Penulis: Abdullah Alawi
Ahad 14 Juli 2019
Ilustrasi foto: NU-Online |
Atorcator.Com - Kisah Samson atau Simson sangat dikenal akan kekuatannya. Kisahnya
digambarkan dalam komik, buku, hingga film. Terkait kekuatannya, ia seperti
Herkules yang menggunakan kekuatan fisiknya yang luar biasa saat melawan
musuh-musuhnya.
Di dalam kitab Durrotun Nasihin dikisahkan,
suatu ketika Nabi Muhammad mendapat berita dari seorang yang tua dari kaum
Israil, kisah seorang pejuang Allah yang bernama Syam'un Al-Ghazi. Syam’un
memiliki senjata semacam pedang yang terbuat dari tulang rahang unta bernama
Liha Jamal. Konon, hanya dengan pedang satu ini dia dapat membunuh ribuan orang
kafir. Siapa pun musuh yang berhadapan dengannya, pasti akan hancur dengan
pedang ajaibnya.
Di Indonesia, ada seorang kiai dari
Banten yang bernama Syam’un. Namun, sayang kisah hidup dan perjuangannya dalam
mengusir penjajah jarang diketahui orang. Namun, belakangan, jasanya itu
kemudian terungkap, kemudian dihargai negara dengan menahbiskannya sebagai
pahlawan nasional.
Silsilah Leluhur dan Keilmuan
KH Syam’un lahir pada 5 April 1894
dari pasangan H Alwiyan dan Hj Hajar di Banten. Di dalam darahnya mengalir
darah tokoh pejuang di masa sebelumnya dalam melawan dan upaya mengusir
penjajah. Ia merupakan keturunan dari KH Wasid tokoh pemberontakan yang dikenal
Geger Cilegon pada 1888.
Masa kecil KH Syam’un memperoleh
pendidikan di pesantren Dalingseng milik KH Sa’i pada 1901. Dia pindah ke
Pesantren Kamasan, asuhan KH Jasim di Serang pada 1904. Tahun berikutnya, KH
Syam’un belajar ke Mekkah. Dia menghabiskan waktu lima tahun di tanah suci
kepada ahli-ahli keislaman terbaik di dunia saat itu. Lalu ia melanjutkan
pencarian ilmunya ke Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, dari 1910 hingga 1915.
Menurut sejarawan Agus Sunyoto, ia
memiliki kemampuan bahasa asing yang fasih, setidaknya tiga bahasa yaitu Arab,
Inggris, dan Belanda. Dari kemampuan berbahasa itu, kemungkinan dia untuk
menyerap ilmu dari berbagai sumber sangat besar melengkapi dan mengembangkan
kemampuannya. Reputasinya dalam bidang keilmuan, terutama agama, ditunjukkan
dengan ia mampu mengajar di Masjidil Haram, Mekkah.
Sebagaimana dijelaskan Rahayu yang
dikutip Historia.id, seusai memperoleh ijazah Al-Azhar, KH Syam’un kembali ke
Mekkah untuk mengajar di Masjid al-Haram. Muridnya dari berbagai negara aneka
suku bangsa. Namun, yang terbanyak dari Jawa. Meskipun cuma setahun mengajar,
di sini namanya mulai sohor sebagai ulama Banten yang besar.
Ia melanjutkan reputasi ulama-ulama
Nusantara dari masa sebelumnya yang mampu mengajar di masjid prestisius itu,
seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz Tremas, dan lain-lain.
Perjuangan Mengusir Penjajah
“Suara senapan mesin Jepang
terdengar dari pinggir pantai Bojong Anyer, Banten. Anggota Pembela Tanah Air
(PETA) lagi menembaki sebuah kapal selam milik Sekutu. Badan kapal tak tampak.
Sepenuhnya berada di dalam air. Hanya periskop kelihatan sedikit di permukaan.
Kapal selam itu cepat masuk air. Tembakan dari anggota PETA pun berhenti.
Seorang penembak kapal selam itu bernama KH Syam’un,” demikian situs
Historia.id membuka tulisan yang mengupas perjuangan tokoh tersebut. Waktu itu
ia merupakan daidanco (komandan batalion) PETA wilayah Cilegon-Serang, Banten,
sejak November 1943.
Situs tersebut menyerap data dari
catatan Mansyur Muhyidin dalam Karya Ilmiah Berdasarkan Pengalaman Anak-Anak
K.H. Sjam’un seperti dikutip oleh Rahayu Permana dalam "Kiai Haji Sjam’un:
Gagasan dan Perjuangannya," tesis di Universitas Indonesia.
Di dalam buku Fatwa dan Resolusi
Jihad (2017) karangan KH Agus Sunyoto, KH Syam'un adalah perwira tentara
sukarela Pembela Tanah Air (PETA), Komandan Batalyon berpangkat daidancho atau
mayor tahun 1943. Tahun 1944 dilantik jadi Komandan Batalion PETA berpangkat
mayor, memimpin 567-600 orang pasukan. Saat TKR dibentuk 5 Oktober 1945,
pangkatnya naik jadi kolonel, Komandan Divisi l TKR dengan memimpin 10.000
orang pasukan. Tahun 1948, ia naik pangkat brigadir jenderal. Ia memimpin
gerilya di wilayah Banten, sampai wafatnya tahun 1949.
Sementara data lain, menurut
penelusuran Ahmad Baso, setelah proklamasi diangkat sebagai bupati Serang,
diangkat oleh Residen Banten KH Tubagus Achmad Chatib. Dengan koordinasi
Chairul Saleh dan Tan Malaka membawa massa Banten ke lapangan Ikada September
1945.
Mengembangkan Pesantren dan Aktif di
NU
Sebagai orang yang lahir dan
dibesarkan di lingkungan pesantren, ketika pulang ke tempat kelahirannya, ia
mengembangkan pesantren juga. KH Syam’un pulang ke Hindia Belanda pada 1915.
Menurut Rahayu, lagi-lagi
sebagaimana dikutip Historia, KH Syam’un meletakkan ilmu pada tingkat paling
atas dalam pencapaian kehidupan manusia. Dia juga memiliki gagasan tentang
hubungan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
“Bahwa pendidikan merupakan salah
satu cara yang efektif untuk mengatasi segala persoalan hidup,” ungkap Rahayu.
Wujud gagasan KH Syam’un terlihat
dari pendirian pesantren di Citangkil, Cilegon, pada 1916. Sepuluh tahun awal,
materi ajarnya masih terbatas pada ilmu agama seperti tata bahasa Arab, fiqih,
hadits, tafsir, dan akidah. Santrinya pun hanya berjumlah puluhan.
Lama-kelamaan pesantren Citangkil berkembang. Tidak hanya dari jumlah santri,
melainkan juga materi ajar dan metode pembelajaran.
Masih dikutip dari Historia.id dari
sumber Abdul Malik dkk., dalam Jejak Ulama Banten Dari Syekh Yusuf Hingga
Abuya Dimyati, KH Syam’un menggabungkan pola pendidikan tradisional pesantren
dengan sekolah modern pada 1926.
“KH Syam’un berusaha mengembangkan
rasionalitas Islam dengan seruan kembali kepada ajaran Islam yang pokok,”
tulisnya.
Kemungkinan karena merasa satu visi
dengan kiai-kiai asal pesantren, di dalam berorganisasi ia memilih aktif di
Nahdlatul Ulama. Ia tercatat sebagai salah seorang syuriyah dari NU Serang.
Buktinya sebagai pengurus, menurut data yang ditemukan di Majalah Swara
Nahdlatoel Oelama dan Berita Nahdlatoel Oelama, ia hadir di
muktamar NU. Paling tidak, di Muktamar NU kelima di Pekalongan pada 1930 dan
Banjarmasin 1936.
Selengkapnya bisa dibaca di NU online