Jika ada yang beragama dan menyembah-nyembah agama dengan
mempersetankan agama lain, maka ia sedang kesurupan Abu Jahal. Bila ada yang
hanya memiliki secuil dari cuilan-cuilan kecil ilmu tapi merasa tahu segala hal
dan mempersetankan setiap kebenaran di luar dirinya, maka ia sedang kerasukan
Abu Lahab. Apabila ada yang berpolitik dan menganggap partai politiknya yang
paling suci dan pemegang kunci surga, maka sekali lagi, ia sedang kerasukan Abu
Jahal, Abu Lahab dan Osama bin Laden sekaligus.
Merekalah
para penganut mazhab sotoyisme, yakni kaum cuti nalar dan tuna pustaka, bani
otak cingkrang dan defisit ilmu, namun merasa paling benar sendiri di muka
bumi. Ciri-ciri mereka? Ya, ciri-ciri orang kesurupan, gemar teriak-teriak di
jalanan dengan pengeras suara pula, melotot dan meninju-ninju ke udara,
menuding-menuding dan menunjuk-menunjuk ke segala arah, sebentar-sebentar
takbir disertai caci-umpatan. Gerombolan kesurupan ini adalah pasukan nasi
bungkus (panasbung), tapi justru menyebut diri mereka mujahid, pembela agama
dan Nabi. Para begundal berbaju Abu Jahal itu gemar bawa pentungan, dan memang
bakat terbesar mereka adalah razia dan sweeping, bukan berpolitik dan apalagi
menjadi ilmuwan.
Pertanyaan
kampungan yang bisa kita sodorkan: apa muasal dari itu semua? Hanya satu, yakni
berhenti belajar karena merasa paling benar. Konsekuensinya? Selain diri dan
kelompoknya pasti salah dan auto-neraka. Padahal, mereka adalah buih di lautan
politik agama, mereka adalah masyarakat daun kering yang gampang dibakar, setelah
itu hangus dan menjadi abu politik agama.
Baca juga: Hari Minggu, Bolehkah Kita Berekunjung Ke Gereja?
Sayyid
Aristoteles pernah memberi wejangan bahwa sejatinya setiap orang menghasrati
pengetahuan. Tak ada yang mau bodoh dan apalagi dibodoh-bodohi oleh
apa-siapapun. Itu artinya, dalam segala bidang, semua tindakan harus dilandasi
ilmu, setiap perbuatan harus berlandaskan pengetahuan, tanpa terkecuali dalam
berpolitik, beragama, berbudaya dan bahkan bernegara. Semuanya harus dalam
jagad ilmu, di bawah arasy pengetahuan. Menolak fakta ini, berarti melecehkan
anugerah istimewa dari Tuhan bernama akal.
Sehebat
apapun yang Anda gagas dan Anda inginkan, tidak akan pernah mengalahkan yang
Anda lakukan. Jangan lupa, tindakan adalah pikiran yang bergerak, bukan
tergeletak dan lalu mengendap di almari ide-ide. Berpikir dan dan bertindak
adalah satu kesatuan. Kesalahan kita adalah karena hanya bertindak tanpa
berpikir dan sebaiknya cuma berpikir tanpa pernah bertindak.
Memang,
langkah-langkah yang Anda tempuh, kadang ditolak bukan oleh orang lain, tetapi
bahkan oleh diri Anda sendiri. Apa sebab? Setiap memutuskan untuk melakukan hal
”baru”, diri Anda yang ”lama” pasti memberontak.
Begitu
pula ketika memutuskan untuk belajar. Pasti "diri yang lama" alias
kebiasan lama, kemalasan akut dan kecerobohan yang telah menahun pasti menolak
hal-hal baru dalam diri. Memang, bukan belajar yang sulit, tetapi memutuskan
untuk belajar. Begitu pula bekerja, menikah, melayani sesama, merajut
kebinnekaan, menghargai yang berbeda, memuliakan yang lain dan liyan, yang
sulit adalah mengambil keputusan!
Komitmen
untuk terus istiqamah terhadap keputusan adalah jalan terjal berliku, penuh
onak berduri, ia nyaris tak terkendali meski lama-lama akan tertungkus lumus
menjadi kebiasaan. Dan, seterusnya menjadi watak kita—habit is the second
nature.
Kabar
baiknya, justru karena urgensi ilmu, ayat yang turun pertama kali kepada sang
Nabi adalah perintah membaca (iqra') bahkan kanjeng Rasul Saw mewajibkan
umatnya belajar sepanjang hayat (minal-mahdi ilal-lahdi). Inilah long-lived
education.
Islam
adalah agama yang menjunjung tinggi pengetahuan, seharusnya umatnya pun
demikian. Tak pantas, kaum muslimin menjadi masyarakat yang tidak ilmiah dan
terbelakang dalam saintek. Celakanya, tak sedikit yang membeda-bedakan ini ilmu
agama itu ilmu umum, ini ilmu Islam itu ilmu kafir, ini politik Islam itu
sistem thaghut. Mari kita sudahi kesalahkaprahan warisan Kompeni ini dengan
membuka hati, merentangkan pikiran dan terus belajar!
Baca juga: Berkah 80 Juta Berhasil Menyatukan Cebong dan Kampret
Dalam
Ihya Ulumiddin (the Revival of Religious Sciences), hujjatul Islam imam
Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua, yakni yang wajib dipelajari secara
personal (fardhu 'ain) dan yang wajib dipelajari secara kolektif (fardhu
kifayah). Jadi, tidak ada demarkasi antara ilmu umum dan agama, karena semua
wajib dipelajari. Bahkan, jika agama-agama kita anggap ilmu, dan memang
seharusnya demikian, maka semua agama wajib kita pelajari, bukan malah
kejang-kejang melihat salib, pingsan melihat patung dan alergi kemenyan
kearifan lokal.
Sekali
lagi, Islam adalah agama yang menjunjung tinggi pengetahuan. Contoh konyol,
kalau Anda salat jum'at tapi pakai niat puasa, maka Anda tidak sembahyang tapi
olah raga. Jika Anda sedekah gunting dan sisir untuk para jomblo menahun
sebanyak lima kontainer semata karena ingin dipuji calon mertua teman, maka
Anda sedang mubazir buang-buang harta. Apabila Anda haji tiap bulan, umroh tiap
minggu, salat malam hingga kepala bertanduk, pakai gamis polkadot rangkap lima,
serban melilit sebesar parabola, plus jenggot impor lima helai sampai lutut,
tapi Anda melakukan itu semua tanpa ilmu, salah aturan pakai, sia-sialah yang
hebat-hebat itu tanpa ilmu. Bisa-bisa, Anda malah kerasukan Abu Jahal dan
kesurupan Osama bin Laden.
Kita
renung-insyafi sekali lagi, semua prasyarat sebelum ibadah, juga muamalat
adalah wajib aqil-baligh. Apa itu?
'Āqil
adalah mendayagunakan mekanisme intelektual dengan benar, dengan itu manusia
akan sampai pada konteks-konteks kebenaran (bāligh). Bahkan, agama ini adalah
rasionalitas (ad-dīnu 'aqlun), barangsiapa yang tidak menggunakan
akal-sehatnya, maka dia tidak beragama (lā dīna li man lā 'aqla lahū).
Wal
hasil, sadar bahwa diri ini masih bodoh adalah ilmu tingkat tinggi, dan
berkomitmen untuk terus belajar adalah dengan cara rendah hati pada ilmu dan
ahli ilmu. Sebab, ujar-ujar lama berbunyi, di atas langit masih ada langit (wa
fauqa kulli dzi 'ilmin 'aliim), begitu pula kebodohan, di bawah orang bodoh,
banyak yang lebih bebal dan jahil murakkab. Maka, jangan heran jika banyak
orang-orang bodoh diikuti oleh lebih banyak lagi orang-orang dungu. Begitu kita
berhenti belajar, mulailah kita bodoh. Ia bisa menyelinap dalam ego dan nafsu,
menyusup dalam keakuan yang serba sok tahu.
Perlu
kita renungi sabda Nabi Saw: Izdad 'aqlan tazdad min Rabbika qurban (tingkatkan
kapasitas akalmu, niscaya meningkat pula intensitas kedekatan dengan Tuhanmu).
O ya, kopi mana?
Semoga
bahagia dan mulia.
Selengkapnya di sini
Wallahu a'lam
Sumber Foto: Nu Online
Penulis adalah pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah dan Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Al-Farabi, buku terbarunya: Peradaban Sarung dan Kondom Gergaji.
Baca jug: Santri Kiri : Ideologi Pengganti Nasakom