Mencintai Pesantren Bukan Berarti Menyepelekan Kampus - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Selasa, Maret 27, 2018

Mencintai Pesantren Bukan Berarti Menyepelekan Kampus

Santri mahasiswa STAIMA
Terkadang kita terlalu pintar berdalih bahwa pesantren lebih penting untuk dicintai daripada kampus sebab mereka beranggapan pesantren lah yang hanya bisa memberikan keberkahan. No problem its oke, pesantren memang bisa dibilang keramat karena melihat sejarah. Tapi bukan berarti harus menyepelekan kampus. Dalih seperti ini seakan-akan memberikan interpretasi yang kurang baik dalam membangun kemajuan pendidikan atau bisa dibilang dalih yang absurd.

Spekulasi seperti ini tentu membuat mereka tidak lagi peduli dengan kegiatan kampus. Jangankan untuk mengikuti kegiatan kampus, mengerjakan tugas saja mereka pasti males dan banyak alasan. Karena dasar pemikirannya sudah seperti itu. Dan yang paling berbahaya jika pemikiran ini di publish.

Tidak adanya keseimbangan dalam hal apapun justru berpotensi pada kehancuran. Keseimbangan merupakan hal paling mendasar dalam melatih jiwa kepemimpinan. Dengan tidak adanya keseimbangan maka akan muncul ketidakadilan.

Keberkahan itu datang dari mana saja, bisa dari orang yang bisa dilihat oleh mata atau yang tidak bisa dilihat oleh mata alias ghoib bahkan bisa dari makhluk selain manusia. Keberkahan jangan diartikan secara harfiah saja, namun harus diartikan secara konkret dan aplikatif. Ada orang memelihara hewan, setiap hari dikasih makan dan dimandiin. Apakah hewan tersebut tidak bisa mendatangkan keberkahan, sangat bisa dan bukti sejarahnya ada.

Pesantren dan kampus adalah merupakan lembaga yang sama-sama memberikan keberkahan. Yang membedakan hanyalah fungsinya saja. Pesantren membentuk karakter serta moralitas santri dari sisi pendekatan spiritual. Sedangkan kampus membangun attitude ilmiah dan soft skill melalui pendekatan intelektual. Keduanya memiliki tugas penting dalam mencetak kader penerus bangsa kita. Ekspektasi saya, pesantren dan kampus harus terus bergandengan tangan sampai dunia ini benar-benar musnah.

Belakangan ini muncul sebagian dari kita mulai bersikap tidak adil terhadap dirinya sendiri. Satu sisi mereka ingin jadi orang pinter dan sukses, tapi disisi lain mereka acuh tak acuh terhadap program yang bisa memberikan peluang untuk pinter dan sukses. Keadilan harus dibangun mulai dari cara berpikir kita.

Jangan berharap kamu akan sukses jika tidak berproses. Sebab sukses merupakan akumulasi dari sebuah proses. Seharusnya kita bersyukur kepada tuhan, tidak banyak diantara kita yang memiliki kesempatan untuk belajar ilmu agama sekaligus ilmu umum.

Ilmu umum yang kita pelajari di kampus merupakan alat bagaimana skill dan cara menyampaikan ilmu agama dengan baik. Banyak kita temukan orang yang alim agamanya tapi dia tidak bisa memberikan pemahaman agamanya terhadap orang lain dengan baik bahkan sulit untuk dipahami. Dan orang seperti ini siap-siap tereliminasi dari masyarakatnya.

Santri mahasiswa STAIMA
Dan yang tak kalah penting adalah kedua lembaga ini memberikan kontribusi besar terhadap kemampuan bersosialisasi kita. Jika kita hanya punya ilmu agama tapi tidak bisa memimpin kegiatan ritual keagamaan siap-siap untuk jadi tukang jadi tukang ngidupin kemenyan (kata orang Madura). Sadar atau tidak kita sudah saatnya memajukan pendidikan dengan cara pandang yang futuristik dengan tetap menjaga nilai-nilai budaya dan agama. Orientasi kita selaku santri mahasiswa seharusnya sebagai sarjana memiliki kemampuan dalam menjalani hidup bahwa di malam hari selalu mendekatkan diri pada Allah dan di siang harinya berani tampil tangguh memimpin masyarakat di bidang ekonomi, politik, pendidikan, sosial dan lain-lain.

Manakala diamati secara seksama, orang-orang yang sering menyepelekan dan membeda-bedakan sesuatu yang seharusnya tidak perlu dibeda-bedakan adalah karena kurangnya pengetahuan terhadap pentingnya sesuatu itu. Kecenderungan berpikir bahwa kita harus berjalan melalui satu arah dulu justru akan membawa pada kejumudan.

Dan orang-orang seperti itu biasanya takut menanggung beban dan resiko. Padahal cara yang mereka lakukan justru juga beresiko besar yaitu tertinggalnya dari yang lain dan tidak bisa maju-maju untuk merasakan indahnya peradaban dunia. Bahkan tidak bergerak pun ia akan beresiko mati. Kenapa harus takut beresiko.


Santri Mahasiswa Al-hikam Malang