Santri google |
Penulis: Moh Syahri
Sejak dulu
santri sudah dikenal dengan sosok pejuang, yang mana saat Indonesia sedang
mengalami penjajahan santri mengambil peran penting dalam melawan dan merebut kemerdekaan
itu. Santri yang dikenal sebagai seorang pejuang, ia tidak pernah gentar
menghadapi apapun, tidak ada kata menyerah dalam kamus pribadinya, tidak ada
kata berhenti selama tujuan yang baik itu belum dicapainya. Berjuang jangan
selalu diartikan harus berperang dengan pedang sampai pada titik pertumpahan
darah. Seiring dengan berkembangnya zaman maka berjuang di era sekarang ini
lebih kepada bagaimana cara mempertahankan aqidah dengan maraknya perang opini
masalah aqidah, juga mempertahankan eksistensi bangsa, dan ikut serta dalam memperbaiki
problem-problem sosial.
Santri tak
seharusnya hanya sekedar belajar, bersanding dengan kitab, buku dan bolpen tiap
harinya. Memang belajar merupakan salah satu perjuangan. Namun yang dimaksud
dalam tulisan kali ini adalah belajar berjuang secara ril dan nyata. Bagaimana
cara hasil belajar itu bisa diimplementasikan langsung kepada masyarakat
sehingga masyarakat akan merasakan betul akan pentingnya. Masih banyak diantara
kita yang kurang begitu peduli dengan lingkungan sekitar walaupun tak semuanya.
Tak peduli dengan penderitaan tetangganya, tak peduli dengan realitas sosial
yang menimpanya. Cukup dirinya yang baik, padahal sebenarnya hal ini tidak
sampai pada hakikat kebaikan sebelum bisa memperbaiki orang lain.
Contoh beberapa
hari yang lalu ada seorang teman bercerita ke saya bahwa ia menemukan seorang
santri yang sedang berwudu’ ke dalam wadah air yang tidak sampai dua kulah,
namun dia hanya membiarkannya. Saya bilang kenapa sampean membiarkannya kenapa
tidak ditegur dan jelaskan bahwa wudhu’nya tidak sah karena air itu musta’mal.
Dia bilang bahwa dia belum pantas dan belum memiliki kapasitas untuk
mengingatkan. Sangat tidak rasional jawabanya. Berjuang dalam menegakkan
kebenaran dan memperbaiki kesalahan orang lain yang diyakini memang salah bukan
lagi soal pantas atau tidaknya. Tetapi lebih kepada menjalankan perintah Allah
bahwa kita diwajibkan untuk saling menasihati dengan kebenaran. Soal menasehati
dengan kebenaran adalah mutlak milik semua manusia, tidak hanya tugas kiai,
ustadz, guru ngaji dan orang tua semata. Jika kita terus berpacu pada pada
seorang kiai ustadz, guru dan orang tua dalam soal menasihati dan penegakan
kebenaran maka rasanya dunia ini terlalu sempit dan belum sampai pada hakikat
keislaman kita yang berdasarkan Alquran dan hadis.
Perjuangan
memang berat, tak semudah belajar dengan buku dan kitab sambil duduk santai. Santri
masih sedikit yang memiliki jiwa pejuang kebanyakan bercita-cita ingin menjadi
pemimpin. Silahkan boleh-boleh saja, tetapi yang perlu digaris bawahi adalah
juga tidak banyak seorang pemimpin yang memiliki jiwa pejuang. Inilah kenapa dalam
tulisan ini sifat pejuang harus benar-benar ditanamkan sejak dini. Sehingga
kita tidak menjadi pemalas. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang berjuang
untuk rakyatnya, memikirkan nasib rakyatnya, peduli terhadap permasalahan sosial.
Sama halnya dengan seorang santri yang ingin menjadi pemimpin sekaligus
pejuang. Maka perlu ada sokongan moralitas dan intelektualitas, sehingga
perjuangan sampai pada puncak keberhasilan.
Menjadi jiwa pemimpin seharusnya disertai dengan jiwa pejuang. Berjuang dalam menebar kebaikan yang
berlandaskan Alquran dan hadis adalah tugas utama santri. Yang sering menjadi
problem yang sebenarnya menurut saya ini tidak sepenuhnya menjadi problem yang
serius. Hanya saja masalah psikologis yang belum matang, yaitu rasa malu dan
tidak percaya diri. Rasa malu dan tidak percaya diri sering menjadi hambatan
dalam berjuang tak terkecuali santri. Disuruh mimpin tahlil saja banyak yang
merasa takut dan tidak berani. Disuruh ngajar ngaji saja banyak yang tidak
percaya bahwa ia bisa. Lebih parahnya lagi tidak mau jadi imam shalat berjamaah Padahal yang seharusnya menjadi landasan dalam diri
seseorang lebih-lebih seorang santri adalah rasa optimisme.
Jika dalam
lingkup pesantren saja santri sudah enggan dalam berjuang bagaimana nanti
ketika berhadapan langsung dengan masyarakat. Tentu sebagai santri memiliki
tugas lebih ditengah-tengah masyarakat lebih-lebih dalam acara ritual
keagamaan. Rasanya tidak etis jika ada seorang santri harus menolak tawaran
masyarakat untuk memimpin acara-acara ritual keagamaan.
Wallhu A’lam
Bisshowab
Santri Mahasiswa Al-Hikam Malang