Atorcator.Com - Di bawah terik sengatan
ultra-politik, tanpa sadar kita sering minum es campur hoax dengan toping
ujaran kebencian serta mendinginkan gejolak dunia maya yang menggelegak justru
dengan disinformasi berita yang tak jelas sumbernya. Nah, begitu musim hujan provokasi
tak terbendung, hanya payung politisasi agama yang tersedia di tangan kita.
Tiba-tiba, banjir bandang intoleransi menghanyutkan bangsa ini sampai ke tubir
jurang disintegrasi.
Tak jauh beda dengan
gerakan-gerakan fasisme Jerman dan Italia pada pertengahan abad ke-20 silam,
propaganda dan provokasi menjadi mesin pengacau opini publik dengan dentuman
informasi palsu dan gempuran berita bohong demi menggiring kemarahan dan
sentimen massa menuju satu titik, yakni istana, penguasa, razim.
Dasawarsa ini, strategi
disinformasi semakin mendapati kegilaannya dengan media sosial. Dampaknya apa,
Kisanak? Media telah membentuk opini rakyat sedemikian rupa dan menyesatkan
sedemikian gila seolah sedang terjadi polarisasi politik antara Islam dan
non-Islam, polarisasi ekonomi antara pribumi versus asing dan berbagai varian
gorengan isu lainnya yang mem-blow up habis-habisan bahwa (umat) Islam sedang
dilecehkan dan ditindas. Praktis, 130 juta pengguna internet dan 90 juta umat
Islam yang tak jelas mazhabnya apa menjadi kelinci percobaan dan pion-pion para
predator bisnis, para oligark politik, para begundal demokrasi, para bromocorah
penjual hukum, para cecunguk pengasong khilafah yang berkendara revolusi
industri 4.0 alias big data. Berhsilkah mereka? Sangat! Bravo!
Media sosial tak ubahnya ladang
subur bagi para pembenci, pencaci, mencemooh, pencemar, penggunting dalam
lipatan, pembegal, pemancing, tengkulak keributan, pengembang provokasi,
makelar propaganda dan peselancar negatif demi kepentingan gerombolan serigala
berbulu ormas dan para pemangsa sumber daya, baik sumber daya alam, sumber daya
manusia dan terutama sumber daya ideologi (Pancasila).
Digoreng dengan bumbu-bumbu
politik, ditumis dengan aroma dan saus agama yang penuh intrik, direbus bersama
kaldu sentimen etnik, dipanggang dengan bara isu komunis dan lantas disajikan
di mulut-mulut mayoritas awam sebagai menu sehari-hari, tengik tapi nampak
asyik, bikin ketagihan meski menyesatkan. Kita mengira bahwa media sosial
sebagai realitas, padahal ia hiper-realiatas.
Satu berita diviralkan dan oleh
buzzer-buzzer bayaran lalu diproyeksikan—misalnya—untuk mendiskreditkan
golongan tertentu, menghujat yang berbeda agama dan paham, menjatuhkan lawan
politik, menjegal kompetitor bisnis, menggulingkan penguasa, dan bahkan hendak
mengganti ideologi Negara dengan dalih memperjuangkan "akal sehat".
Satu istilah yang belakangan ini dikaburkan oleh para tengkulak.
Kepentingan para predator bisnis,
para oligark politik, para begundal demokrasi, para bromocorah penjual hukum,
para tengkulak isu SARA, para cecunguk pengasong khilafah yang dibungkus rapi
dengan muslihat "bela agama" melalui gerakan masif populisme Kanan
sungguh telah menghina akal sehat bangsa Indonesia.
Artinya, gerakan ini bukan
inisiatif rakyat, bukan pula berangkat dari kesadaran umat, kerana para
predator itu jelas-jelas "menyerang" ego, bukan rasio! Dengan kata
lain, kemarahan publik berangkat dari "kesadaran palsu" yang dibentuk
para tengkulak oligarki melalui media (sosial) secara masif dan terencana.
Sudah tahu kan tukang goreng, tukang kipas, dan tukang sabunnya, juga para
bandar yang membiayai mereka?
Berbeda dengan populisme Kiri yang
progresif-demokratis, populisme Kanan malah anti-demokrasi, ultra-konservatif
plus kolot 14 turunan. Populisme Kanan adalah gerakan menggiring kemarahan
rakyat/umat (populus) kepada pemerintah dan rezim. Emosionalisasi politik SARA
dengan provokasi dan demagogi yang keji serta ujaran kebencian ultra-jahiliyah
sebenarnya bukan hal baru, ia sudah sangat kuno tapi lumayan mujarab bagi
masyarakat tuna pustaka dan generasi milenial alergi baca, bahkan sangat ampuh
bagi kaum otak cingkrang, bani cuti nalar permanen, kaum pentol korek-sumbu
pendek, dan panasbung (pasukan nasi bungkus) pengasong simbol agama dan pemburu
bulu ketiak bidadari.
Baca juga: Mengapa Orang Madura Disebut NU?
Kerumunan yang murka melalui aksi
demo berjilid-jilid dan bersilit-silit, politisasi agama dan agamaisasi
politik, sentimentalisasi politik dan politik sentimen mengarah rasis adalah
ciri utama yang paling mencolok dari gerakan populisme Kanan. Hasilnya apa?
Jutaan kaum monaslimin-monaslimat alumni gerakan populisme Kanan itu yang
mereka tidak tahu-sadari kecuali sebagai bela agama, titik! Para tengkulak
untung, para predator senang, toleransi buntung, kebinekaan mengalami turbulensi,
lalu terjun bebas.
Para pemimpin populis, misalnya
Trump di Amerika Serikat, Greet Wilders di Belanda, Le Pen di Prancis, Jair
Bolsonaro di Brazil, Lutzbachman di Jerman dan tentu saja Rizieq Shihab di
Indonesia sangat efektif membangun citra seperti "obat kuat" bagi
para pengikutnya serta manjadi "ego-ideal" bagi para pemujanya.
"Kuat" terhadap apa? Kuat untuk cuti nalar dan tidak kritis
sampai-sampai tindakan pemimpin populis junjungan mereka yang mencederai
kemanusian, mengoyak kebinekaan dan mencederai hukum, mencaci agama lain,
dianggap benar, mutlak benar. Konsekuensinya, siapapun yang menentang mereka
pasti salah, auto-kafir dan combo-neraka. Pertanyaannya: bagaimana sikap NU,
khusunya nahdliyyin milenial di tengah pusaran populisme Kanan?
Pertama, ngopi, kedua, ngopi
(ngobrol pintar) dan sowan Kiai, ketiga, ngopi (ngolah pikiran) dan strategi
bersama untuk terus menjaga kewarasan dan akal sehat melalui media sosial.
Apa,sebab? Karena para pemuja selangkangan politik adalah pengikut setia mazhab
cuti nalar. Tidak percaya? Berapa persen teman medsos Anda yang sudah mulai
defisit otak dan berakal cingkrang selama dua tahun ini?
Well, melawan disinformasi dengan
informasi yang benar adalah "jihad cyber" yang harus digalakkan oleh
NU milenial. Mengapa? NU (para Kiai, santri, pesantren, nahdliyyin) adalah
pendiri bangsa dan Negara, NU adalah pejuang di zaman revolusi kemerdekaan, penjaga
marwah Pancasila, benteng NKRI yang kokoh. Adalah tidak masuk akal jika ada
orang-orang yang teriak mengaku santri, mengaku paling NU, tetapi kemudian mau
merobohkan "rumah" yang dahulu dibangun oleh leluhurnya sendiri.
Siapapun yang merasa berasal dari tanah, pasti akan mencintai tanah airnya,
tanah tumpah darahnya, kecuali ia tercipta dari tanah sengketa!
Para predator bisnis, para oligarki politik, para begundal demokrasi, para bromocorah penjual hukum, para cecunguk
pengasong khilafah, dan tengkulak ayat-ayat suci tahu betul bahwa pintu masuk
untuk merobohkan Indonesia adalah dengan merusak NU dari dalam, membenturkannya
di luar, menjatuhkan martabat santri dan merongrong marwah Kiai dengan
provokasi dan adu domba sana-sini.
Mereka lupa bahwa NU itu pawang,
resi dan begawan. Begitu pawang datang, binatang-binatang buas dan liar manjadi
jinak, terdiam dan tenang. Tidak perlu membunuh binatang buas, menjebak dan
bahkan menyiram air keras untuk diawetkan. Pawang itu tenang, tidak gegabah.
Tenang itu ciri pemenang, gegabah ciri orang kalah. Ujar-ujar lama tetap
berlaku:
Segala sesuatu ada ilmunya, segala sesuatu ada pawangnya! NU bukan hanya organisasi, sosok Kiai, santri, pesantren, kaum sarungan, NU adalah spirit kemanusiaan, kebangsaan dan nafas perjuangan. Siapapun yang melawan pawang, ia sedang menggali kuburnya sendiri!
Sebagai pawang, para Kiai NU tahu persis, bahkan sejak NKRI belum berdiri, populisme Kanan bukan solusi atas problem dan ketimpangan sosial, ia justru simptoma penyakit sosial. Harus diakui bahwa gerakan ini menyiratkan lemahnya fungsi pemerintahan demokratis di satu sisi, serta tangguhnya cengkeraman oligarki di sisi lain. Dan, ironisnya, ini terus berlangsung sampai sekarang. Bukankah pemerintah memiliki segala control panel untuk mendamaikan dan mengamankan gerakan ini? Tetapi mengapa seolah terjadi pembiaran? Lagi-lagi, para predator dan oligark yang bermain.
Mangsa paling empuk bagi populisme
Kanan adalah demokrasi elektotal seperti sekarang ini, apa sebab? Karena saat
pemilu dan suksesi kekuasaan berlangsung, dana sangat besar dari tangan-tangan
predator digelontorkan. Dampaknya? Akal sehat menyusut, sikap kritis mengerdil,
mekanisme hukum melemah, para tengkulak merajalela, dan banalitas terjadi di
mana-mana.
Satu hal yang harus digarisbawahi,
populisme Kanan tidak pernah memperkuat demokrasi, ia justru mengancam keutuhan
nasional dengan memanfaatkan "fasilitas" demokrasi, yakni kebebasan
menyampaikan pendapat. Nafsu, sebagaimana juga kebencian dan amuk massa, tak
pernah dapat bersanding dengan argumen rasional. Kemarahan adalah sebuah
situasi ketika ucapan dan tindakan meninggalkan nalar jernih dan bening budi.
Populisme bukan pasangan ideal bagi Negara Pancasila, ia musuh dalam selimut
dan di luar selimut. Para Kiai Nusantara sudah lama mengetahui intrik dan
tipu-tipu surgawi kelas kandang kelinci macam ini, tinggal bagaimana generasi
NU milenial meneladani gaya kepemimpinan "pawang-pawang" NU,
misalnya: alm. Gus Dur, alm. Mbah Sahal Mahfudh, Mbah Maimun Zubair, Habib Luthfi,
abah Gus Mus, yai Said Agil, dll.
Sebelum kopi habis, saya ingin
bertanya: apakah dengan menjadi monaslimin-monaslimat Indonesia lantas maju?
Bukankah dengan bersikap normatif dan mendiamkan mereka sama saja dengan
mendukung mereka dan itu artinya membiarkan mereka merajalela?
Salam takzim.
Penulis Ach Dhofir Zuhry adalah Ketua STF AL-FARABI dan pengasuh Pesantren Luhur
Baitul Hikmah Kepanjen-Malang. Buku terbarunya yang banyak diburu para jomblo
di musim hujan ini: KONDOM GERGAJI dan PERADABAN SARUNG (Veni, Vidi, Santri)