Resonansi Politik di Indonesia - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Senin, Maret 19, 2018

Resonansi Politik di Indonesia


foto: mojok.co

Atorcator.Com - Secara kualitas dan kapasitas saya pribadi sebenarnya tidak kompeten dalam bidang politik apalagi politik praktis. Namun seiring dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi, sudah saatnya santri melakukan reposisi serta mereaktualisasikan diri. Dan berperan aktif dalam berbagai segi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sampai kapan kita harus bertahan dengan kepolosan dan kemurnian nurani, sementara nilai-nilai dan prilaku yang berseberangan dengan nilai agama dan keperibadian bangsa terus digembor-gemborkan? Sudah saatnya bangkit agar kita mampu bergerak dari gubuk menuju peradaban.

Tahun ini adalah tahun politik, pentasnya kaum politisi, pergelaran kompetisi dalam adu gagasan visi dan misi selama lima tahun kedepan, demi tegaknya demokrasi. Dalam demokrasi tidak ada yang semeriah dan sefenomenal pemilu baik itu pilkada maupun pilpres. Dan ini menunjukkan bahwa negara demokrasi menjunjung tegaknya politik yang cantik. Politik yang kompatibel akan memperkuat demokrasi. Sehingga apapun bentuknya jika hal itu mencenderai demokrasi maka otomatis akan di tolak karena sudah dianggap bertentangan dengan Pancasila, seperti khilafah dan lain-lain.

Atmosfer politik di Indonesia sejak zaman orde baru sering di hantui berbagai macam masalah, mulai dari kemelutnya partai politik hingga proses pencalonan dan proses kampanyenya. Dan ini tidak menutup kemungkinan tahun ini akan terjadi. Semoga tidak.

Demokrasi di tingkat apapun yang namanya pilkada pasti membutuhkan biaya (ongkos kendaraan politik) mulai dari biaya paling kecil sampai paling besar, biaya mahar politik, biaya kampanye baik di media elektronik maupun di media cetak, sampai biaya saksi tiap daerah. Dan ini terbukti adanya kasus la nyalla matalitti yang merebak ke permukaan terkait mahar politik. Walaupun hal ini, sempat menuai pro kontra, namun tidak bisa kita pungkiri bahwa politik itu memang mahal. Maka dengan demikian, tidak salah jika ketua umum partai gerindra, prabowo subianto pernah berorasi bahwa” siapapun yang mau maju bersama saya dalam kontestasi pilkada maka pertama kali yang saya tanyakan adalah “kamu punya uang berapa? Bukan kamu sudah pintar apa gak“ inti orasinya seperti itu.

Di kesempatan lain, sebelum penetapan calon kandidat gubernur jawa timur, azwar anas tiba-tiba mengembalikan mandat sebagai penugasan calon wakil gubernur disebabkan berbagai serangan yang tidak terhormat kepada dirinya. Ini merupakan salah satu indikasi bahwa politik kita masih belum berjalan di rel yang benar. Kampanye hitam marak sekali terjadi, isu-isu yang bernuansa agama terus di dengungkan, isu primodialisme dan sara terus menjadi alat kemenangan.

Kampanye politik saat ini sudah di mulai. Media promosi baliho, kupon kemenangan, dan stiker sampai senyuman manja yang tiba-tiba mempesona dari pasangan calon sudah mulai di tunjukkan dan disebarkan ke seluruh permukaan. Baik itu melalui media elektronik maupun media cetak, sampai rela menunggangi berbagai macam acara demi menarik simpati banyak orang, blusukan dan permohonan restu, dukungan dan doa kepada ulama dan kiai mulai diperagakan. Praktik kampanye tentu memiliki cara dan strategi masing-masing dari pasangan calon. Sudah biasa dimana-dimana calon pemimpin dalam proses kampanyenya akan memberikan kesan dan pesan yang terbaik, mulai dari keloyalan untuk di ajak selfi, foto bareng dan lain-lain. Semoga ini akan berlanjut ketika ia benar-benar menjadi pemimpin.

Kita sudah melihat dengan terang nyata bahwa polarisasi politik akan terjadi di tahun ini. Semenjak ditayangkannya acara Mata Najwa beberapa hari yang lalu dengan tema “gelanggang tinju jokowi” saya pribadi mengamati bahwa pihak oposisi sudah mulai gencar mengkritik pemerintah mengenai program kerjanya dan target pencapaianya. Dengan demikian, wajah pemilukada yang kian mendekat ini akan sangat berpengaruh terhadap pilpres tahun 2019, maka bisa dipastikan suksesnya pilkada tahun ini akan berpotensi mensukseskan pilpres tahun mendatang dengan cara melakukan beberapa konfigurasi konsolidasi dan koalisi dari beberapa partai politik praktis. Walaupun sampai saat ini deklarasi perlawanan terhadap petahana belum dimunculkan secara nyata. Munculnya sederet partai baru juga akan memberikan udara segar dalam pesta demokrasi dan peta politik kebangsaan.

Ada anekdot tentang Pemilu Kepala Daerah yang cukup rasional dan perlu menjadi perhatian masyarakat sebagai pemegang hak suara. Anekdot yang beredar di sosial media cukup menarik, judulnya Harga Diri dan Suara. “Jika anda bersedia dibayar Rp. 100.000,- untuk memilih calon Gubernur dan Wakilnya, maka ketahuilah: Rp. 100.000,- : 5 tahun = Rp. Rp. 20.000,-. 1 tahun (Rp. 20.000,-) : 12 bulan = Rp. 1.666.- dan Rp. 1.666,- : 30 hari = Rp. 55.5,-. Jadi harga diri dan harga suara anda = Rp. 55.5/ hari. Lebih murah dari harga sebuah permen karet. Jangan berharap negeri ini bebas korupsi kalau suara anda masih bisa dibeli”.

Di tahun politik ini yang tinggal beberapa bulan lagi, sebanyak 117 daerah yang akan menyelenggarakan pemilukada, tentu masyarakat berharap akan memiliki pemimpin yang baik, berkualitas. Dan semuanya ada di tangan masyarakat itu sendiri. Lihatlah calon pemimpin itu dari sisi moralitasnya bukan dari sisi popularitasnya. Hindari cara golput, gunakan hak pilih sesuai dengan hati nurani, dengan tidak mudah dipengaruhi suku, agama, budaya, dan etnis hindari sikap apatis, sebab pilihan itulah nanti yang akan menetukan kesejahteraan masyarkat