![]() |
redaksi-indonesia |
Penulis:
Muhammad Nur kholis
(Redaktur)
Atorcator.Com -
Dalam perkembangan dakwah islam di Indonesia, kita sering mendapati
orang-orang yang sangat radikal dalam menyampaikan pesan-pesan agama islam.
Salah satu contoh yang menjadi perhatian penulis adalah adanya kelompok seperti
Front Pembela Islam (FPI) yang dipimpin oleh Habib Rizieq Syihab, dan Hizbut Tahrir
yang biasanya dikompori oleh Ustaz Bachtiar Nashir sebagai tokoh utama di balik
kelompok yang menjadikan kalimat tauhid sebagai bendera resmi mereka.
Mengapa penulis
anggap kedua kelompok ini radikal. Karena sudah jelas, mereka terlalu memaksakan
apa yang menjadi kehendak mereka. FPI yang terpusat di ibukota Jakarta
berdasarkan track recordnya pernah beberapa kali melakukan sweeping
kepada warung-warung yang tetap buka ketika siang hari dibulan Ramadhan. Dan tidak
segan-segan mengobrak-abrik tempat penjualan minuman keras.
HTI, walau
jarang sekali kita lihat melakukan konfrontasi, namun setidaknya kegiatan
massif mereka baik di dunia maya atau di kampus-kampus dalam menggaet anggota
untuk mendirikan negara khilafah, setidaknya perlu dicap sebagai tindakan yang
radikal dan jelas membahayakan untuk NKRI. Dapat kita saksikan pula beberapa
pidato yang dilontarkan oleh pentolan-pentolannya betapa di dalamnya sangat mengandung
dendam-dendam yang ingin segara dibalaskan.
Ucapan “Ummat
islam harus memiliki orang-orang tegas seperti sayyidina umar agar tidak ditindas.
Dan kami akan berusaha untuk itu.” menjadi semacam alibi bagi mereka untuk
menghakhiri perdebatan jika diprotes mengapa harus mengambil tindakan seperti
itu. Alibi ini jelas mengkambing hitamkan karakter sayyidina umar yang bahkan
setan sekalipun akan lari ketika melihat beliau melintas.
Lantas apakah
sikap mereka, yang mereka anggap sebagai bentuk ketegasan dapat disamakan
dengan sikap sayyidina umar? Ini yang patut dianalisis lebih dalam. Karena
bagaimanapun juga mengambil sikap/tindakan orang lain tidak bisa dijadikan
sebagai legalitas mereka dalam bertindak. Perlu adanya pertimbangan matang
untuk melakukan hal itu.
Terkait dengan
hal itu, ada kisah menarik yang ditulis oleh Imam al-ghazali dalam magnum
opusnya Ihya’ Ulumuddin. Dimana suatu ketika sayyidina umar memergoki
seorang pria dan perempuan dengan sebotol khamar dalam satu rumah. Sayyidina
umar memergoki mereka dengan memanjat dinding tanpa melalui pintu dan meminta
izin sebelumnya kepada pemilik rumah. Sayyidina umar yang sudah memanas
menyaksikan kejadian itu tidak bisa berkutik dan memaafkan perbuatan pria itu
setelah pria itu mengajukan banding dikarenakan kesalahan sayyidina umar yang
masuk tanpa melalui pintu dan memohon izin sebelumnya dimana tindakan yang
dilakukan oleh sayyidina umar dilarang dalam Al-Qur’an. Demikianlah tegas yang
ada dalam pribadi sayyidina umar. Selain tegas pada orang lain dia juga
bersifat tegas untuk menerapkan aturan pada pribadinya sendiri.
Demikianlah pesan
yang sulit dan bahkan enggan untuk ditiru oleh kedua kelompok tersebut. Mereka
lebih menonjolkan sifat-sifat kerasnya tanpa memerhatikan sisi lemah lembut dan
pemaafnya sayyidina umar dan betapa sayyidina umar mampu dengan segenap
kerendahan hatinya menerima kesalahan dirinya sendiri dengan lapang dada.
Dan lewat kisah
ini, penulis dapat mengambil sebuah pelajaran berharga bahwa cara untuk
mencegah kemaksiatan yang dilakukan oleh orang lain atau cara kita bertindak
harus tetap dalam koridor yang dibenarkan oleh peraturan yang berlaku. Bukan
dengan cara main hakim sendiri.
Dengan ini,
penulis berharap adanya kejelasan antara kekerasan dan ketegasan. Sayyidina
Umar cenderung lebih mendahulukan sebuah kebijaksanaan daripada nafsu. Berbeda
dengan kemarahan yang cenderung memutuskan sebuah tindakan dengan emosi tinggi
dan nafsu belaka.
Wallahu a’lam
bisshowab.