Ketika Santri Nonton Film A Man Called Ahok di Tengah-tengah Penonton Tionghoa - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Selasa, November 13, 2018

Ketika Santri Nonton Film A Man Called Ahok di Tengah-tengah Penonton Tionghoa


Penulis: Moh. Syahri

Nonton film sebenarnya bukan hobi saya. Dari dulu saya memang tidak suka nonton film, hemat saya semua film itu fiksi walaupun ada sebagian yang diambil dari kisah nyata. Tapi buat saya tidak penting untuk bahas ini, jika saya harus masuk pada pembahasan fiksi dan non fiksi bisa-bisa saya diseneni pak Rocky Gerung. Intinya ketika saya mau dan tertarik untuk nonton film ya tinggal berangkat saja, tak peduli harga tiketnya berapa, tokohnya siapa, sutradaranya siapa yang terpenting duitnya ada.

Hari Sabtu kemarin, hari weekend saya disempatkan nonton film A Man Called Ahok. Sampai di Malang City point loket tiket film A Man Called Ahok sudah dipenuhi oleh orang-orang Tionghoa, ya itu orang yang biasa kalian sebut kafir-kafir. Saya dipaksa untuk mengantri di deretan para Tionghoa itu. Saya sempat berpikir "ini saya gak salah tempat ta?

Seperti biasa saya mencoba bersabar di tengah kerumunan dan deretan antrian panjang mereka yang berwajah-wajah oval, ya itu yang kalian biasanya sebut mata sipit. Mungkin wajah saya yang terlihat aneh waktu itu, antara wajah-wajah Afrika dan wajah-wajah Asia tenggara, karena wajah-wajah Arab sangat tidak mirip sekali.

Tak lama kemudian, sudah sampai pada giliran saya untuk membeli tiket. Hemat saya situasi yang paling sulit selain memilih calon istri, calon presiden, calon gubernur, calon bupati sampai pada calon kades adalah memilih tempat duduk di bioskop (maaf ini khusus buat yang jomblo).

Cuma kita kan harus tau diri, ditengah antrian sebanyak itu seharusnya kita tak perlu bingung soal tempat duduk karena bioskop bukan seperti tontonan orkestra atau dangdut kampungan yang harus berdesak-desakan untuk melihat biduan penyanyinya. Tempat duduk yang sudah bertanda merah (sould out) menandakan bahwa di jam ini sudah banyak yang boking beda halnya dengan yang masih biru (available). Kalau tidak salah mungkin tinggal 2 atau 3 kursi saja yang itu jaraknya antara atas dan bawah. Mau pilih yang mana saja tetap saja nanti saya pasti duduk dengan mereka-mereka.

Dan film ini pasti diterima di seluruh pelosok Nusantara, buktinya, hampir seluruh kursi bioskop di Indonesia full untuk nonton film A Man Called Ahok. Saya sudah menyangka film A Man Called Ahok pasti banyak digemari oleh masyarakat luas, luas pemikirannya, luas duitnya, luas pengalamannya dan luas sifat kemanusiaannya. Santri adalah termasuk dari salah satu bagian dari masyarakat yang luas pemikirannya, sekalipun dia tidak luas duitnya tapi dia luas keberaniannya untuk ngutang ke temannya.

Ternyata betul film ini sama sekali tidak ada maksud untuk memasukkan counter issue tentang penistaan agama. Dan rasanya memang tidak perlu ada counter issue tentang penistaan agama. Buat apa juga, toh semuanya sudah paham arah politik mereka yang memusuhi pak Ahok.

Sepanjang yang saya lihat mulai awal sampai akhir film ini sama sekali tidak membahas seputar agama, apalagi kampanye politik. Film ini murni persembahan dari sutradara yang kagum dengan prestasi dan perjuangan pak Ahok kepada Indonesia.

Tidak penting buat saya siapa pak Ahok, yang terpenting apa yang sudah dibuat pak Ahok untuk kemajuan Indonesia. Tidak penting buat saya agama pak Ahok yang terpenting sifat dan karakter dia dalam hal kemanusiaan. Saya ingat, waktu kecilnya pak Ahok yang diam-diam membantu tetangganya yang mau melahirkan sampai rela memecahkan tabungannya atau celengannya.

Pelajaran yang paling menyentuh buat saya ketika Ahok kecil bertanya kepada ayahnya, " Pa sebenarnya kita ini orang Indonesia apa orang China?", Apa jawaban bapaknya, " jangan pernah berhenti mencintai Negeri ini, Hok".

Banyak hal yang dapat saya jadikan pelajaran dari kisah hidup pak Ahok mulai dari kecil hingga dewasa dan menjabat sebagai Bupati Belitung. Pak Ahok adalah sosok yang semangat belajarnya luar biasa, dia ingin sekali belajar di Jakarta dan ingin melihat Monas.

Tercapailah cita-cita dia belajar di ibu kota negara. Namun, oleh sang bapak justru dia harus tetap kembali ke kampung halamannya sekalipun hidupnya sudah makmur di luar sana karena pembangunan desa sendiri itu jauh lebih penting, dan masih banyak permasalahan-permasalahan yang harus diselesaikan di kampungnya sendiri.

Film ini secara keseluruhan sangat menginspirasi, dan sangat berkesan. Sangat bagus jika harus ditonton oleh santri mahasiswa, dimana bioskop pada film ini bisa dijadikan majelis kedua mereka untuk mengaji dan menumbuhkan semangat persatuan dan kemanusiaan.

Sumber foto: redaksi Indonesia