Pindah Jurusan Tak Semudah Pindah Ke Lain Hati - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

17 April 2018

Pindah Jurusan Tak Semudah Pindah Ke Lain Hati

Bingung.com

Menghadapi tahun baru pendidikan, seperti biasa calon mahasiswa baru (camaba) dituntut untuk memilih jurusan yang sesuai dengan passionnya dan diyakini bisa memberikan progresivitas yang baik untuk masa depannya. Bukan hanya soal peluang pekerjaan semata namun lebih dari itu untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki sehingga dapat memberikan kontribusi besar terhadap orang lain.

Saya merupakan salah satu korban mahasiswa baru tahun lalu 2017 yang dipindah jurusan (catat: bukan pindah tapi dipindah lho ya...) yang cukup trauma dan belum bisa move on dari kejadian ini. Saya dipindah bukan karena saya tidak mampu dalam jurusan itu, tapi karena tidak memenuhi kuota pendaftar, sehingga jurusan yang saya minati itu tidak bisa membuka kelas reguler. Rasanya tidak masuk akal, tapi ya selaku mahasiswa baru saya ikuti aja dulu prosesnya, walaupun memang ada sesuatu hal yang cukup mengganjal dari sistem yang diberlakukan ini. Pindah jurusan memang bukan perkara sederhana. Keputusan ini bisa jadi mengubah banyak hal dibaliknya.

Sebelum saya lebih dalam membahas kejadian ini, terlebih dahulu saya akan memberikan gambaran apa yang saya pilih dalam jurusan ini. Awalnya saya memilih jurusan PGMI (Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah) yang mana jurusan ini belum banyak diminati oleh para mahasiswa lain. Bahkan waktu itu masih bisa dibilang sedikit kampus yang mengakomodir jurusan itu.

Jurusan PGMI ini, selain memang minat saya disertai keyakinan yang kuat dan sudah dipikirkan masa depannya seperti apa, juga sudah mendapatkan restu langsung dari orang tua, guru dan kiai saya melalui istikharah. Untuk maju dan berjuang dalam jurusan ini, segala bentuk dukungan sudah terkompilasi semua, demi memantapkan hati untuk lebih semangat dan ikhlas dalam berjuang. Sudah tiga kampus saya tapaki, tapi hasilnya nihil dan belum bisa memberikan sentuhan dan respon bagus untuk saya. Entah itu karena apa saya kurang tau.

Dengan penuh rasa percaya diri dan yakin. Saya berusaha mencari jurusan itu sekaligus mencari peluang biasiswa yang sekiranya bisa meminimalisir pembiayaan pendidikan itu (maklum masyarakat menengah ke bawah). Yah akhirnya saya menemukan kampus yang komplit, jurusan PGMI ada, biasiswa pun ada. Tepatnya di kota Malang (tidak perlu lah saya sebutkan kampusnya). Bukankah di daerah saya gak ada jurusan itu. Wah....ada lah, tapi kenapa harus bela-belain ke malang bukankah itu menambah beban biaya.

Saya selaku santri yang masih tetap memegang teguh prinsip kesantrian, soal pendidikan, saya tidak akan henti-hentinya tetap melakukan koordinasi, meminta doa dan restu kepada para guru, kiai dan keluarga. Berdasarkan istikharah yang beliau ikhtiarkan. Ternyata saya lebih cocok di malang daripada di daerah saya itu sendiri, begitu juga mengenai jurusannya. Intinya alasan guru itu, di malang saya lebih bisa mengembangkan potensi-potensi saya yang masih terpendam. Wallahu a'lam bisshowab, guru, kiai dan keluarga tetap akan menjadi perioritas dalam segala urusan saya.

Sudah fix PGMI menjadi jurusan saya, setelah tes masuk gelombang pertama melalui jalur prestasi biasiswa full. Alhamdulilah, rasa syukur yang mendalam dan rasa gembira campur kaget melebur menjadi satu. Tak sedikit orang memberikan selamat atas keberhasilan saya ini. Termasuk keluarga, para kiai dan guru waktu itu. Namun begitulah hidup, kadang memang tak sesuai dengan ekspektasi. Tapi  harus kita terima dengan penuh lapang dada walaupun bekas kekecewaan tetap sulit dihapus.

Seperti yang sudah saya singgung di atas, bahwa saya harus pindah Jurusan. Menurut saya pindah jurusan tak semudah pindah ke lain hati. Jatuh cinta itu relatif, mungkin hari ini kita seperti dunia milik kita berdua. Namun di lain waktu, tidak menutup kemungkinan kita akan terlena dengan kenikmatan lain yang dirasa lebih cocok untuk pindah ke lain hati. Sebab jurusan bukan hanya soal rasa, tapi lebih ke masalah passion, pilihan yang sifatnya cenderung lebih memiliki jangka panjang dan keterlibatan mendalam dengan minat studi yang sejak awal dipilih.

Pindah jurusan sebenarnya memang bukan hal yang baru lagi, sudah lazim dimana-mana sering terjadi. Bahkan kata teman saya, hasilnya pun juga sudah bisa diprediksi, skripsi yang mereka garap seringkali kurang begitu bagus, (itu kata teman saya lho ya) Heheheh. Inilah kadang yang membuat saya delimatis.

Karena saya dipindah bukan pindah atas kemauan sendiri, dan saya belum percaya terhadap kejadian ini. Maka usaha untuk bertahan tetap saya perjuangkan waktu itu. Cobalah fikir-fikir gimana rasanya jika hal itu menimpa sahabat, pasti akan mengalami kegalauan. Ibarat ditinggal kekasih yang baik dan setia bersamanya tiba-tiba disuruh tinggalkan. Wahhhh........pasti galau dan sedih.

Perjuangan untuk tetap mempertahankan dijurusan itu, cukup banyak menguras energi. Ibarat memperjuangkan cinta seseorang. Dalam benak saya, pokoknya saya harus tetap di PGMI apapun caranya. Saya tidak pernah memikirkan perjuangan ini gagal, pokoknya harus berhasil. Salah satu cara yang sudah saya lakukan adalah dengan cara melobbying semua dosen yang dianggap memiliki pengaruh terhadap kampus. Namun hasilnya nihil, tak ada satu dosen pun yang bisa memberikan solusi terhadap persoalan ini, bahkan anehnya mereka semua saling lempar melempar tanpa ada kejelasan apapun. Akhirnya saya memberanikan diri untuk konsultasi masalah ini ke rektor kampus atau ketua, namun hasilnya tetap nihil. Malah saya ditambahi beban untuk ngambil dua jurusan dengan membayar salah satunya. Wawwwwwwwwww brakkkkkkkkkk.

Dari solusi yang disampaikan ketua tadi, setelah saya pikir-pikir sepertinya bagus juga, tapi saya tetap tidak percaya diri karena melihat pengalaman yang terjadi, mahasiswa yang mengambil dua jurusan cenderung banyak yang tidak terealisasi dua-duanya. Disamping itu, biaya kuliah dua jurusan hilang dengan cuma-cuma dikarenakan ketidakmampuan dalam menjalani dua-duanya. Tanpa ada sedikit keraguan dan rasa hormat yang mendalam atas apa yang memang menjadi alasan, saya berusaha menerima perpindahan ini dengan penuh keikhlasan dan kesabaran.

Kadang saya merasa iri kepada teman-teman, kenapa kuliah saya ini tidak semulus mereka, ada aja rintangan yang dihadapi. Demikian, Bung dan Nona, suasana jurusan saya itu ternyata lebih mirip, mengutip seorang penyair, rumah sakit yang para pasiennya kebelet bertukar ranjang.

Satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah meyakinkan diri sendiri bahwa keputusan kali ini sudah sesuai hati nurani dan dapat restu dari guru kiai dan keluarga. Segala konsekuensi dan tanggung jawab dibaliknya siap ditanggung dengan gagah berani. Saya percaya bahwa dibalik setiap pengalaman pastilah selalu ada kebaikan dan pelajaran yang bisa diambil.

Satu tahun lamanya, tak perlu ada yang disesali.  Harus lebih mendalam lagi untuk meyakinkan diri ini, bahwa dengan cara seperti ini dan dengan masa lalu yang saya alami ini, setidaknya saya bisa mengumpulkan banyak kekuatan demi meraih masa depan yang baik dan sukses.

Santri Mahasiswa Al-Hikam Malang