Click |
Sikap fanatik sering kali menjamur dalmd diri kita. Ilmu dijadikan instrumen untuk membuat apa saja yang sekiranya cocok dan nyaman tanpa berpikir akibat buruk bagi diri sendiri dan orang lain. Kita tidak sadar, bahwa banyak orang punya ilmu tapi dia tidak bisa menolong dirinya ketika dalam keadaan terpuruk. Bahkan tidak sedikit orang punya ilmu tapi justru tidak bisa membawa dirinya lebih baik dan bijak. Sebenarnya ilmu ini buat apa?
Sebenarnya tidak bermasalah dengan ilmu itu sendiri, yang menjadi masalah adalah pengguna ilmu tersebut. Berapa banyak tokoh politik yang dijerat kasus korupsi. Apakah ia tidak berilmu? Jelas ia berilmu dan berpendidikan tinggi. Namun apa yang menjadikan mereka itu masih terus berakhir dengan cara tidak terhormat seperti korupsi ini. Saya pribadi belum bisa mengindentifikasinya, yang jelas ini faktor keilmuan yang tidak disertai kesadaran dalam beragama. Contoh saja, Kiai setnov misalkan yang terjerat kasus korupsi E-KTP, beliau ini dari pesantren Golkar. Track recordnya luar biasa.
Banyak diantara kita, para ilmuwan, para intelektual berdalih karena ilmu diperoleh dengan cara obyektif, rasional, terbuka dan didasarkan pada hasil observasi dan riset. Pandangan yang bukan diperoleh dengan cara itu dianggap sepele dan karena itu harus ditolak. Benarkah pandangan itu?
Seorang yang memiliki hikmah harus yakin sepenuhnya tentang pengetahuan dan tindakan yang diambilnya. Sehingga dia akan tampil dengan penuh percaya diri, tidak ragu-ragu, atau kira-kira, dan tidak pula melakukan sesuatu dengan coba-coba. (M Quraish Shihab)
Ada nasehat yg sungguh baik dan kontekstual (bersifat kekinian) tentang menjadi arif dan menjadi bijaksana, dari ulama besar Nahdlatul Ulama dan pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, KH Ali Maksum : "Kearifan adalah timbul dari kelembutan pemikiran dalam mencerna dan menghayati pengetahuan serta pengalaman. Sedang kebijakan itu muncul dari keluhuran budi dalam menentukan sikap yang didasari kearifan tersebut".
Jadi jelas, kebijakan seseorang bukan terletak pada ilmu semata, tapi pada hikmah yang diberikan tuhan kepadanya. Kebijakan itu muncul dari sebuah pengalaman, bukan terletak pada pengajaran, bukan terletak pada bagusnya rangkaian kata-kata. Kemampuan menganalisis peristiwa dengan pola berpikir yang rasional dan nampak pengaruhnya.
Ada ceritera menarik, seorang raja yang kebetulan matanya yang satu kurang sempurna. Sebagai seorang raja ia ingin dirinya dilukis, untuk dipasang lukisan itu di berbagai tempat yang dianggap penting. Maka, dipanggilah pelukis untuk melukisnya. Setelah selesai lukisan itu, diserahkanlah kepada sang raja. Tanpa diduga raja sangat marah melihat dirinya dilukis secara tepat, yakni matanya dikelihatkan tidak sempurna. Pelukis itu dimarahi dan akhirnya dihukum.
Masih belum berhasil mendapatkan lukisan yang menyenangkan, dipanggilah pelukis lainnya. Pelukis kedua ini tahu kalau pelukis pertama, dengan cara obyektif, dihukum maka ia mencoba melukis raja dengan wajah sempurna, sekalipun matanya yang satu tidak sempurna, dilukis seolah-olah sempurna. Diserahkanlah lukisan itu, dan ternyata raja juga marah. Pelukis kedua ini dianggap menghinanya karena melukis yang tidak senyatanya. Pelukis kedua inipun akhirnya dipenjarakan.
Raja masih tetap berkeinginan dirinya dilukis secara tepat. Maka, dihadirkanlah pelukis ketiga. Pelukis ini tahu juga kalau keinginan raja sudah mengorbankan dua orang pelukis. Baik pelukis obyektif, yakni melukis apa adanya mapun pelukis subyektif, yakni pelukis yang mengubah gambar wajah yang tidak sempurna menjadi sesempurna mungkin, ternyata keduanya dianggap salah dan dihukum.
Pelukis ketiga tidak ingin menjadi kurban berikutnya. Dia tahu bahwa sang raja memiliki kegemaran menembak. Maka sebelum melukisnya, ia bawakan sebuah senapan yang paling modern, yang belum pernah disentuh oleh tangan raja itu. Ditunjukkanlah senapan itu kepada sang raja, dan dengan cara yang sopan, pelukis memohon agar sang raja berkenan mencoba menggunakan alat berburu yang menjadi hobinya.
Raja pun mau mencobanya, dan tentu siapapun yang mencoba menggunakan senapan, tidak terkecuali raja, pasti dalam mengintai sasaran, menggunakan mata satu. Di sinilah keberhasilan pelukis ketiga, ia melukis raja dalam posisi menembak. Raja menggunakan matanya yang satu, seolah-olah raja dalam keadaan sempurna. Ternyata pelukis ketiga ini berhasil. Raja sangat bahagia dengan hasil lukisannya itu. Maka Inilah contoh sederhana tentang kearifan. Tidak selamanya yang obyektif dan subyektif itu bisa menyenangkan orang. Kita harus benar-benar tau dan cerdas apa yang menjadi titik persoalan dalam setiap permasalahan. Karena implikasi kecerdasan dalam memahami situasi akan sangat berpengaruh pada tatanan kehidupan.