Penulis: Muhammad Rodlin Billah
Atorcator.Com - Kenyataannya, cara menggunakan mesin pencari semacam Google-pun
dapat „mendefinisikan“ siapa penggunanya. Jumat sore tadi saat saya bertemu
dengan profesor pembimbing untuk melaporkan perkembangan sebuah eksperimen,
saya dibuatnya malu.
Ceritanya sejak seminggu lalu saya
diminta beliau untuk mencari beberapa paper/publikasi yang dapat mendukung
jalan cerita eksperimen itu. Setelah menemukan beberapa diantaranya atas bantuan
Google, saya mengira mereka telah cukup memberikan penjelasan dari beberapa
aspek. Ternyata saat diskusi berlangsung, „ketahuan“ oleh si prof bila mereka
justru tak menjawab sebuah pertanyaan dari sebuah aspek mendasar. Saya
sampaikan bila saya sudah berusaha mencari jawabannya, tetapi belum ketemu
dengan paper/publikasi yang menjawabnya secara langsung.
Demi mendengar itu, beliau langsung
berpindah dari meja diskusi ke meja kerjanya, mengetikkan beberapa kata kunci
melalui Google Search di laptopnya dan menekan tombol enter. Sepersekian detik
kemudian beliau tertawa sambil memanggil saya untuk melihat layar komputernya:
sebuah paper yang ia dapatkan dari hasil pencarian kurang dari semenit itu
menunjukkan jawaban pertanyaan mendasar tadi! Parahnya lagi, paper itu berasal
dari tautan pertama yang muncul dari pencariannya!
Demi menutupi rasa malu, saya
berdalih bila Google Search di laptop beliau telah „akrab“ dengan kata kunci
yang ia sering gunakan dan tautan yang sering ia klik. Karenanya tak butuh waktu
lama untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Beliau hanya tertawa dan kemudian
kami melanjutkan diskusi.
Selama diskusi berlangsung,
diam-diam saya coba ketikkan beberapa kata kunci yang beliau gunakan tadi ke
dalam Google Search laptop saya, ternyata paper yang sama juga muncul paling
pertama!
Ah, sejauh inikah perbedaan antara
yang berilmu dan tak berilmu, yang bahkan dalam menggunakan Google Search saja
(e.g. mengajukan pertanyaan yang tepat) dapat menghasilkan hasil yang akurat
bahkan untuk konteks yang sesuai pula?
-----
Mungkin ini, cara mengajukan
pertanyaan yang tepat, menjadi salah satu penyebab dari sekian banyak karakter
bagus lainnya yang membedakan „the rising star“ Gus Baha (KH. Bahauddin
Nursalim) dengan santri-santri Mbah Kyai Maimoen Zubair lainnya hingga beliau
menjadikan Gus Baha sebagai santri kesayangannya. Sebab, pertanyaan yang tepat
seringkali terkait erat dengan tingkat pemahaman seseorang terhadap sebuah
permasalahan serta proses berpikirnya dalam menyelesaikan permasalahan
tersebut.
Menjadi murid kesayangan seorang
guru yang juga seorang kyai besar dengan sendirinya tentu adalah sebuah
prestasi. Tetapi nyatanya Gus Baha, yang lekat dengan hem lengan panjang
berwarna putih dan kopiah hitam ditarik kebelakang (kadang cenderung miring)
hingga terlihat penuh dahi beliau, juga mendapatkan pujian dari berbagai
kalangan. Bahkan dari akademisi selevel profesor dan guru besar seperti Prof.
Quraish Shihab, meskipun beliau 100% lulusan pesantren-pesantren dalam negeri.
Kabarnya, beliau ditawari gelar Doctor Honoris Causa dari sebuah perguruan
tinggi namun tak berkenan menerimanya.
Dalam sebuah majelis Pimpinan Daerah
Muhammadiyah Kabupaten Rembang sekitar setahun lalu, Ust. Adi Hidayat bahkan
menyebut Gus Baha sebagai “…manusia Qur’an yang ndak banyak dikenal orang.
…kapan-kapan kalau ada pengajiannya, hadiri pengajian beliau. Itu diantara
orang yang sangat mengerti Al-Qur’an.”