golput |
Penulis: Muhammad Al-fayyadl
Atorcator.Com - Sikap golput, menggunakan analogi ilmu gramatika Arab alias ilmu
Nahwu, adalah suatu politik "mu'rab" menghadapi politik "mabni".
Oleh para 'alim Nahwu, satuan kata
disebut "mabni" ketika harkat akhir kata itu tidak berubah
walaupun dimasuki faktor yang lain ('amil). Ia permanen, fiks. Sebaliknya,
disebut "mu'rab" ketika harkat akhirnya dapat berubah seturut
'Amil (agensi) yang mempengaruhinya.
Politik "mabni" itu
politik oligarki, politik kartel. Ia dibangun di atas perselingkuhan penguasa
dan pemodal sebagai "status quo" yang terus ingin bertahan di
setiap pergantian rezim. Orientasi sistemnya fiks, kapitalisme-neoliberalisme,
walaupun adaptasinya bermacam-macam. Bisa jadi ia tampak "nasionalis"
karena pelakunya BUMN, tapi ekonomi "nasional"-nya tetap
kapitalistik. Bisa jadi saat lain ia berorientasi asing dan gemar investasi
asing. Karena duit dan duit, politik ini sangat mahal dan penuh lobi
elite. Rakyat cuma jadi penggembira atau penonton. Politik "mabni"
ini mampu bertahan dan memperbarui citra-diri. Soeharto dan Orde Baru kelihatan
tampil "milenial". Yang membawa jargon Soekarnoisme tampil merakyat,
meski aktor-aktornya memonopoli sumber daya negeri. Politik "mabni"
ini punya ciri lain: alergi HAM, militeristik, polisionil, patriarkis,
anti-kemajemukan, senang dengan "orang-orang kuat".
Siapapun yang mencoba mengubah
politik "mabni" ini, apapun 'Amil-nya, tak jarang gagal. Para tokoh
Reformasi yang dulunya kritis, begitu masuk di dalamnya, meski dulunya berniat
mengubah sistem, akhirnya kandas dan ikut arus. Aktivisme mereka ibarat
I'rob Jazm. Apapun yang masuk, tetap "sukun", alias mati kutu.
Awalnya bersih, kemudian menjadi korup. Awalnya kritis, kemudian menjadi
mandul. Maklum, karena politik "mabni" adalah ibarat Fi'il Maadli,
kata kerja lampau. Orientasinya status quo elite, masa lalu demokrasi kita yang
gagal diperangi oleh rezim demokrasi hari ini. Salah satu ciri dari politik
"mabni" ini adalah nostalgia dan romantisisme pada tokoh.
Sikap golput adalah lawannya, yang
disebut politik "mu'rab". Politik ini berorientasi perubahan.
Tidak cuma perubahan presiden, tapi perubahan sistem. Perubahan orientasi
kebangsaan. Perubahan bentuk penguasaan dan kepemilikan. Perubahan hubungan
elite dan massa. Perubahan cara berpikir dan mentalitas. Perubahan hubungan
sosial antar-warga. Suatu manifestasi dari kemuakan atas oligarki, kapitalisme,
elitisme, diskriminasi, patriarki, seksisme, patronisme, dan ketidakjujuran
atas krisis-krisis yang terjadi di tengah rakyat.
I'rab sendiri dalam ilmu Nahwu berarti perubahan. Agensi ('Amil) yang
mempengaruhi perubahan ini banyak. Oleh para 'alim Nahwu, disebutkan antara
lain, huruf-huruf (konektiva). Artinya, agensi politik "mu'rab" ini
banyak, rakyat itu sendiri. Mereka yang saling berjejaring untuk saling
bersolidaritas dan menguatkan ketika negara abai atau tutup mata. Mereka adalah
agensi sipil di tengah absennya negara.
Dua hal yang "mu'rab"
(minal mu'robat), menurut para gramatiker Nahwu, adalah Fi'il
Mudlaari' dan sebagian besar Isim. Fi'il Mudlaari', kata kerja masa
kini dan masa mendatang. Politik "mu'rab" tidak utopis. Ia
aktual, karena menggugat kekinian. Menggugat kondisi negara yang sedang tidak
adil. Keliru orang menyebut golput sikap utopis. Golput tidak sedang menanti
"ratu adil", terjebak kembali ke politik patron. Golput adalah sikap
kekinian. Politik ini, seperti Fi'il Mudlaari', juga punya dimensi masa
depan. Orang-orang yang punya sikap golput, setidaknya sebagian, memiliki mimpi
masa depan Indonesia yang lebih baik daripada sekarang. Ada satu impian yang
antara lain mempertemukan mereka: Indonesia tanpa oligarki. Namanya impian,
butuh syarat mewujudkannya. Syaratnya, Politik Alternatif. Politik yang berbeda
dari bentuk politik yang dipraktikkan para elite hari ini.
Kira-kira kalau teman-teman santri
bisa mengaji politik "I'rab" ini, apakah mereka tertarik untuk mulai
membangun kesadaran akan Politik Alternatif? Kalau ya, mengapa dan jalan apa
yang harus dilakukan terutama pasca-Pemilu? Mari ijtihadkan.