tribun |
Penulis:
Muhammad Al-Fayyadl
Atorcator.com -
Beban moral kaum santri akan berat, juga dosa-dosa struktural yang
ditanggung, jika nanti Jokowi terpilih dan tetap menjalankan agenda-agenda
politik dan kebijakannya yang pro-investor, tetap gemar dengan tambang
(kapitalisme ekstraktif) dan energi kotor (karena pemain di bisnis ini para
jenderal, di antaranya), dan tetap mempertahankan kebijakan infrastruktur yang
rakus SDA dan lahan -- berbagai penggusuran akan terus terjadi -- dan kemudian,
Kiai Ma'ruf tak berdaya menghadapi siasat Luhut, Rini Soemarni, dan para
pemodal di lingkaran Megawati dan Jokowi sendiri. Apalagi tahun ini para elite
ini resmi meneken skema investasi OBOR (One Belt One Road), artinya resmi masuk
dalam imperialisme ekonomi Tiongkok.
Bagaimana kaum
santri akan menagih keberpihakan Kiai Ma'ruf? Rasanya, tak mungkin. Apalagi
selama ini mendemo kiai bukan hal lazim bagi kaum santri. Selain itu, Kiai
Ma'ruf tidak disuplai oleh blok politik politisi NU yang punya kepekaan pada
persoalan-persoalan kapitalisme.
Di sisi lain,
memilih Prabowo bukan jaminan pemerintahan baru akan balik arah dan
menghindarkan kebijakan ekonomi dan politik Indonesia dari hal-hal di atas.
Sandi salah satu aktor kapitalisme ekstraktif. Tak ada jaminan. Tapi
setidaknya, beban moral kaum santri mengkritik pemerintah lebih ringan, karena
Prabowo-Sandi tidak dibaca sebagai representasi "ulama", meski
didukung oleh sebagian kaum santri dan kelompok Islam.
Ini salah satu
sudut pandang mengapa Golput, sambil memperkuat jejaring kekuatan politik
alternatif, adalah yang paling "selamat". Tak memikul dosa rezim yang
nanti akan terpilih, sambil membangun kesadaran kritis tentang konstelasi
kekuasaan. Bukan sekadar berpangku tangan menonton "sinetron lima
tahunan".