NU online |
Penulis: Supriyanto
Atorcator.Com - Ada satu masa ketika saya dekat dengan kyai, keturunan kyai besar - ajengan yang sangat dihormati - tergolong berdarah biru di NU - punya pesantren di Jawa Barat - dan banyak berkeliling pesantren, mengelilingi kyai kyai dan ajengan lainnya.
Kyai kawan saya itu cukup beruntung karena dia menjadi komisaris perusahaan besar, uangnya banyak. Bahkan berlimpah. Posisinya tak lepas dari kedekatannya dengan Gus Dur yang masa itu jadi presiden RI.
Saya diperkenalkan oleh teman kepadanya dan dia mendekati saya, selain suka berteman dengan orang orang dari "dunia lain" juga berharap bisa meng-Islam-kan saya - yang dari dulu kurang tebal Islamnya. Nyatanya, justru saya yang sukses meng-sekuler-kan dia. Ikut ikutan jadi abangan seperti saya.
Malah sempat saya ajak motret model segala. Dan beliaunya senyum senyum senang.
Dalam hal keyakinan, saya ini terbilang teguh - saya abangan militan - dan tidak mudah tergoda. Bahkan oleh pendekatan seorang kyai - keturunan ajengan sekali pun.
Tapi bukan itu yang mau saya bahas kali ini. Saya mau ngomongi soal amplop. Amplop di seputar kyai dan pesantren.
Ini cerita zaman Gus Dur dan nostalgia saya memang sekitar masa itu. Saya mau jelaskan, bahwa soal memberi amplop kepada kyai adalah lumrah belaka. Saya saksi hidup. Tidak ada tujuan negatif dari amplop yang diselipkan itu.
Ketika Gus Dur ditumbangkan dari kursinya di istana karena dana Rp.32 miliar dari Sultan Brunei itu - dia pun heran. Bagi kyai menerima amplop dan sumbangan itu biasa. Dan tak ada akutabilitasnya. Dana yang oleh Gus Dur disebut sebagai "zakat" itu kemudian digunakan untuk kegiatan kemanusiaan di Aceh, Manado dan Irian Jaya (Papua).
Dalam perjalanan keliling kami, khususnya Jawa Barat, beliau rajin mengunjungi pesantren pesantren, dan sowan kepada kyai kyai besar di setiap kota besar. Dan tentu saja menyerahkan dan menyelipkan amplop sebelum kami berpisah.
"Yang disebut kyai buat kami adalah beliau yang punya pesantren. Biasanya juga punya rumah yatim. Tanggungan berat. Operasional sehari-harinya makan biaya. Makanya, yang diberi rezeki seperti saya sangat diharapkan kontribunsinya, " katanya.
Untuk itu dia memaklumi, dan saya pun memaklumi.
Ketika terjadi kehebohan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan menyerahkan amplop kepada kyai jadi heboh saya pun heran.
Bagi orang pesantren - sebagaimana yang sering saya saksikan - justru jadi heran, kalau seorang Luhut Binsar Panjahitan tidak menginggalkan amplop.
Enak saja, penguasa dan pengusaha tajir - masuk ke pesantren, ketemu kyai, tidak nyumbang. Tidak ninggali amplop.
Dalam tradisi kyai yang saya ikuti itu, pertanggung-jawaban amplop yang diterima kyai - berikut isinya - langsung kepada Allah Yang Maha Kuasa. Akuntabilitas langsung kepada Yang Di Atas. Hanya kebajikan dan kearifannya lah - yang membedakan apakah isi amplop itu sampai ke santri-santrinya, menambah fasilitas pendidikan di pesantren, atau masuk ke dompet isteri muda, atau jadi modal untuk poligami. Atau jadi mobil baru.
Kepada yang mengira bahwa tangan saya hanya dipakai untuk membuka botol bier dan kancing baju model sexy di tengah pemotretan, atau mengelus elus rambut, memegang tangan, pinggang, merengkuh bahu seleb kondang saat ngobrol intim dan wawancara, perlu saya jelaskan.
Tangan saya ini juga dipakai salaman sama kyai kyai besar, baik di Jawa Barat , Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dengan menaiki sedan Mercy sekelas menteri yang kami tumpangi, kami berkeliling dari kota ke kota. Dan silaturahi dari kyai ke kyai itu. Dan selalu membagikan amplop (berikut isinya). Barang tentu, setelah perjalanan berakhir, saya kebagian juga. Dapat amplop dari sang Kyai.
Kebetulan masa itu, tak ada Pileg dan Pilpres. Urusan silaturahmi benar benar dalam rangka menjalin ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah NU-iyah. Bagi bagi amplop itu sepenuhnya untuk saling mempererat persaudaraan sesama umat.
AKAN TETAPI memang tidak semuanya cerita seindah itu. Saya punya cerita juga yang sebaliknya.
Ini cerita tetangga, mantan wartawan, yang dekat dengan mantan wakil presiden, yang dikenal juga sebagai kyai - isterinya tiga - dan mantan wartawan juga semasa di Kalimantan. Beliau nyalon lagi di Pilpres beberapa tahun lalu. Kawan saya bagian dari tim pemenangannya.
Sekali waktu berkumpulah para pengelola pesantren se pulau Jawa yang dipimpin oleh ustadz seleb - yang kini sedang sakit dan dirawat itu. Selaku pemimpin delegasi, beliau menjelaskan agar Pak Capres tak perlu khawatir.
"Pokoknya antum tidak usah khawatir. Suara dari pesantren kami kumpulkan buat antum, " begitu janji ustadz yang bersuara serak itu.
Obrolan berlangsung hangat. Capres kita itu sangat optimis. Maka di penghujung pertemuan, dia memberi kode, agar kawan saya siap siap. Kawan saya bertugas membagi amplop tebal yang sudah disiapkannya di dalam dus besar.
Menurut skenario, setiap undangan akan diminta membubuhkan tanda tangan, sesuai nama yang terdaftar dalam daftar hadir, barulah amplop diberikan. Dan yang bersangkutan tetap duduk di kursinya karena akan dihampiri satu per satu.
Tapi apa yang terjadi ? Begitu Capres pergi, dan dus isi amplop diletakkan di meja, rombongan kyai dan pengelola pesantren itu menghambur, mengerubungi, berebutan amplop di dus itu.
Sekuat tenaga kawan saya mencegah dan menjelaskan agar mereka tertib dan kembali ke tempat duduk masing masing gagal. Sampai kemudian dia meninggalkan mereka.
"Saya malu sekali. Saya malu melihat kelakuan mereka semua. Sangat menjijikan. Saya ini Islam seperti mereka. Tapi saya ...." tuturnya, dengan nafas memburu, dada kembang kempis, karena kesulitan menahan emosinya.
Saya pun memejamkan mata, membayangkan betapa memalukannya pemandangan itu. Saya tak bisa bicara juga, hanya memejamkan mata saja.