Penulis: Moh Syahri
Atorcator.Com - Jutaan manusia dihadapkan dengan perubahan yang sangat besar, bisa sebagai peluang dan bisa juga sebagai ancaman, masing-masing diantara meraka memiliki sudut pandang yang berbeda. Lima belas abad (15) yang lalu fenoenemena medsos ini sudah pernah disinggung oleh Rasulullah SAW, medsos yang sudah lebih dari 2 dekade menyerang peradaban dan ini tentu sangat berpengaruh terhadap gaya hidup, nilai, dan kebiasaan yang mendasar dari seseorang. Tapi jangan bayangkan, apa iya Rasulullah bermedsos ? jelas tidak, tapi Rasulullah menjelaskan dengan bahasa klasik. Di jelaskan dalam hadis Ibnu Mas’od Rasulullah SAW bersabda:
Atorcator.Com - Jutaan manusia dihadapkan dengan perubahan yang sangat besar, bisa sebagai peluang dan bisa juga sebagai ancaman, masing-masing diantara meraka memiliki sudut pandang yang berbeda. Lima belas abad (15) yang lalu fenoenemena medsos ini sudah pernah disinggung oleh Rasulullah SAW, medsos yang sudah lebih dari 2 dekade menyerang peradaban dan ini tentu sangat berpengaruh terhadap gaya hidup, nilai, dan kebiasaan yang mendasar dari seseorang. Tapi jangan bayangkan, apa iya Rasulullah bermedsos ? jelas tidak, tapi Rasulullah menjelaskan dengan bahasa klasik. Di jelaskan dalam hadis Ibnu Mas’od Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya menjelang datangnya hari kiamat bermuncullah pena”
Hadis ini sangat relevan dengan situasi saat ini, Rasulullah SAW sudah
pasti mengetahui akan pernak-pernik kehidupan kita ini, sehinnga beliau
menghimbau dan mengingatkan secara implisit lewat hadis itu. Namun kadang kita
tidak pernah merasa bahwa itu himbauan serta peringatan karena sudah terhanyut
dengan kenikamatan medsos
Dengan munculnya media sosial, seperti facebook, Instagram, twiter,
WhatsApp, telegram yang seharusnya memberikan kemajuan, malah justru berpotensi
melahirkan penghujat, penista, pembangkang dan pemfitnah. Maraknya pemberitaan
yang juga seharusnya memberikan wawasan dan pengetahuan yang bisa membangun
peradaban sosial namun justru dipelintirkan dengan se-enaknya Karena ada
kepentingan-kepentingan tertentu., dan jelas karena ketidakmampuan dalam
memahami etika bermedsos, berkomunikasi dan berpendapat ala Rasulullah SAW.
Umpatan, celaan, hinaan dan nistaan yang diungkapkan di media sosial
itu sesungguhnya adalah representasi dari ketidakpuasan dalam menerima keputusan,
wajar-wajar saja, sebab keadilan itu memang tidak akan pernah memuaskan salah
satu pihak, tetapi dalam hal ini sepertinya perlu adanya kode etik tertentu.
Menjadi problem kita bersama dalam bermedsos banyak sekali ditemukan sebuah
hujatan celaan dan fitnah-fitnah terus dialirkan tanpa henti apalagi disaat
menjelang pilkada.
Kebebasan di alam demokrasi ini, selain membawa kita masyarakat
Indonesia menuju kebebasan berpikir, bukan berarti tanpa ancaman. Memahami
kebebasan ini tidak lepas dari berpikir logis, ilmiah, dengan bahasa yang
proporsional, kontruktif dan solutif, sehingga kesannya benar-benar membangun
tembok demokrasi yang kokoh dan kuat di era milinial ini.
Medsos bukan lagi barang langka, wadah segala macam informasi, curhat,
argumentasi, kritik, saran, usulan dan lain-lain. Sudah menjadi lahan
pergulatan segala macam ide dan gagasan bahkan jadi ajang kompetisi perang
opini dan argumentasi, sehingga ini lah yang cenderung menimbulkan perseteruan
dan permusuhan di dunia maya sampai dibawa kedunia nyata, ironis sekali.
Semua apa yang ditulis di medsos tergantung isi otak, segala isi otak
dikeluarkan demi menyerang pihak yang berlawanan, sikap tidak etispun sering
menjadi bahan pendukung atas pendapatnya itu. Pendapat seperti ini banyak
medapatkan respon positif padahal kontennya negative. Karena hal itu dianggap
cocok dengan pemikirannyaa dan dalam kepentingan dan visi yang sama, dengan
mudah di share ke segala penjuru dunia medsos, dan seolah-olah sudah menjadi
pahlawan karena keberaniannya dalam memberikan informasi dan wawasan.
Tidak ada
yang salah dalam berpendapat, semua boleh berpendapat asalkan pendapat itu
disampaikan dengan layak dan etis.
Rasulullah SAW adalah panutan kita bersama selaku umatnya, tentu kita
juga wajib mengikuti rekam jejak beliau, dari cara beliau berpendapat,
memberikan saran, kritik. Rasulullah adalah tempat tumpuan dalam mempraktekkan
sikap dan tingkah laku sehari-sehari karena beliau utusan Allah SWT yang
maksum, beliau di utus kedunia tidak hanya urusan aqidah semata tetapi urusan
akhlaq juga, sebagaimana disabdakan beliau dalam hadis secara jelas
انما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
Artinya ;” Saya di utus kedunia
semata-mata untuk mempebaiki akhlaq”
Nabi Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah memberikan solusi,
bagaimana seharusnya berpendapat, berekspresi menyampaikan argumen, kritik,
maupun saran terhadap orang lain. Tentu masih banyak dalam beberapa riwayat
lain yang memberikan contoh akhlak rasulullah dalam berpendapat..
Pada suatu hari rasulullah melakukakan touring bersama para sahabat di
Madinah. Di tengah perjalanan, nabi bertemu dengan kaum yang sedang mengawinkan
pohon kurma. Ketika melihat hal itu, nabi membeikan tanggapan kepada para
penduduk tersebut. Saat memberikan tanggapan, Nabi tidak menggunakan kata-kata yang
kentara dan pasti. Nabi menyampaikan.
“Sekiranya mereka tidak melakukan hal
itu, pohon kurma itu akan tumbuh baik.”.
Karena yang mengatakan itu adalah seorang nabi, maka sontak masyarakat
Madinah tunduk dan berhenti dengan kebiasan hal seperti itu. Selang beberapa
waktu, ternyata pohon kurma yang biasanya tumbuh bagus tak sesuai dengan
ekspektasi dan kebiasaan. Hingga akhirnya nabi mengetahui bahwa usulannya
kepada masyarakat Madinah tersebut malah membuat pohon kurma rusak dan tak
tumbuh seperti biasanya.
Dengan segala kerendahan hati, Nabi pun berkata kepada para masyarakat
di Madinah tersebut.
انتم اعلم بأمر دنياكم
“kalian lebih tau urusan duniamu”
Dari kisah ini kita bisa mengambil
pelajaran penting:
Pertama; Memberikan saran, kritik dimanapun berada lebih-lebih di era
milenial ini, termasuk medsos harus dengan cara yang baik dan sopan. Baik itu
dari rakyat ke pemerintah, atau dari pemerintah ke rakyat, dari manajer ke
bawahannya, atau rakyat ke rakyat, semua memiliki etika yang sama seperti halnya
etika Rasulullah. Tidak ada sekat pemisah dan pembeda dalam urusan etika
berpendapat semuanya sama,
Kedua;
Berpendapatlah sesuai kapasitasnya, jika tidak lebih baik diam. Rasulullah Saw
bersabda; “
فليقل خيرا اوليصمت
“berkatalah dengan baik atau diam”.
Baik artinya tidak menyakiti perasaan orang lain. Berpendapat yang
tidak sesuai dengan kapasitasnya jelas akan merugikan banyak pihak, berani
menjustifikasi pendapat orang lain karena dianggap salah dan beda pandangan,
padahal kebenaran tidak harus ditempuh dengan cara yang sama walupun pada
hakikatnya kebenaran itu hanya satu, akan tetapi makna kebenaran itu banyak dan
relatif. Saya ingin mengutip pendapat dosen kewarganegaraan saya “Kita ini
sepakat untuk tidak sepakat” betul, sebab yang gak sepakat belum tentu salah
begitu juga yang sepakat belum tentu benar, jadi inilah sebabnya kenapa saya
mengatakan kebenaran itu ralatif (dalam tanda kutip).
Realitanya, sekarang ini banyak orang
yang khianat dengan profesi dan keahliannya, tidak tau politik ikut campur
urusan politik, tidak tau agama ikut campur urusan agama, yang masih minim ilmu
agamanya berani ikut campur dengan orang yang sudah paham esensi agama. Jika di
paksakan seperti ini jelas akan berpotensi saling caci-mencaci,
fitnah-memfitnah, olok-mengolok, laknat-melaknat, bahkan saling
kafir-mengkafirkan yang akhirnya terjadi permusushan dan perseteruan.
Rasullulah mengajarkan kita untuk mengahargai pendapat dan karya-karya orang
lain, bukan di suruh mencela dan mengolok-olok, seperti dauhnya Imam Al-ghazali
dalam Kitab Bidayatul Hidayah “
- فقد كان النبي صلى الله عليه وسلم لا يذم الطعام الردىء قط بل كان يشتهى شيئا أكله والا تركه
“
Sungguh Nabi Muhammad tidak pernah mencaci makanan yang buruk atau gak enak
sama sekali, tetapi beliau makan ketika bernafsu dan jika tidak beliau
tinggalkan”
Ini hanya sekelas makanan yang jelas
martabatnya dibawah manusia yang diciptakan dengan kelebihan akal. Lantas
betapa berharganya manusia di bumi ini, dengan beraninya saling mencaci,
memfitnah, mengkafirkan hanya urusan sudut pandang yang berbeda, disamping
makanan punya harga diri tersendiri, begitu juga yang memproduksi makanan itu,
bagaimana perasaannya jika kita yang membuat makanan tiba-tiba di cela oleh
orang lain, gak enak, dan lain-lain. Nah dari paparan di atas, imam Ghazali
mengajarkan kita untuk mengahargai orang lain sebagaimana halnya Rasulullah SAW.
Ketiga; Mengklarifikasi
atau tabayun terhadap apa saja yang kita dapatkan, baik itu informasi,
ataupun pemberitaan. Tujuannya untuk mengetahui secara pasti motif kontennya
itu, hoax, asli ataukah valid ? kadang
kita terkecoh dan kecolongan dengan hal semacam ini, akhirnya menimbulkan
keresahan di masyarakat.
Keempat; Berani minta maaf atas kesalahan yang di lakukan. Meminta maaf
adalah usaha untuk menyelesaikan masalah dengan sesama manusia, yang hukumnya
wajib tidak boleh ditawar, tidak cukup minta maaf kepada Allah kalau hal itu
ada urusannya dengan hak-hak manusia. Sadarlah, fenomena sekarang ini orang
yang jelas-jelas salah masih saja cari pembenaran dan pembelaan agar supaya
terlihat benar. Ini mengindikasikan bahwa egoisme masih bersarang di tubuh
seseorang.
Sering saya alami, dalam sebauah diskusi
ilmiah yang mana seharusnya diskusi berjalan baik dan lancar dengan
aturan-aturan tertentu justru di terobos dan dilanggar dengan cara tidak sopan,
karena saking semangatnya dalam mencari kemenangan dalam berargumentasi, bukan
mencari kebenaran dengan cara yang benar. Semangat dalam menyalurkan aspirasi
adalah cermin dari demokrasi kita yang perlu kita aparesiasi, apalagi dengan
adanya media sosial yang mudah sekali kita sentuh dengan hanya mengandalkan
jempol, semuanya tersampaikan dengan sistematis dan lancar, tetapi terkadang di
medsos kita masih saja menemukan aspirasi yang diluar batasan demokrasi kita.
Dengan lantang menyuarakan keadilan yang tidak berpihak kepada dirinya sampai
berani mengorbankan esensi keagamaanya, padahal demokrasi kita sudah di
lindungi oleh hukum-hukum, semua ada prosedur dan aturan-aturannya.
Bukan soal gagah dan hebat dalam
berpendapat dan beraspirasi, tetapi pengaruh dari pendapat dan aspirasi kita
yang sangat di prioritaskan. Dan tentunya dalam hal pengaruh atau tidaknya itu
tergantung hati yang menggerakkan, ikhlas dalam berpendapat dan menyuarakan
kebenaran atau hanya ada kepentingan tertentu. Semoga kita selalu dalam
lindungan Allah SWT. Amien
Wallahu A’lam bisshowab