Miskin Teladan Di Era Millenial - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

14 Juli 2018

Miskin Teladan Di Era Millenial

Sumber foto: internet
Penulis: Moh Syahri

Kekhawatiran ini tidak hanya hanya terlintas di benak orang tua kepada anak-anaknya. Ini merupakan masalah kita bersama yang harus kita cari solusinya. Bayangkan kita setiap hari dihadapkan dengan berbagai ancaman dan cercaan yang begitu massif dan luar biasa karena sebuah perbedaan. Setiap saat kita selalu dihidangi semacam ketakutan dan kecemasan. Arenanya bukan hanya di media sosial namun sudah menyeruak ke dunia nyata. Kehebohan yang sering muncul di pemberitaan mengenai bejatnya moral banyak diisi oleh kaum muda. 

Kasus pemerkosaan, mabuk-mabukan dan hubungan sek antara laki-laki dan perempuan semakin banyak terjadi dimana-mana, sopan santun dan keramahan semakin hilang ditelan masa. Pencurian dianggap sebagai torehan prestasi. Penipuan dianggap sebagai hal yang membanggakan. Kejadian ini sungguh sangat memprihatikan. Kegiatan belajar banyak disita oleh pengaruh internet dan media sosial. Beragam kejadian yang sangat memalukan dipertontonkan di depan publik. Maka dampak buruk dari kejadian itu akan dapat mempengaruhi kaum generasi muda baik secara psikologis maupun sosiologis.

Dengan kata lain, setiap kebaikan dan keburukan yang ditampilkan dalam keseharian, menurut Erving Hoffman (presentation of self in everyday life), akan jadi faktor penentu bagaimana asosiasi baik atau buruk akan melekat pada dirinya melalui penafsiran orang lain

Cepat atau lambat, kita akan dihadapkan dengan berbagai fenomena yang sangat luar biasa pengaruhnya. Instrumen transformatif sangat mudah ditemui, dan arusnya deras sekali. Fitnah terus bertebaran dimana-mana tak terbatas oleh ruang dan waktu. Mirisnya, melakukan fitnah dianggap hal yang normal.

Dimanakah posisi hati nurani kita saat disatu pihak kita berpenampilan alim, namun disi lain fitnah dilakukan terus? Banyak orang pandai dan bijak mengatakan, bahwa jejak dari kemampuan kita dalam melaksakan ajaran agama, bukan pada kenampakan fisik kita yang alim dan religius. Namun lebih terlihat pada perilaku kita yang sholeh, ujaran kita yang mendamaikan dan pemikiran kita yang rahmatan lil alamin.

Penampilan yang terlihat sholeh belaka ternyata tidak menjamin orang itu berperilaku sholeh. Berapa banyak orang-orang yang kelihatannya alim, ternyata tersangkut perkara kejahatan(korupsi, kekerasan dalam rumah tangga, video porno dan sebagainya). Ini menambah bukti, bahwa atribut keagamaan digunakan untuk pencitraan diri dan kelompok. Tetapi kita tahu sendiri, banyak pula orang-orang seperti itu dihinakan oleh Allah SWT melalui terbukanya kepalsuan mereka.

Yang tidak kalah menarik adalah pemimpin, selain memang menjadi pemimpin seharusnya juga harus menjadi panutan bagi umat. Tak cukup dengan kerja dan kerja. Tetapi tunjukkan rasa hormat dan akhlak yang baik, bekerjalah sesuai dengan aturan yang berlaku. Bekerjalah dengan jujur dan adil sejak dalam pikiran sampai mampu mewujudkan kesejahteraan.

Beda fase, jelas memiliki banyak perubahan. Berkembangnya teknologi informasi ini memberikan dampak yang semakin kentara. Ini banyak dirasakan oleh mereka yang menikmati media sosial. 

Media sosial sejatinya adalah tempat menuangkan gagasan dan tinta-tinta keabadian dan penyambung tali silaturahmi. Bukan sebagai platform adu gengsi dan permusuhan. Bukan sebagai tempat untuk mencari-cari kesalahan orang lain. Dan bukan sebagai tempat meluapkan emosi dan kebencian.

Dekadensi moral memang sangat riskan. Bukan hanya terhadap diri mereka sendiri, tetapi bagi masyarakat, bangsa dan tanah air. Maka pantas jika tokoh figur itu sangat penting di negeri ini. Ulama yang seharusnya menjadi objek kunjungan masyarakat sebagai penunjuk jalan yang benar menurut Allah SWT, malah dialih fungsikan sebagai kunjungan para politikus untuk menggaet kursi kekuasaan.

Ini sebenarnya siapa yang salah, ulamanya atau Politikusnya? Terlepas dari kesalahan mereka, yang harus diperhatikan adalah bagaimana kita menyikapi hal seperti itu. Oleh karena itu, saya tertarik dengan pesan prof. Imam Suprayogo, maka yang seharusnya dilakukan adalah bagaimana kekeliruan itu tidak berkepanjangan, dan dipertontonkan secara terbuka kepada generasi muda. Jika ada kesalahan atau kekeliruan selama ini harus segera disadari dan kemudian diperbaiki. Apa yang kita pandang selama ini benar, belum tentu pada kenyataannya benar. Sebaliknya, apa yang kita pandang salah, belum tentu hal itu salah. Karena itu melakukan perenungan kembali, dan apalagi selalu memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa seharusnya dilakukan sepanjang waktu. 

Untuk mencari tokoh teladan yang benar-benar bisa dipercaya dan bisa bertanggung jawab secara moral, saya rasa sangat sulit. Karena semuanya serba jatah dan kepentingan. Inilah problematika umat yang saya alami di negeri ini. Walaupun tidak semuanya, tetapi ini sebagian dari bumerang dan pemantik bagi yang lain.

Kesigapan tokoh agama maupun tokoh politik dalam menangani konflik sosial kurang begitu saya rasakan di negeri ini. Tokoh agama dan tokoh politik kebangsaan seharusnya memposisikan dirinya sebagai figur yang moderat yang tidak condong ke salah satu pihak, golongan tertentu dari berbagai sektoral, agar posisi tawarnya semakin kuat di mata masyarakat.

Wallahu a'lam bisshowab