Satu Tahun Mengingat Jihad Pendidikan - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Rabu, Mei 02, 2018

Satu Tahun Mengingat Jihad Pendidikan

foto saya ketika tes masuk biasiswa
STAI Ma'had Aly Al-Hikam Malang
bersama Ust. Abdul Hadi Al-Hafidz
Satu tahun saya berada di kota yang sering disebut-sebut sebagai kota pendidikan, malang. Perjuangan untuk merasakan manis pahitnya kehidupan dalam dunia pendidikan sungguh luar biasa. Sebelum saya tiba di kota malang, daerah istimewa Yogyakarta dan Semarang sudah menjadi pijakan saya dalam memperjuangkan pendidikan. Sebagai kota yang pertama kali dijadikan destinasi dalam menempuh pendidikan. Di kota ini justru saya belum bisa memperlihatkan perjuangan itu secara kentara. Berangkat dari rumah menuju Yogjakarta merupakan hasil dari niat dan tekad kuat yang tentunya semua ini mendapatkan restu orang tua dan para guru.

Enam bulan sebelum pembukaan pendaftaran mahasiswa baru, saya sudah berangkat dari rumah menuju Yogyakarta. Berangkat dengan jarak waktu yang cukup jauh dari pembukaan pendaftaran mahasiswa baru itu justru banyak menimbulkan buah bibir masyarakat sekitar tetangga bahkan famili juga. Masyarakat menilai bahwa keberangkatan ini justru malah semakin membebani keluarga saya. Buah bibir masyarakat itu saya nilai sebagai bentuk kepedulian terhadap saya dan keluarga bukan sebagai bentuk kebencian kepada saya dan keluarga.

Menuju kota Yogyakarta dengan hanya bekal keberanian dan uang yang tak seberapa banyak jumlahnya, membuat saya merasa tidak percaya diri akan bertahan lama di kota itu. Modal seperti itu sepertinya tidak cukup untuk bertahan hidup. Sudah tidak ada planning yang mampu memberikan solusi terhadap problem ini, terpaksa saya harus bekerja demi mempertahankan hidup. Bekerja sambil belajar bukan hal mudah untuk dijalani. Tak jarang kita temukan seorang mahasiswa yang sambil bekerja justru kuliahnya tidak selesai-selesai karena harus dibebani pekerjaan itu.

Memang merupakan sesuatu yang delimatis, ketika ada seorang mahasiswa kuliah sambil kerja, satu sisi ingin mempertahankan hidup dan biaya pendidikan yang harus terbayar lunas. Disisi lain keterbengkalain tugas kampus sehingga menimbulkan lambatnya kelulusan. Dua hal ini sangat berpengaruh dalam perjalanan karirnya, sehingga perlu adanya suplai inspirasi dan motivasi yang mampu mengimbangi keduanya. Dalam hal ini saya selalu ingat perkataan Prof. Imam Suprayogo bahwa, Hidup di dunia ini selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sedemikian banyak dan bervariatif. Pilihan itu seringkali juga tidak hanya terhadap dua warna atau bentuk yang berbeda. Mengambil dari dua pilihan yang berbeda, sebenarnya tidak begitu sulit. Tetapi pilihan itu, kadang serupa, mirip ,atau orang mengatakan berwarna abu-abu, atau tidak terlalu jelas. Maka sebaiknya kita harus memilihnya secara cepat dan tepat.

Di kota Yogyakarta saya gagal dalam menempuh pendidikan. Kegagalan ini bukan berawal dari aspek ekonomi melainkan dari aspek psikologi. Namun didalam kota ini saya banyak belajar hidup dari orang-orang hebat. Banyak bertemu seorang ilmuan masa kini yang hidupnya biasa-biasa saja hingga yang luar biasa.

Kegagalan dalam menempuh pendidikan di kota Yogyakarta hampir membuat saya putus asa. Tekanan psikologis yang cukup besar waktu itu membuat saya mengalami disorientasi. Kehilangan arah dan tujuan, peta pendidikan yang sudah saya gambar tidak sesuai dengan ekspektasi. Konsep yang sudah saya tulis tidak lagi bisa dijadikan acuan. Semuanya sudah sirna dan hampir diambang kehancuran.

Mengembalikan gairah dan semangat yang dulunya berapi-api membutuhkan waktu yang cukup lama. Mencoba dan berusaha mencari semangat baru tak semudah apa yang dibayangkan kebanyakan orang dan tak semudah apa yang dikatakan Mario teguh. Seperti apa yang saya bayangkan di awal bahwa saya sudah tidak bisa bertahan lagi di kota Yogyakarta ini. Saya tegaskan sekali lagi bahwa ketidakbetahan ini bukan karena kesulitan ekonomi melainkan jihad pendidikan belum usai dan belum menemukan titik terang. Sehingga saya harus mencari link untuk keluar dari keterpurukan itu.

Ditengah kebingungan yang terus menjalar dibenak saya, tiba-tiba ada seorang teman menawarkan sebuah brosur pendaftaran mahasiswa yang didalamnya ada biasiswa Tahfidzul Qur'an, tepatnya di kota Semarang rumah pengkaderan hafidz hafidzah asuhan Dr. Mohammad Nashih. Tanpa berpikir panjang saya mencoba menghubungi CP-nya dengan meminta nomor pengasuh rumah pengkaderan hafidz hafidzah itu. Tanpa mengurangi rasa hormat, saya coba chat beliau. Setelah melakukan komunikasi lewat chatting itu, saya diminta untuk melakukan tes baca kitab, lewat video call, sampai diminta untuk menganalisa bacaan itu dari segi pemahaman dan kaidah ilmu nahwu. Setelah semuanya selesai saya diminta umtuk mendatangi beliau di rumah kediamannya, dengan melakukan tes yang kedua.

Dari sekian banyak tes masuk yang diujikan, saya dinyatakan lulus seleksi. Namun apa daya, lagi-lagi Allah SWT memberikan ujian yang sungguh diluar dugaan. Tak bisa ceritakan panjang lebar mengenai apa yang menimpa saya waktu itu. Yang jelas tempat itu tidak lagi membuat saya betah dan bertahan lama. Bukankah tempat itu sudah ada jaminan makan gratis', tempat tinggal gratis, biaya pendidikan gratis karena biasiswa. Tidak, justru itu yang tidak bisa saya ceritakan. Semua yang saya dapatkan tidak bisa mewakili kebahagiaan saya yang sesungguhnya. Entah ini faktor apa. Wallahu a'lam bisshowab.

Sehingga saya tiba di tempat yang bisa dibilang cukup strategis dalam menempuh pendidikan, yaitu kota malang. Tepatnya Sekolah Tinggi Agama Islam Ma'had Aly Al-Hikam Malang dengan program biasiswa prestasi. Dalam perjuangan kali ini tidak sesulit apa yang saya perjuangkan sebelumnya, entah ini merupakan buah manis dari apa yang saya alami sebelumnya ataukah ini hanya sekedar penawar rasa dari kegelisahan dan kegalauan. Perjalanan ketiga ini nampaknya berjalan mulus sehingga sampai pada titik kelulusan dan alhamdulillah saya berhasil mendapatkan biasiswa penuh di perguruan tinggi ini. Kota malang ini sebenarnya merupakan kota yang atmosfer pendidikannya tidak jauh beda dengan kota Yogyakarta. jadi cukuplah rasanya untuk mengobati rasa kecewa yang sempat gagal untuk menapaki kota Yogyakarta sebagai tempat proses pendidikan saya. Semoga di kota ini saya menemukan jatidiri sebagai sosok agen of change.

Wallahu a'lam bisshowab

Santri Mahasiswa Al-Hikam Malang