Menyoal Santri Ketika Mengaji Bab Munakahat - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Sabtu, April 07, 2018

Menyoal Santri Ketika Mengaji Bab Munakahat


foto: ahmad faiz karunia saat
mengaji kitab bab munakahat

Ketika santri hendak mengaji di pesantren, bab yang tidak pernah terlewati adalah Bab Munakahat (bab pernikahan). Bab ini sering menuai reaksi yang cukup unik dikalangan santri. Apalagi ditambah seorang kiai yang cukup fulgar dalam menerangkan bab ini. Kitab fikih seperti fathul qorib, kifayatul akhyar, fathul muin, dan lain-lain semua terdapat bab munakahat. Di pesantren manapun  kitab-kitab tersebut selalu menjadi ajaran fundamental dalam belajar ilmu agama.

Jika selama nyantri gak pernah ketemu dan ngaji bab munakahat, sepertinya sudah ada indikasi bakalan menjomblo lebih lama. Itu sih menurut saya,,,,,,,,,entah menurut anda. Santri yang ada di pesantren sudah saatnya sadar memang akan pentingnya bab munakahat. Sebagian santri mengatakan bahwa munakahat adalah bab yang sangat asyik ketika dibahas. Pada faktanya memang iya.

Sebelum saya mondok di salah satu pesantren yang saya tempati dulu, saya sudah belajar lebih dari bab munakahat, kitab yang lebih intim dalam perspektif keluarga dan rumah tangga, yaitu Uqudul lujaian. Dalam proses belajar sebenarnya tidak perlu memberikan sekat soal keilmuan. Namun dalam penyampaiannya diperlukan cara yang cocok dan tersampaikan secara moral dan beradab. Sehingga tidak menimbulkan persepsi bahwa materi itu hanya dilaksanakan sebagai kebutuhan biologis semata.

Semangat yang terus terpatri dihati santri dalam mengkaji ilmu bab munakahat, menunjukkan kepedulian dan kesadaran untuk menyempurnakan keimanan. Tak jarang saya temui dalam pesantren ketika sudah saatnya membahas bab pernikahan, santri begitu semangat dalam mendengarkan keterangan guru dan kiainya. Bab munakahat memiliki daya tarik tersendiri dikalangan santri daripada bab muamalat dan bab zakat yang sarat dengan matematis. Karena dalam bab pernikahan serasa sesuatu yang sangat gampang dan mudah dalam pengaplikasiannya.

Dikalangan santri, menikah bukan hanya sebatas menjalin hubungan dengan indikator sah dan resmi dengan adanya buku nikah yang ditanda tangani KUA, melainkan juga atas kesadaran akan pentingnya dua keluarga yang bisa dipastikan aka ada perbedaan baik dari sisi kultur dan karakter. Inilah kadang yang menjadi problem hidup santri dalam menjalani proses pernikahan sehingga ia tidak menikah dan tetap setia dengan kejombloannya.

Ada sebuah cerita unik dikalangan santri dulu, teman saya. Ia sudah bisa dibilang lanjut usia dan lambat dalam menikah karena diantara teman-temannya sudah memiliki anak semua. Taukah anda kira-kira apa yang menjadi penghambat dalam menikah? Apakah ia jelek rupa, bodoh, dan tidak berilmu? Tidak, semua sudah cukup dalam segi keilmuan, tampang yang rupawan, keturunan darah biru. Semua ini sudah cukup sebagai komplemeter dan investor dalam membangun rumah tangga. Tapi faktor mertua yang sama-sama menginginkan anak-anaknya harus bersamanya. Ini lah kenapa tugas memadukan kultur dan karakter mertua yang berbeda sangatlah penting. Sebab tidak jarang hal ini terjadi, bukan hanya kalangan santri semata tetapi kalangan non santri pun bisa jadi mengalami hal seperti ini.

Maka disamping harus mencari pasangan yang baik, juga harus mencari mertua yang baik. Hal penting ini, harus terus diperhatikan dalam membangun rumah tangga. Pastikan kedua orang tua dari kedua mempelai sama-sama setuju dan sepakat dengan keputusan yang diambil kedua mempelai. Santri yang hanya sebatas memahami pernikahan sebagai legitimasi perkara haram menjadi halal, harus terus dikembangkan melalui beberap disiplin keilmuan yang bisa mengatasi problem kekeluargaan dalam hubungan suami istri dan membangun rumah tangga yang sakinah, mawadah, warahmah.

Santri Mahasiswa Al-Hikam Malang