Kegoblokan Sistem Presidential Threshold dan Kenapa Kita Bersikap Bodo Amat? - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Senin, April 22, 2019

Kegoblokan Sistem Presidential Threshold dan Kenapa Kita Bersikap Bodo Amat?

 
detik
Penulis: Fauzy Adang

Atorcator.Com - Semenjak musim pemilu 2019, khususnya setelah pemerintah ngotot ingin sahkan sistem Presidential Threshold; adalah ambang batas suara yang harus diperoleh partai, saya berungkali menjelaskan tentang betapa gobloknya sistem ini, walau banyak yang kurang respon, entah apa mungkin mereka bodo amat, atau males mengerti, namun setelah kejadian kayak gini mulai deh banyak yang mohon minta dimengerti, mengeluh, lantaran mereka telah bekerja 24 jam; ya tentu 24 jam karena pemilu kali ini amat sangat sulit, panjang, melelahkan, sebab pilres dan pileg diserentakan yang harus selesai dalam satu malam. Gila enggak tuh?

Lembaga kajian Australia, Lowy Institute, menyebut bahwa pemilihan umum 2019 di Indonesia termasuk paling rumit di dunia, karena skalanya yang besar dan dilaksanakan dalam satu hari saja.

Lantas banyak hal yang tak terduga, sebagaimana yang diberitakan media-media mainstream bahwa petugas KPPS dan polisi kita banyak yang gugur akibat begitu kecapeannya bekerja untuk hajat pemilu kemarin.  Di Jawa barat saja 12 petugas KPPS telah meninggal dunia usai pemilu ini, sebelumnya tercatat ada 4 orang petugas KPPS di Malang pun meninggal, kemudian 10 anggota polri pun telah dilaporkan meninggal sesudah pengamanankan pemilu kemarin. Innalillahi.

Sistem ini bukan hanya mampu memakan korban, Presidential Threshold pun dinilai sangat tidak masuk akal, terlihat begitu dipaksakan; gara-gara sistem ini umat makin terpecah belah, perseteruan kampret versus cebong yang dihasilkan pemilu 2014 tambah langgeng, masyarakat banyak yang terjebak - termasuk para ulama kita - karena pemilu 2019 kembali hanya mempertandingan 2 calon yang sama. Presidential Threshold membuat partai tak bisa mengusung calon presiden lain, akibat aturan ini memberikan syarat harus memiliki suara 25% di 2014 lalu, sehingga partai-partai pun terpaksa berkoalisi, yang pada akhirnya membuat mereka tawar-menawar keuntungan, maka sistem ini menjadikan pemilu 2019 tak ubahnya jual beli jabatan belaka.

Kekacauan pemilu lewat sistem goblok ini sebetulnya telah disadari oleh banyak pihak, seperti para akademisi, aktivis, para ahli, yakni Busyro Muqoddas, Bambang Widjojanto, Chatib Basri, Rocky Gerung, dan Faisal Basri, mereka menggugat ke MK, mereka menganggap aturan tersebut menabrak konstitusi, salah satu dalilnya adalah pengaturan delegasi “syarat” capres ke UU ada pada Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 dan jelas tidak terkait pengusulan oleh parpol, untuk itu maka pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur “syarat” capres oleh parpol bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Akan tetapi gugatan itu ditolak MK mentah-mentah, saya pun mengira oke mungkin MK punya dalil yang lebih shahih dari mereka, namun rupanya sistem ini seolah coba-coba saja, faktanya banyak petugas kita yang meregang nyawa setelah kewalahan mengurus kotak suara kemarin.

Kendati demikian pendukung 01 atau 02 nampaknya tidak ada yang mempermasalahkan ini, mereka pada sibuk mengurus kemenangan calon presiden masing-masing, yang satu sibuk ngurusi kesedihan presiden, yang kedua sibuk mencemooh presiden, padahal di tengah kesibukan itu ada sistem yang membuat mereka terjebak seperti ini. Saya berungkali menjelaskan sistem ttersebut lantaran saya hanya berharap kepada mereka yang mendadak sok ngomongin politik ini juga memahami teorinya, tidak taqlid buta, tahu landasannya, berbasis argumentasi, tidak hanya asal kasian, tidak sekedar memilih pakai hati nurani saja.


Semoga pemilu di masa nanti tidak kacau-balau lagi.

Sumber: Facebook Fauzy Adang