut-ributkan apalagi sampai dibentur-benturkan dengan kepentingan-kepentingan tertentu, gak etis lah guyss
Media kali ini
diberi tugas mengkritik (untuk yang kotra) dan memperkuat argumentasi (untuk
yang pro) rektor UIN Yogyakarta, dengan dikeluarkannya surat pelarangan
mahasiswa bercadar, dan ini menarik sepertinya kalau kita bahas. Retor UIN itu malarang adakah alasannya ? jelas ada, islamkah dia ? jelas islam , liberalkah
dia ? sedikit iya, sebab saya pernah ketemu langsung dengan beliau di jogja
dulu dan berbincang-bincang dengan beliau, tapi beliau liberal dalam hal
pendidikan tidak dalam hal teologis, bisa membedakan kan ? bisalah, masak anak
jaman now gak bisa, wkwkwwk
Rektor UIN suka (sunan kalijaga) itu itu mengatakan bahwa mahasiswa yang bercadar patut dicurigai menganut islam yang bertentangan dengan Pancasila, Undang-undang dasar 1945, dan islam moderat di Indonesia” katanya pula, “ pembinaan” ini dilakukan dalam menyelamatkan mereka dari ideologi yang tidak dipahami. Dari argumentasi ini banyak sekali yang memberontak, termasuk Dosen Sosiologi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Najib Azca, mangatakan ada yang keliru dari argument di balik penerbitan aturan ini, mengaitkan paham radikalisme, ekstrimisme, dan islam yang anti Pancasila dengan penggunaan cadar adalah keliru. “ Tidak ada kaitannya dengan radikalisme. Lebih tepat kalau itu adalah konservatisme, yaitu cara hidup yang menafsirkan agama secara konservatif, skripuralis.
Di sisi lain
juga banyak yang pro dengan pelarangan ini termasuk ketua anshor. Gus yaqut walaupun
secara tidak langsung beliau menyatakan sepakat, apa yang dikatakan beliau
intinya “kalau gak suka dengan aturan seperti itu cari kampus lain”. Menarik
kan ? masih banyak yang pro dengan kebijakan itu.
Saya melihat
semua ini, lucu dan menggemaskan. Saya tidak mau mempermasalahkan cadarnya
dalam lensa dan konteks agama, kalau itu jelas ulamak berbeda pendapat diantara
madzhab yang empat, imam Syafii, imam Malik, imam Hanbali, dan imam Hanafi, jangankan
cadar berkrudung saja masih terjadi khilafiah, lihat saja Najwa Shihab padahal
dia putri dari seorang ahli tafsir lho ya……dan saya sudah tau betul apa alasan
abi Quaraisy Shihab tidak memaksa anaknya berhijab, wes a…..bisa jauh
pembahasan ini nanti
Yang menjadi
hemat saya adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh orang tertinggi, memiliki
wewenang dan hak otoritas di kampus itu, di kampus manapun rektor memiliki
kebijakan penuh dalam mengeluarkan aturan, walaupun dalam aturan cadar ini
diannggap menyimpang dari yang semestinya (menurut yang yang kontra). Tapi hal
ini harus di tinjau secara objektif, kasus pemakaian cadar yang pernah saya
alami dulu ketika di jogja, saya pernah mau ngajari anak-anak untuk ngaji
private di rumahnya, kebetulan sang ibu bercadar entah saya gak pernah nanyak ibu
itu radikal apa gak, ,,,,,, kayak gak
ada kerjain lain nanyak itu, bauang-buang waktu aja…. Setelah selang beberapa
hari saya diminta balik lagi kerumahnya karena di rasa cocok mungkin pengajaran
saya. Wkwkwk ( mungkin lho ya).
Nah di hari kedua itu saya di suguhkan makanan
entah saya lupa makanan apa yang jelas kelihatannya enak, si ibu katanya bilang
seperti ini “ monggo mas di dahar makanan ini”. Saya hanya manggut-manggut
bukan berarti saya paham lho ya…. karena saya waktu masih sibuk mengajari
anaknya, saya manggut saja, karena saya gak paham apa yang dikatakan ibu itu,
saya gak apa-apain makanan itu apalagi sampai dimakan, dan saya biarin sampai
saya pulang soalnya suaranya lirih banget dan gak jelas kedengarannya, yang
jelas karena terhalang cadar itu menurut pengamatan saya sih gitu entah menurut
ibu itu sudah suara keras apa gak, saya gak tau guysss… sebab ibu-ibu lain yang gak
pakek cadar suaranya banter semua kok, saya kayak jadi fans-nya ibu-ibu, nggak
lho ya…. ini hanya sebatas syi’ar, azzzzzik.
foto; saya bersama mahasiswi UIN malang asal kalimantan |
Saya melihat
deskripsi diatas bahwa cadar merupakan faktor kegagalan berinteraksi secara
maksimal sehingga berpotensi kesalahpahaman dan miss communication,
menurut saya, anda tidak perlu setuju dengan pendapat saya, hehehe. Karena saya
melihat dari pengalaman saya pribadi, sebab pengalaman anda kadang tidak
sama dengan pengalaman saya sehinnga
anda tidak harus setuju dengan pendapat saya. Lagian kenapa sih kok di
tutup-tutupi, bukankah muka/wajah ini identitas yang alami dari tuhan ? iya
tidak ? jujur lho ya…? Apalagi di sebuah perguruan tinggi jelas dosen akan
sulit mengidentifikasi mahasiswa seperti itu, apalagi ketika tes wawancara
misalkan, masak iya kita langsung percaya dengan orang seperti itu. siapa tau
dia bapaknya atau ibunya, kan bisa gak karuan proses adminisrtasinya.
Di kampus saya
STAIMA Ma’had Aly Al-Hikam Malang, itu ada yang pakai cadar kurang lebih saya
melihat 3 atau 2 orang maklum kampus kecil dari sisi kuantitas. Dan ini tidak
dilarang oleh pihak kampus STAIMA. Sedangkan di UIN jogja di larang, keduanya
memiliki aturan-aturan masing, gak perlu di permasahkan. Yang perlu di tanyakan
kita mau ikut aturan apa gak ? saya malah setuju dengan Gus yaqut di atas kalau
gak mau ikut aturan mendingan cari kampus lain, gitu aja kok repot
Nih, saya kasih
contoh lagi di kampus, saya pernah suatu hari ke perpustakaan untuk menanyakan
letak buku dan mau meminjam buku kebetulan yang jaga perpus waktu itu perempuan,
santriwati lah gampangnya, tapi gak bercadar. Setelah saya nanyak tentang buku
itu, dia menjawab dengan suara yang lirih sekali sampai saya nanyak 3 kali klo
gak salah, apa iya, kuping saya yang gak normal, perasaan gak sih. Apa memang
si dia suaranya yang gak bisa keras, saya gak tau, yang jelas mayoritas suara
perempuan memang lirih, tidak semuanya lho ya… berangkat dari pengalaman ini,
saya membayangkan bagaimana jadinya jika si dia pakai cadar dan gak buka
cadarnya tambah hilang suaranya apa iya saya harus pakai handset untuk
mendengar perempuan bercada, apa perlu pakek speaker kayak di locket stasiun
itu, hidup kok susah banget sih.
Kalau bicara diskriminasi,
intoleran, saya rasa tidak ada diskriminasi dan perlakuan intoleran sebab pihak
kampus tentu sudah memiliki pertimbangan yang sangat matang dari sisi konteks
sosial, jangan dibenturkan dengan HAM nanti gak selesai-selesai tulisan ini
hahahaa…. yang namanya HAM semua memiliki, apalagi di sebuah instansi sekolah.
Oke,,,,
Cadar ini memang
ngerri…. Kenapa ? Lah iya…. Dulu ketika saya masih sekolah MI lihat orang pakai
helm saja takut dan ngumpet padahal helm itu sebagai proteksi diri, begitupun
lihat orang cadaran, katanya sih itu cara paling efektif untuk mencegah
syahwat, apa iya ? gak tau saya, yang jelas apapun bentuk tubuh perempuan itu,
laki-laki tetap akan memandang dengan penuh syahwat dan surga dunia (dalam
tanda kutip), juju raja bro, namanya juga manusia normal guysss. Cuma
gini…. Kalau perempuan cadar itu bisa lihat lawan jenis kenapa kita tidak boleh
lihat dia, kan gak adil namanya. Wkwkwkwk (guyonannya). Normalnya
perempuan itu punya dua mata, dua hidung, satu mulut, jika ditutup ? ya gak
usah saya jawab dan bahas lebih detail lah. Pemakaian cadar ini menurut saya
hanya dilakukan oleh sebagian orang saja, di desa saya perasaan tidak ada yang
pakai cadar, masak iya ? iya lah. Sebab kalau terpaksa pakai cadar jelas dia
akan susah bekerja, menanam padi di tengah sawah (red madura; Mancek) mencabut
singkong dari dalam tanah, mengupas kulit
kelapa. Di desaku itu sudah memperjuangkan feminisme lho ya……..hahahaha
Saya malah
lebih bangga dan salut dengan perempuan yang tidak bercadar ataupun bercadar
atas kesadarannya,yang bercadar dengan kesadarannya lebih-lebih kesadaran dalam
beragama otomatis dia juga akan membatasi interaksi sosialnya sebab suaranya
itu juga haram menurut sebagian ulamak ( mungkin pemikiran konservatif).
Begitupan dengan perempuan yang tidak bercadar, dia sadar bahwa interaksi sosial
itu lebih penting, apalagi jadi wanita karir. Agama saja tidak pernah melarangnya
bahkan menganjurkan untuk berinteraksi sosial demi mewujudkan kehidupan yang
harmonis.